GUSDURian Wonosobo Gelar Doa Bersama Lintas Iman, Lahirkan Kembali Nilai-nilai Gus Dur

WONOSOBO – Berangkat dari keprihatinan bersama menyoal gejolak bangsa yang menyoroti ketidakstabilan kondisi politik, ekonomi, dan sosial negara Indonesia, Komunitas GUSDURian Wonosobo bersama jaringan lintas iman menggelar doa bersama dengan mengangkat tema “Menghidupkan Kembali Nilai Utama Gus Dur untuk Indonesia”, yang bertempat di Taman Selomanik, Wonosobo, pada Jum’at malam (5/9/2025).

Acara yang berlangsung khidmat ini diawali dengan sarasehan. Koordinator GUSDURian Wonosobo, Nayunda Bella Mahardiani mengatakan, kegiatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berbangsa terlebih di saat kondisi negeri sedang tidak baik-baik saja.

“Kegiatan ini diawali dengan sarasehan, ada dua pembicara. Pertama Idam Cholid, yang merupakan aktivis Reformasi 98 yang pernah bersinggungan langsung dengan Gus Dur. Kedua mantan DPRD Wonosobo, yaitu Ibnu Khotob,” tuturnya.

Ia menambahkan, hadirnya GUSDURian dengan diadakannya kegiatan ini, barang tentu menjadi jalan mempererat rasa dan empati terhadap sesama dalam wujudnya saling jaga. Lebih dari itu, momen ini menjadi implementasi toleransi yang berbasis kesetaraan.

“Duduk sejajar sama rata dengan saling bertegur sapa, ngobrol meskipun masih terbatas waktu tetapi ini bentuk nyata dari toleransi itu sendiri,” jelas Nayunda.

Ia berharap kegiatan ini menjadi titik poin dan sumbangsih pemikiran berupa tindakan kecil kepada negara dalam kaitannya kebergamanan sekaligus menegaskan bahwa warisan pemikiran dan praksis Gus Dur bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan energi moral yang terus hidup.

“Semoga bangsa kita, umat beragama di Wonosobo khususnya bisa bersatu melawan provokasi yang merusak keharmonisan beragama,” tandasnya.

Sementara dalam sesi pertama sarasehan, Idam Cholid mengatakan, Gus Dur menanamkan tiga nilai pokok: kemanusiaan yang universal, keberpihakan pada yang lemah, dan penghormatan terhadap tradisi. “Nilai-nilai ini menemukan rumahnya di Wonosobo, daerah yang kaya dengan kearifan lokal, tradisi pesantren, serta dinamika masyarakat yang plural,” jelasnya.

Seperti yang pernah diungkap Gus Dur, tradisi itu bukan untuk membelenggu, melainkan menjadi pijakan dalam melakukan transformasi. Dari titik ini, lanjutnya, Wonosobo menjadi laboratorium sosial di mana tradisi bukan hanya dijaga, tetapi juga ditransformasikan agar relevan dengan tantangan zaman.

Idam menjelaskan, bahwa demokratisasi di Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius—pelemahan institusi, regresi kebebasan sipil, dan politik yang kerap mengabaikan suara rakyat kecil. Dalam konteks itu, Gus Dur mengingatkan, “Demokrasi bukan hanya soal prosedur, tapi keberanian berpihak pada yang tertindas dengan mengedepankan transformasi,” ucap Idham Kholid, senior penggerak GUSDURian Wonosobo.

Maka menurutnya, melahirkan kembali nilai Gus Dur di Wonosobo berarti membangun ruang demokrasi yang berakar pada tradisi, dan bergerak menuju transformasi: menjaga kebebasan sipil, memperkuat masyarakat sipil, serta mengawal politik agar tidak tercerabut dari nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

“Dengan begitu, Wonosobo tidak sekadar menjadi daerah yang mengenang Gus Dur, tetapi juga menjadi daerah yang meneruskan perjuangannya: membumikan demokrasi dengan wajah kerakyatan, spiritualitas, realitas, dan kearifan lokal untuk mewujudkan nirvana (surga) di bumi, khususnya di Kabupaten Wonosobo,” imbuhnya.

Ia mengapresiasi langkah GUSDURian Wonosobo dalam merespons gejolak negara dengan kemelut panasnya, sehingga dialog ini mampu menjadi ruang kolaborasi yang tenang.

Sementara itu, Ibnu Khotob menyampaikan, bagaimana Gus Dur menyikapi suatu hal yang saat itu tidak diizinkan dan dihalang-halangi.

“Hanya untuk berkumpul dalam rangka refleksi kemerdekaan, saat itu nyaris dibubarkan oleh kepolisian,” kenangnya.

Ia juga menyoroti tentang 9 nilai Gus Dur yang mana masih dilanjutkan oleh GUSDURian sampai saat ini. Bagaimana merefleksikan tentang toleransi Gus Dur yang membuat Indonesia damai sampai saat ini. “Wonosobo sebagai cerminan indonesia yang hari ini tidak mempersoalkan agama, kota ini mampu memunculkan cerminan dunia kecil yang damai,” tegasnya.

Menyinggung kondisi negara saat ini, ia juga berpesan kepada hadirin sekalian, agar lebih mawas diri, mengutamakan objektivitas, serta kepekaan dalam merespon informasi yang beredar agar tidak terbawa arus.

Kegiatan ini ditutup dengan pembacaan doa dari tokoh umat beragama yang ada di Kabupaten Wonosobo. Pendeta Setiaji mewakili agama Kristen, Romo Widyo mewakili Katolik, Romo Lukito mewakili agama Buddha, Hindu diwakili oleh Pak Made, Pak Ahsan dan Ansor mewakili pemuda Islam, Pak Muji mewakili kepercayaan penghayat, serta Ci Titin mewakili agama Tao (Kong Hu Cu), diakhiri dengan mencium bendera merah putih sebagai simbol nilai universal tentang makna penghormatan, toleransi dan harmoni sesuai yang telah Gus Dur teladankan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Wonosobo, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *