Gema Kemanusiaan Gus Dur dalam Politik Indonesia

Mengulas, menceritakan kembali, atau membaca ulang tentang sosok Gus Dur tentu tak akan ada habisnya. Menariknya, semakin kita mencoba mengenalnya justru yang didapatkan adalah ilmu baru yang entah tanpa sadar atau tidak, praktiknya sangat dekat dengan kita sebagai manusia dalam kehidupan sosial.

Sadar betul saya belum sempat bertemu secara langsung, bahkan di masa Gus Dur menjadi presiden tubuh saya baru dilahirkan dari rahim ibu (1999), sampai pada 2001 masa pelengserannya dalam pemerintahan terhitung saya baru berusia 2 tahun. Sependek mengikuti ketokohannya dalam sistem perpolitikan Indonesia, seperti di awal saya tulis akan dikejutkan dengan langkah-langkah yang tak lazim, unik, dan pemikiran yang berprinsip.

Hal demikian tentu didasari atas pemikirannya yang plural dan demokratis. Nilai-nilai yang dibawa oleh Gus Dur mencerminkan bahwa kemurnian berpijak pada kepentingan umat menjadi bekalnya dalam memimpin Indonesia kala itu. Bahkan, tidak berhenti di zamannya.

Ketokohan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam dunia politik Indonesia kerap dikritik sebagai pemimpin yang “tidak efektif”. Pemerintahannya singkat, penuh kontroversi, dan sering dianggap gagal mengelola politik praktis. Tetapi, ketika melihat hanya dari satu sudut pandang itu berarti kehilangan gambaran lebih dasar: Gus Dur telah menanamkan fondasi etis bagi demokrasi Indonesia. Ia mengajarkan bahwa demokrasi sangat erat hubungannya dengan kebudayaan. Fakta ini tidak bisa dikaburkan oleh argumen lain yang tak mendasar.

Ia menolak demokrasi dijalankan hanya sebagai arena perebutan kekuasaan semata. Demokrasi merupakan ruang bagi manusia untuk berbincang, bertemu, berselisih lalu mencari solusi agar menemukan jalan kebersamaan. Itu sebabnya, Gus Dur sering kali terlihat lebih nyaman berdiskusi bersama aktivis, seniman, kelompok-kelompok lintas iman, dan komunitas pinggir dan kecil daripada dengan elite politik yang sibuk berdiplomasi untuk mengamankan kursi.

Basis tajamnya nurani dan keterbukaannya inilah yang justru menjadi warisan besar sekaligus menjadi fondasi humanisme-kultural berkembang pesat. Pemikirannya menembus lintas generasi dan dimensi. Bukan kebijakan tertentu yang ditinggalkan, tapi semacam etos bahwa sekali lagi politik harus berpihak pada kemanusiaan.

Humanisme Gus Dur bukanlah humanisme yang jumud, selesai komunikasi dari menara gading. Akan tetapi, murni tumbuh dari keseharian, dari pertemuan dengan orang-orang kecil, canda tawa di warung kopi, keakraban dengan minoritas yang kerap dimarjinalkan, dan lelucon-lelucon yang terkadang terkesan “sembrono” pun menjadi humor yang syarat makna. Mungkin inilah yang menjadi daya pikatnya.

Kenyataannya Gus Dur memang hadir tidak sebagai “manusia sempurna”, dengan humor sinis, lepas landas lontaran kalimatnya, ia pun kerap salah ucap, terkadang pula nyeleneh. Tetapi di situlah letak kemanusiaanya melekat pekat. Seperti cermin retak yang tetap mampu memantulkan cahaya sekitar, kehadirannya mengingatkan kita bahwa keterbatasan manusia justru melahirkan kebutuhan untuk saling merangkul. Ia sadar betul, sejarah panjang Indonesia yang menjadi luka mengaga tatkala perbedaan dipaksa untuk berseragam. Dari politik hingga agama, dari ideologi hingga entitas, selalu ada sisi yang akan tersingkir. Gus Dur memilih berdiri di barisan yang tersingkir ini.

Kini bertahun-tahun setelah kepergiannya, kita menyaksikan rakyat terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Tindak korupsi, kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, kepongahan elite, dan kekerasan yang berlebihan dalam menyikapi penyampaian aspirasi menjadi fenomena harian yang kita dengar dan mendatangkan keprihatinan. Dalam suasana seperti ini, seakan suara Gus Dur terus menggema dan tak kunjung pudar: bahwa bangsa ini bisa bertahan hanya dengan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Gus Dur: Manusia Otentik dalam Perpolitikan Indonesia

Mungkin kita sering terjebak nostalgia ketika membicarakan sosok Gus Dur. Kita ingat candanya, kehangatannya, keberaniannya melawan arus. Lebih dari sekedar kenangan, ia hadir justru sebagai sebuah peringatan. Mengingatkan kita bahwa demokrasi dan keadilan tidak pernah hadir dengan sendirinya. Keduanya selalu menuntut untuk hadir dan membela yang lemah, kesediaan untuk siap mendengar yang berbeda, dan kebijakan untuk menertawakan kesombongan diri sendiri.

Di tengah kegilaan politik praktis Indonesia yang makin keras membelah identitas antara “kami” dan “mereka,” pandangan yang memperjelas “lawan” atau “kawan” Gus Dur hadir sebagai suara yang menolak dikotomi, menunjukkan kebudayaan dan perbedaan itu bukan pagar, namun sebuah jembatan.

Sebuah obrolan familiar yang terdengar di beberapa podcast masa kini, salah satunya “Ruang Sahabat” Prof. Mahfud MD yang pekan lalu mendatangkan pengamat politik Rocky Gerung, ia mengenang obrolannya bersama Gus Dur dahulu, saat ia memasuki masjid yang mana notabene Rocky ini beragama non-Muslim. 

Banyak cemoohan dari orang sekitar, namun Gus Dur memberikan jawaban yang menenangkan sekaligus menggelitik, “Loh masjid ini kan ruang publik. Siapa saja dari agama mana saja boleh masuk. Menurut Rocky, level beragama Gus Dur jauh melampaui pemikiran kerdil umat beragama rata-rata orang Indonesia. Lebih dari itu, ia juga menilai presiden yang dilengserkan oleh musuh politiknya ini, seseorang yang cerdas, beretika, dan sense of humor-nya di atas rata-rata kebanyakan manusia dan juga elite politik.

Sublimasi inklusivitas dalam praktik berpolitiknya. Bahwa dalam demokrasi tentu melahirkan perbedaan, namun dengan tangan dingin Gus Dur mampu mengatur perbedaan pandangan politik itu sebagai produk harmoni etik dalam berpolitik. “Perlu ditegaskan, Gus Dur merupakan manusia otentik dalam perpolitikan Indonesia,” kata Rocky Gerung.

Relevansi Gus Dur hari ini justru terasa ketika pluralisme kembali diuji, ketika demokrasi seolah direduksi menjadi sekedar angka mayoritas, ketika kekuasaan lagi-lagi digunakan sebagai senjata pamungkas meredam suara kritis. Dalam suasana semacam itu, kita perlu merenungkan kembali kalimatnya yang menyatakan “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.”

Gus Dur mengajarkan bahwa tugas manusia bukanlah menjadi sempurna, karena memang tidak akan pernah mencapai maqam itu, melainkan menjadi manusia seutuhnya yang mau dan mampu hidup bersama manusia lain bersama-sama memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Itulah makna demokrasi, pluralisme, dan humanisme sejati.

Penggerak Komunitas GUSDURian Wonosobo, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *