Saat saya menulis ini, badai protes terhadap anggota DPR RI dan pemerintah yang bereskalasi pada akhir Agustus lalu, mulai reda. Gerakan protes perlahan dilucuti, entah oleh siapa. Bahkan sampai cuma menyisakan konflik horizontal yang tak lebih berguna dari Andre Onana.
Fokus kita kemudian justru bergeser. Ah, tidak, lebih tepatnya digeser oleh sejumlah pihak. Padahal tuntutan kita belum benar-benar didengar oleh penyelenggara negara. Entah itu DPR RI maupun presiden. Mungkin Anda akan protes ke saya. Lho, kemarin itu, kan ada anggota DPR yang menemui massa aksi?
DPR Merespons Tuntutan?
Benar. Setelah meningkatnya aksi protes yang diwarnai kerusuhan dan penjarahan di sejumlah tempat, anggota DPR RI turun gunung. Mengutip Kompas TV pada 4 September 2025, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Andre Rosiade dan Anggota DPR RI Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka menemui pendemo di Gerbang Pancasila DPR RI.
Aksi demonstrasi di situ juga dihadiri oleh sejumlah influencer, seperti Jerome Polin, Andovi dan Jovial Da Lopez, Ferry Irwandi, Afutami, hingga vokalis Reality Club, Fathia Izzati. Rieke dan Andre tidak hanya menerima massa aksi, tapi juga berjanji akan memenuhi tuntutan rakyat 17+8 yang sempat viral di media sosial.
Esok harinya, DPR RI membuka ruang dialog dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari seluruh Indonesia. Mengutip laporan Kompas.com, DPR RI menjawab tuntutan 17+8 tersebut melalui poin-poin yang disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Apa saja poinnya?
Ada enam poin yang disampaikan Dasco. Pertama, DPR RI sepakat menghentikan pemberian tunjangan perumahan bagi anggotanya per 31 Agustus 2025. Kedua, DPR RI akan melakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri para anggotanya terhitung sejak 1 September 2025.
Ketiga, DPR akan memangkas tunjangan dan fasilitas anggota meliputi tunjangan listrik, jasa telepon, biaya komunikasi intensif, dan biaya tunjangan transportasi. Keempat, anggota DPR RI yang dinonaktifkan oleh partai politiknya tidak dibayarkan hak-hak keuangannya.
Kelima, pimpinan DPR akan menindaklanjuti penonaktifan beberapa anggota DPR yang telah dilakukan oleh partai politik melalui mahkamah partai masing-masing dengan meminta Mahkamah Kehormatan DPR RI untuk berkoordinasi. Keenam, DPR akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik.
Setelah Respons DPR RI atas Tuntutan
Usai apa yang disampai Dasco itu keluar ke muka publik, beberapa influencer yang hadir di aksi demonstrasi dan sebagian yang tak ikut namun getol menyuarakan tuntutan 17+8 yang tenggatnya 5 September 2025, mengucap rasa syukur. Sebagian dari mereka, juga sebagian warganet merasa tuntutan didengar, walau tidak semua tuntutan. Meski tak sedikit pula yang kecewa.
Jika dicermati kembali, respons DPR RI atas tuntutan 17+8 hanya normatif belaka. Ketimbang rakyatnya ribut mulu, mending keluarin pernyataan, selesai perkara. Coba perhatikan baik-baik jawaban DPR atas tuntutan rakyat. Beberapa poin sejatinya tak perlu disampaikan karena memang sudah seharusnya mereka lakukan.
Ambil contoh poin yang menyebut bahwa DPR RI akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik. Sebagai wakil rakyat yang diberi amanah, DPR RI sudah semestinya transparan. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik cetho welo-welo mengatur hak-hak masyarakat atas lembaga negara termasuk DPR.
Sebagai wakil rakyat, partisipasi publik juga hukumnya fardhu ain. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022 jelas mengatur bahwa masyarakat berhak memberi masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan setiap rancangan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Jika DPR RI bilang akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik untuk menjawab tuntutan, kita malah patut curiga. Jangan-jangan selama ini DPR tidak transparan? Jangan-jangan selama bekerja membentuk undang-undang, DPR mengabaikan partisipasi publik?
