Demokrasi dan Supremasi Masyarakat Sipil: Refleksi dari Gus Dur hingga Krisis Hari Ini

“Gus Dur selalu curiga dengan aparat sehingga beliau selalu melibatkan masyarakat,” Laode M. Syarif.

Kita sering kali terlalu cepat berbangga bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Padahal kalau diperiksa lebih dalam, demokrasi kita ini lebih mirip rumah kontrakan: papan namanya mentereng, cat depannya dicat ulang menjelang pemilu, tapi fondasinya keropos dimakan rayap. Demokrasi seolah-olah, kata Gus Dur.

Konferensi Pemikiran Gus Dur dengan tema Demokrasi dan Supremasi Masyarakat Sipil mengingatkan saya bahwa di balik jargon demokrasi, ada krisis etik, krisis kepercayaan publik, dan krisis keberanian untuk memaknai ulang kedaulatan rakyat.

Prof. Sujatmoko menyoroti betapa rapuhnya fondasi ekonomi-politik kita. Negara terlalu mengandalkan sektor ekstraktif: tambang, sawit, nikel, emas. Akibatnya, krisis iklim semakin parah, dan masyarakat yang seharusnya berdaulat justru jadi korban. Data Global Forest Watch menunjukkan, Indonesia kehilangan rata-rata 650 ribu hektar hutan per tahun dalam satu dekade terakhir. Artinya, setiap tahun ada “separuh Jawa Tengah” yang lenyap. Krisis iklim yang mestinya jadi alarm justru dianggap peluang investasi.

Pemerintah masih bangga dan pamer tentang “Green Energy” dengan mobil listrik yang baterainya berasal dari nikel. Memang kita sesekali harus berbangga dengan menjadikan PT. Freeport sponsorship di agenda tahunan Pestapora.

Yang menarik, Sujatmoko menyinggung soal “legalisme kooperatif”: hukum yang seharusnya mengatur keadilan malah berubah jadi alat kekuasaan. Tak heran, kepercayaan masyarakat pada pemimpin runtuh. Kita bisa lihat dalam survei LSI (2023), 70% responden percaya elite politik lebih mementingkan kepentingan partai daripada rakyat. Di sinilah Gus Dur terasa relevan: beliau bukan hanya menolak dwifungsi ABRI, tapi juga menolak segala bentuk kooptasi yang mengkerdilkan suara sipil.

Nyai Badriyah Fayumi, ketua KUPI, menambahkan dimensi lain: demokrasi tanpa keterlibatan perempuan sejatinya pincang. Ia menyoroti kenyataan pahit bahwa perempuan di jajaran PBNU belum benar-benar menempati posisi kepemimpinan. Padahal Gus Dur sudah jauh-jauh hari menegaskan, laki-laki dan perempuan sama di mata hukum. Pandangan klasik dalam fikih siyasah yang menutup peluang kepemimpinan perempuan sudah tidak relevan di zaman ini. Jangan-jangan yang dimaksud ilmu warisan itu bukan ilmu, tapi beban.

Lebih jauh, Nyai Badriyah mengingatkan, di atas politik masih ada kemanusiaan, mengutip dari tulisan Gus Dur. Demokrasi yang sehat harus mengedepankan nilai inklusif, membela yang tertindas, dan menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi. Sayangnya, realitas di lapangan justru terbalik: politik kita makin maskulin, elitis, bahkan nepotis. Partai politik yang lahir dari reformasi kini menjelma jadi dinasti. Tidak heran, publik lebih percaya pada “kiai kampung” yang dekat dengan rakyat ketimbang elite yang sibuk berburu kursi.

Laode M. Syarif memberi pengingat keras soal korupsi. Ia mengingatkan, Gus Dur memilih menteri bukan berdasarkan kompromi politik, tapi rekam jejak integritas. Gus Dur bahkan melahirkan TGP TPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) lewat PP No. 19/2000, cikal bakal KPK yang sempat ditolak. Hari ini, KPK yang dulu lahir dari rahim reformasi justru dilemahkan. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (Transparency International, 2023) jeblok ke skor 34/100, peringkat 115 dari 180 negara. Jadi, wajar kalau rakyat makin apatis: untuk apa ikut pemilu kalau elitnya sibuk memperkaya diri?

Prof. Mahfud MD menutup dengan refleksi yang sangat epik. Demokrasi, katanya, bukan keharusan. Demokrasi dipilih karena dianggap lebih baik, tapi faktanya, demokrasi bisa membunuh dirinya sendiri. Lihatlah, sebaik apa pun produk hukum yang lahir, ia akan mandul jika tidak ada gerakan komunitas yang menjaga. Supremasi sipil pasca-98 memang berhasil menyingkirkan dwifungsi ABRI, tapi gagal menata partai politik. Hasilnya? Partai menjelma perusahaan keluarga, oligarki makin kuat, masyarakat sipil dilemahkan dengan regulasi dan represi.

Kutipan Gus Dur yang dibacakan di forum itu masih menggema di kepala saya: “Kebisuan adalah salah satu bentuk komunikasi.” Ada getir dalam kalimat itu. Bisa jadi Gus Dur ingin bilang, diamnya rakyat bukan tanda pasrah, melainkan cara lain untuk menyampaikan ketidakpercayaan. Namun, saya khawatir kalau kebisuan itu terus dibiarkan, lama-lama rakyat benar-benar tidak percaya lagi pada demokrasi.

Jadi apa yang tersisa dari kedaulatan rakyat?

Bagi saya, jawaban dari seluruh pembicara tadi jelas bahwa kedaulatan rakyat hanya bisa hidup kalau masyarakat sipil berani bersuara dan bersatu. Supremasi sipil bukan jargon, tapi kerja panjang membangun kekuatan rakyat. Itu bisa dimulai dari hal-hal sederhana, yaitu memperkuat gerakan inklusif, menumbuhkan kepemimpinan perempuan, melawan korupsi dengan solidaritas komunitas, sampai menjaga lingkungan dari kerakusan tambang.

Forum ini membuat saya sadar, demokrasi kita tidak sedang baik-baik saja. Demokrasi kita sedang sakit, bahkan mungkin kritis. Tapi justru dalam situasi ini, spirit Gus Dur relevan: jangan berhenti pada kebisuan, jangan berhenti pada ketakutan. Demokrasi hanya bisa selamat kalau ada keberanian moral, keberanian untuk berkata tidak pada penindasan, dan keberanian untuk berdiri bersama yang lemah.

Mungkin demokrasi Indonesia hari ini memang jelek, kata Prof. Mahfud. Tapi jelek bukan alasan untuk menyerah. Demokrasi yang jelek masih lebih baik daripada otoritarianisme yang angkuh. Persoalannya tinggal satu, apakah kita masih punya cukup masyarakat sipil yang mau bersuara, atau kita justru sibuk jadi buzzer politik yang dibayar recehan untuk membela oligarki?

Kalau Gus Dur masih hidup, saya yakin beliau akan bilang, “Jangan pernah lelah mengingatkan bahwa kedaulatan itu milik rakyat.” Dan mungkin beliau akan menambahkan, dengan sedikit humor khasnya, “Kalau kalian percaya demokrasi itu milik politisi, ya jangan kaget kalau kalian cuma kebagian debu.”

Penggerak Komunitas GUSDURian Surabaya, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *