Makanan Bergizi Gratis (MBG) seharusnya menjadi program yang dirayakan, bukan justru ditakuti seperti saat ini. Padahal, jika digarap dengan tepat, MBG berpotensi menjadi program yang memberikan manfaat besar bagi banyak sektor kehidupan rakyat.
Di Jepang, ada sebuah program bernama kyuushoku. Ini adalah istilah lain dari makan siang gratis di sekolah yang sudah ada sejak tahun 1890-an. Program ini kemudian gencar dilakukan saat Perang Dunia Kedua untuk mencukupi nutrisi para siswa kurang mampu, khususnya di daerah-daerah yang dilanda kesulitan pangan.
Kyuushoku kemudian diberikan kepada seluruh siswa melalui School Lunch Act yang disahkan pada 1954. Melalui aturan ini, kyuushoku bukan sekadar program untuk mencukupi nutrisi pelajar, namun berkembang menjadi sistem ekonomi dan budaya lokal. Para pelajar diajarkan untuk membangun kebersamaan dan melakukan sensing pada berbagai variasi pangan lokal, tata cara makan, hingga mempromosikan kebiasaan makan sehat yang dikenal sebagai shokuiku.
Menariknya, para siswa terlibat dalam proses makan tersebut. Mereka bertanggung jawab untuk menyiapkan meja, mengambil makanan, hingga membersihkan alat-alat seusai makan. Selain itu, dengan memprioritaskan produk lokal, kyuushoku menunjukkan keberpihakan pemerintah pada lokalitas yang tentu berimbas pada roda ekonomi lokal.
Di Indonesia, hal ini dilakukan oleh berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Pesantren, seminari, hingga sekolah-sekolah full day memiliki skema untuk menyediakan makanan yang mendukung ketahanan pangan dan pemenuhan nutrisi para siswa.
Peran ini kemudian coba dijalankan oleh negara melalui program unggulan Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini merupakan janji kampanye Prabowo Subianto yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan gizi pelajar. Untuk memastikan program berjalan, Prabowo sampai terbang ke Tiongkok untuk melihat penerapan program sejenis di sana. Ia juga membayangkan program ini mampu menggerakkan perekonomian rakyat karena akan menyerap komoditas lokal.
Namun setelah beberapa bulan berjalan, program MBG mendapat banyak sorotan. Ketahanan pangan yang dibayangkan sang presiden tak sepenuhnya berjalan sesuai keinginan. Malahan, program ini menyebabkan kasus keracunan massal yang membuat program ini mendapat plesetan ‘makan beracun gratis’. Hal ini menjadi paradoks di tengah upaya untuk membangun bangsa melalui generasi yang cukup nutrisi.
Gastrokolonialisme
“Saya ingin melihat anak Papua makan ikan kuah asam. Saya ingin anak Sulawesi bisa makan kapurung,” ujar ahli gizi Tan Shot Yen, di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat. Dokter Tan mengkritik pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tidak berpihak pada pangan lokal karena ditemukan menu-menu yang nir-gizi.
Ia mencontohkan menu MBG di sejumlah wilayah berupa makan olahan dari gandum, seperti burger, spaghetti, dan sandwich. Padahal, gandum sebagai bahan utama makanan-makanan tersebut tidak diproduksi di Indonesia. Menurutnya MBG bisa menjadi program yang baik jika mampu menyerap 80% bahan lokal, bukan mengandalkan impor dan olahan industri.
Tanpa keberpihakan pada produksi lokal, MBG bisa menjadi program yang justru melakukan praktik kolonialisme pangan. Craig Santos Perez memperkenalkan istilah gastrocolonialism atau kolonialisme perut untuk menyebut bentuk penjajahan dalam sistem makanan dan kesehatan lokal. Penjajahan ini ditandai oleh impor makanan olahan rendah nutrisi berskala besar yang diproduksi oleh perusahaan multinasional.
Kolonialisme selalu membawa nalar sentralitas. Dalam program MBG, sentralisasi diwujudkan melalui ‘dapur MBG’ yang disebut Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Di beberapa daerah, dapur plat merah ini bahkan menggeser kemandirian sekolah yang sudah lama memiliki sistem makan sendiri. Parahnya, dapur-dapur ini banyak yang baru terbentuk setelah program ini dijalankan oleh pemerintah.
Sentralisasi dapur merupakan salah satu biang dari malapetaka keracunan di sejumlah wilayah karena makanan yang disajikan sudah tidak layak konsumsi. Pasalnya, rantai produksi dan distribusinya terlalu panjang. Satu dapur MBG bisa memproduksi ribuan porsi per hari.
Desentralisasi
Meski diprotes banyak kalangan, tampaknya program ini akan terus berjalan. Anggaran sejumlah 335 triliun juga sudah disetujui oleh DPR untuk anggaran tahun depan.
Oleh karenanya, menolak MBG sepenuhnya bukan pilihan yang strategis. Justru, masyarakat perlu mendorong agar MBG benar-benar mampu untuk memerdekakan bangsa dari ancaman kekurangan nutrisi. Dengan kata lain, kita perlu bersiasat agar MBG tidak menjadi program yang menjajah kedaulatan perut warganya.
Untuk mengatasi persoalan keracunan, pemerintah tengah menyiapkan skema sertifikasi dalam bentuk Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Nantinya, dapur MBG harus memiliki sertifikat tersebut. Namun hal ini tidak akan menyelesaikan persoalan mendasar dari pelaksanaan MBG. Ide sertifikasi menegaskan pemerintah justru hanya melihat bencana keracunan sebagai problem ‘di atas kertas’.
Padahal masalah dapur MBG sudah sedemikian kompleks. Sertifikasi hanya menambah jalur legalitas. Sementara jika ingin berbenah, pemerintah perlu mengambil perubahan radikal dalam sistem tata kelola MBG. Salah satunya adalah dengan mengembalikan kedaulatan gizi pada elemen yang lebih dekat dengan para pelajar: keluarga dan lingkungan sekolah.
Dalam penyajian makanan, pemerintah perlu mengubah dari paradigma yang sentralistik menuju paradigma desentralistik. Alih-alih membentuk dapur MBG, pemerintah bisa menginisiasi dapur berbasis sekolah yang bertanggung jawab dari hulu dan hilir dalam memberikan pelayanan gizi pada pelajar di sekolah masing-masing.
Kita bisa mengadopsi cara Jepang melakukan kyuushoku. Makanan bergizi mesti menjadi bagian integral dari sistem pendidikan yang ada di setiap sekolah. Ia tidak hanya mencukupi kebutuhan perut, namun juga sarana melatih etika dan moralitas serta menghargai lokalitas.
Pemerintah hanya perlu membuat regulasi, misalnya bahan-bahan makanan harus berasal dari komoditas lokal dengan standarisasi gizi yang tepat. Di samping itu, keluarga bisa dilibatkan dalam mengusulkan menu sehat berbasis kearifan lokal.
Jika demikian, MBG bisa menjadi gerakan bersama di mana rakyat menjadi subjek aktif, bukan lagi bersifat top-down seperti yang sudah-sudah.