Mestinya DPR tak perlu mengatakan bahwa mereka akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik. Jika DPR benar-benar profesional justru wajib membantah tuduhan tak transparan dan tak melibatkan publik. Poin ini dan lima poin lain tidak menjawab satu pun dari 17+8 tuntutan.
Rakyat ingin tunjangan dibekukan, tapi DPR hanya memangkasnya. Sudah begitu, apa yang didapatkan anggota DPR RI, meski sudah dipangkas, masih teramat banyak. Para anggota DPR RI masih mendapatkan sekitar 65 juta rupiah per bulan setelah dipangkas.
Dengan 65 juta rupiah per bulan, jika dihitung 26 hari kerja, berarti setiap anggota DPR RI memperoleh 2,5 juta rupiah per hari, setara UMR Kota Pekalongan. Uang 65 juta per bulan yang didapat anggota DPR bisa untuk menggaji lebih dari 25 karyawan di Kota Pekalongan. Mau pakai standarnya Budiman Sudjatmiko atau standar Supra sekalipun, itu bukan nominal kecil.
Penyelenggara Negara Tak Peduli
Apa yang dilakukan DPR RI seperti turun ke aksi massa, mengundang mahasiswa, hingga mengeluarkan jawaban atas tuntutan rakyat sepertinya bukan untuk benar-benar peduli pada tuntutan, tapi sekadar ingin menyelamatkan diri sendiri. Andre Rosiade dan Rieke Diah Pitaloka turun ke massa aksi yang di sana, ada banyak influencer.
Dengan kata lain, yang dilakukan Andre dan Rieke tak jauh-jauh dari pencitraan. Sejauh yang saya tahu, jika sebuah aksi tidak atau jarang melibatkan influencer, para penyelenggara negara, baik legislatif maupun eksekutif seolah tak sudi menemui massa. Contohnya aksi kamisan.
Sejak 2007 suara Bu Sumarsih tak didengar. Aksi kamisan hanya sekali diundang ke istana, itupun tak menjawab tuntutan. Ironisnya, orang yang diduga pelaku pelanggaran HAM berat justru naik ke kursi presiden. Jika penyelenggara negara benar-benar serius, mulai saja dulu dari aksi kamisan. Yang satu ini saja tak digubris, apalagi yang 17+8.
Aksi-aksi kemarin memang mengarah ke DPR. Rakyat marah karena tunjangan anggota DPR naik saat ekonomi lesu, mencari pekerjaan sulit, dan daya beli menurun. Tapi tuntutan 17+8 itu juga diarahkan ke presiden. Namun, apa yang dilakukan Prabowo Subianto? Menonton parade militer di Tiongkok dan baru merespons tuntutan 17+8 belakangan.
Ini lagi-lagi menunjukkan bahwa penyelenggara negara tidak peduli pada tuntutan kita. Mereka hanya menganggap tuntutan seperti kentut Pak RT di siang hari. Sedangkan pada korban, cukup didatangi saja rumahnya dan diberi santunan. Tanpa perlu peduli apakah kejadian yang sama akan terulang kembali atau tidak. Begitu terus sampai Opick duet bareng Metallica.
Sudahlah tak peduli, setelah gelombang demonstrasi menyusut, kita justru disuguhkan tingkah aparat yang menangkap dan menetapkan sejumlah warga sipil sebagai tersangka kerusuhan dan penjarahan. Fokus masyarakat malah digeser.
Warganet sibuk membicarakan tokoh dan memperdebatkan simbol. Media-media nasional, utamanya di televisi hanya fokus pada kerusuhan. INews TV lewat program “Rakyat Bersuara” malah bicara siapa dalang di balik aksi, alih-alih fokus mengupas tuntutan rakyat. Sementara itu, hingga tulisan ini selesai, tak ada satupun penyelenggara negara yang mundur. Ah, saya jadi ingin masak Indomie Goreng.









