Kunjungan Alissa Wahid bersama tokoh lintas agama ke rumah duka keluarga Iko di Semarang bukan hanya sekadar aksi solidaritas, melainkan penegasan bahwa nilai kemanusiaan tak lekang dimakan zaman. Ia adalah gema dari warisan Gus Dur—seorang tokoh yang dengan keberanian moral, empati, dan komitmen pluralisme berhasil menegakkan nilai kemanusiaan di tengah pergolakan politik maupun sosial bangsanya.
Tragedi yang menimpa Iko, seorang mahasiswa yang meninggal usai mengikuti aksi, menyisakan duka sekaligus pertanyaan besar. Polisi menyebut penyebabnya kecelakaan lalu lintas, namun keraguan tetap melekat. Dalam situasi abu-abu semacam ini, dukungan moril dari tokoh-tokoh agama sekaligus desakan akan transparansi adalah cermin hidup dari nilai yang sejak lama diperjuangkan Gus Dur: keadilan tanpa diskriminasi.
Agar peristiwa ini tidak dianggap sekadar momentum seremonial, kita perlu kembali menengok apa yang pernah dilakukan Gus Dur. Sebagai seorang negarawan yang kosmopolit, selama hidupnya Gus Dur telah melakukan banyak aksi kemanusiaan. Ia melakukannya di berbagai dimensi kehidupan, mulai dari konsistensinya membela kelompok yang dilemahkan hingga dengan terang-terangan melawan rezim otoritarianisme.
Membela Minoritas dengan Risiko Politik
Gus Dur adalah salah satu pemimpin yang berani membuka ruang kebebasan bagi kelompok Tionghoa di Indonesia. Ia menghapus larangan perayaan Imlek di ruang publik, yang selama bertahun-tahun menjadi simbol diskriminasi. Langkah itu tidak populer, bahkan menimbulkan resistensi, tetapi Gus Dur tetap maju. Baginya, keadilan hanya berarti jika berlaku untuk semua, bukan mayoritas semata.
Apa relevansinya dengan kasus Iko? Bahwa negara tidak boleh menutup mata ketika ada warga yang haknya terampas, meski kasusnya tidak populer atau dianggap “sepele”. Keberanian membela yang lemah adalah tolok ukur apakah kita masih setia pada nilai kemanusiaan.
Dialog Lintas Iman yang Konsisten
Sejak muda, Gus Dur aktif menjalin persahabatan dengan tokoh-tokoh lintas agama. Ia percaya bahwa persaudaraan manusia lebih penting daripada sekat identitas. Saat terjadi konflik SARA, ia tidak segan turun langsung meredam ketegangan, menyapa korban, bahkan mengunjungi tempat ibadah agama lain untuk menunjukkan empati.
Inilah yang tercermin dalam langkah Alissa Wahid bersama tokoh lintas iman mendatangi keluarga Iko. Pesan yang disampaikan jelas: penderitaan satu keluarga adalah penderitaan bersama. Dialog lintas iman bukan sekadar diskusi teologis, melainkan tindakan nyata menyatukan hati dalam duka dan perjuangan.
Keberanian Moral Menghadapi Kekuasaan
Gus Dur seringkali berhadapan dengan rezim, baik sebagai cendekiawan maupun sebagai Presiden. Ia tidak segan mengkritik kebijakan yang melukai kemanusiaan, bahkan jika itu merugikan posisinya sendiri. Sejarah mencatat bagaimana ia berdiri membela hak-hak sipil, termasuk saat rezim Orde Baru menekan demokrasi.
Nilai inilah yang perlu hadir hari ini. Kasus-kasus kematian di tengah aksi protes, seperti yang dialami Iko, menuntut keberanian moral dari masyarakat sipil, tokoh agama, akademisi, dan media untuk bersuara lantang. Sebab terdesus pembohongan narasi korban yang dibalut dengan ‘kecelakaan’ Iko, menurut rekam medis di kepala Iko terdapat bekas pukulan benda tumpul yang mana jauh ini dari keterangan kecelakaan lalu lintas, hal ini menegaskan mengapa kecurigaan terhadap kasus Iko patut mencuat, sebab ada pengalaman pahit tindakan polisi. Membela kebenaran memang seringkali tidak nyaman, tetapi itulah syarat agar demokrasi tetap bernyawa.
Empati yang Melewati Batas Formalitas
Gus Dur terkenal dengan ungkapan jenakanya, tetapi di balik itu tersimpan empati mendalam. Ia kerap datang tanpa protokol, sekadar untuk menemani orang kecil yang terpinggirkan. Dalam setiap langkahnya, ia mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang hadir di tengah duka rakyatnya.
Maka, kunjungan Alissa Wahid ke keluarga Iko bukanlah gestur politik atau seremonial, tetapi untuk melanjutkan empati (rasa yang sama) itu. Nilai yang diwariskan Gus Dur tetap hidup, menuntun generasi penerusnya untuk terus menyambung tangan orang yang dilemahkan.
Kritik: Mengapa Nilai itu Belum Menjadi Sistem?
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: mengapa nilai-nilai yang Gus Dur perjuangkan dulu masih harus terus “diingatkan” melalui momen-momen tragis seperti ini?
Ada tiga kelemahan mendasar yang membuat nilai kemanusiaan seringkali terpinggirkan: Transparansi hukum yang lemah, banyak kasus kematian dalam aksi publik yang berakhir dengan penjelasan minimalis. Ketika aparat tidak mampu menghadirkan fakta yang jelas, publik kehilangan kepercayaan.
Pengawasan sipil yang terbatas, civil society sering kali hanya bersuara keras di awal, lalu melemah ketika kasus mulai dilupakan media. Padahal konsistensi pengawasan adalah kunci. Kebebasan sipil yang rapuh, bila mahasiswa merasa terancam ketika menyuarakan pendapat, demokrasi kehilangan roh kebebasannya.
Dari Warisan ke Tindakan: Apa yang Bisa Dilakukan?
Berpedoman pada teladan Gus Dur, kita bisa menarik beberapa langkah strategis: Mendorong investigasi independen, transparansi hanya bisa dijaga jika penyelidikan dilakukan oleh lembaga yang tidak terikat kepentingan institusional. Memberi pemulihan menyeluruh pada keluarga korban, empati tidak cukup hanya dalam bentuk kunjungan, tetapi harus diwujudkan dalam bantuan hukum, psikologis, dan sosial.
Mereformasi prosedur pengamanan aksi, aparat perlu memiliki standar operasional yang jelas, dengan akuntabilitas ketat jika terjadi pelanggaran. Merawat suara moral lintas iman, persaudaraan tokoh agama yang ditunjukkan dalam kasus Iko harus diperluas ke banyak peristiwa lain, sebagai benteng moral bangsa. Menghidupkan kembali tradisi kritik konstruktif, Gus Dur tidak pernah lelah mengkritik demi kebaikan bangsa. Generasi hari ini harus meneladani keberanian itu, tanpa takut dicap “oposisi”.
Penutup: Beda Masa, Nilai Sama
Nilai kemanusiaan tidak pernah berubah, hanya konteksnya yang berganti. Gus Dur telah membuktikan bahwa membela yang tertindas, membuka ruang pluralisme, dan mengedepankan empati adalah jalan panjang menuju bangsa yang bermartabat.
Kini, di tengah duka keluarga Iko, kita ditantang untuk menegaskan kembali komitmen itu. Di Semarang, kita akan selalu ingat dan menuntut keadilan dalam kasus-kasus terdahulu seperti: Kasus Gamma dan kasus Iwan Boedi. Apakah kita akan membiarkan nilai kemanusiaan hanya menjadi retorika, atau menjadikannya landasan tindakan nyata?
“Beda masa, nilai sama” mungkin adalah slogan biasa. Namun sekarang terlihat nyata, Alissa Wahid tidak sendiri, ia bersama ribuan GUSDURian di tanah air senantiasa menebarkan nilai moral yang diwariskan Gus Dur, agar bangsa ini tidak kehilangan arah. Seperti ucapan Gus Dur yang masyhur: “Tidak penting apa agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.”
Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.









