Santri Poskolonial: Menjaga Tradisi Pesantren dengan Menjadi Subjek

Kaum santri, sejak masa kolonial, memang selalu hendak dilemahkan oleh kuasa kolonial. Sebab, secara historis, komunitas santri menjadi salah satu aktor utama yang memberontak kepada kekuasaan. Islam, tidak sekadar urusan ibadah mahdlah, tetapi juga menjadi spirit gerakan sosial, terutama membebaskan diri dari ketertindasan. Bahkan, nilai-nilai Islam telah diterjemahkan oleh manusia Nusantara, sebagai way of thinking dan way of life dalam kehidupan sehari-hari.

Pemberontakan umat Islam terhadap kekuasaan Belanda, membuat kafir londo itu merasa harus membuat kebijakan untuk melemahkan agama Islam di Bumi Nusantara. Terutama, setelah terjadi beberapa peristiwa, seperti: Perang Sabil (1873-1912), Perang Jawa (1825-1830), Geger Cilegon (1888), dan Peristiwa Garut (1919). Gerakan melawan kaum kolonial ini membuat “bulu kuduk kaum kolonial bergidik”.

Snouck Hurgronje, seorang sarjana kolonial asal Belanda, memberi nasihat kepada kekuasaan Hindia Belanda, bahwa Islam tidak bisa dianggap remeh, baik sebagai agama maupun kekuatan politik. Namun, di mata kaum kolonial, musuh utama mereka adalah Islam sebagai kekuatan politik (Benda, 1980: 48). Mengapa Snouck lebih khawatir dengan “Islam sebagai politik” ketimbang “Islam sebagai agama”? Karena, menurut Snouck, Islam yang dianut kaum pribumi bukan “Islam murni”—seperti di Arab.

Persoalan di atas kemudian hendak diselesaikan oleh Snouck Hurgronje. Salah satu strategi politis yang ditawarkan sarjana “Negeri Kincir Angin” itu, ialah modernisasi kaum pribumi, terutama di kalangan bangsawan Jawa (priyayi). Dalam istilah Benda, strategi ini disebut Westernized Indonesia. Pada awal abad ke-20, Belanda kemudian mengenalkan dan mengembangkan sekolah model Barat kepada penduduk pribumi. Pendidikan model Barat, bagi kaum kolonial, merupakan sarana yang paling efektif untuk menandingi pendidikan model pesantren di Nusantara (Dhofier, 2011: 70; Benda, 1980: 53). Dengan demikian, pengaruh Islam di “Negeri Bawah Angin” lambat laun bisa berkurang.

Selain langkah-langkah politis semacam itu, kolonial (Barat) juga berusaha menjajah kita dalam wilayah epistemologis. Mereka, dengan cara menulis “sejarah” bangsa kita, selalu menanamkan benih-benih kolonialisme ke dalam tradisi dan kebudayaan kita, khususnya tradisi masyarakat santri. Selama bertahun-tahun, tradisi dan kebudayaan kita (Islam) sering kali dipandang secara peyoratif dan sinis oleh kaum orientalis.

Dalam The History of Java (2019: 427), misalnya, Raffles memandang Islam di Jawa secara sinkretik—campuran doktrin dan tradisi Hindu-Budha. Geertz, dalam sebuah artikel bertajuk “The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker” (1960: 229-230), mengatakan bahwa kiai adalah “makelar budaya” (cultural broker). Kemudian, Paul Stange dalam Kejawen Modern (2008: 5), menyebut keislaman Sunan Kalijaga sebatas “pada lapisan luar ketimbang di dalam batin kehidupannya”. Dan masih banyak studi mereka (orientalis) tentang “kehidupan” kita, khususnya masyarakat santri, yang mengandung “sinisme orientalis”—istilah Nur Khalik Ridwan.

Dengan melihat beberapa kasus di atas, kita dapat memahami, bahwa penjajahan di Indonesia masih tetap berlangsung hingga saat ini, terutama dalam tataran epistemologis (cara berpikir) bangsa kita. Maka tak ayal, jika masih banyak dari masyarakat kita yang memiliki pandangan negatif terhadap tradisi pesantren. Sebab, demikian adalah efek dari “imperialisme epistemik” kaum kolonial (orientalis) yang telah mendisiplinkan cara berpikir kita. Sehingga, sampai saat ini, kita masih sukar dalam memahami kedaulatan “jati diri” bangsa kita.

Belajar dari Kiai NU: Menulis “Kehidupan” Pesantren

Pada masa penjajahan Belanda atau Jepang, umat Islam memahami “jihad” sebagai spirit perlawanan dan pembebasan, sehingga melahirkan gerakan sosial untuk mengusir kaum kolonial (Maliki, 2000: 150). Di masa kini, kita bisa melanjutkan spirit itu dalam beragam konteks, terutama dalam menjaga tradisi yang baik dan menerima hal-hal baru yang lebih baik (al-muḥāfaẓah ‘alā al-qadīm aṣ-ṣāliḥ wa al-akhdzu bil-jadīd al-aṣlaḥ).

Dalam konteks membingkai sejarah dan menjaga tradisi pesantren, kita harus belajar dari kiai-kiai NU. Selain mazhab dan manhaj mereka, menurut saya, warisan (legacy) kiai-kiai NU yang perlu senantiasa kita lestarikan ialah budaya “tulis-menulis”. Sebabnya sederhana: dengan menulis sejarah dan tradisi kita (pesantren), berarti kita sedang menjadi subjek (fa’il), bukan lagi menjadi objek (maf’ul). Dan memang demikian adalah tanggung jawab kita sebagai santri.

Boleh jadi, selama ini tradisi pesantren kerap disalahpahami, karena kita sebagai generasi mutakhir, kurang begitu memperhatikan legacy para ulama NU itu. Mengenai hal ini, kita bisa belajar dari beberapa kiai, antara lain: KH. Abdul Chalim Leuwimunding, KH. Saifudin Zuhri, KH. Abdul Aziz Masyhuri, dan KH. Abdurrahman Wahid.

Keempat kiai itu, dengan tidak bermaksud menafikan kiai-kiai lain, telah memberikan teladan kepada kita, bahwa tradisi kehidupan pesantren harus ditulis oleh santri itu sendiri. Karena, santri “memahami” bagaimana kehidupan (sesungguhnya) di pesantren, berikut dengan pandangan hidup (worldview), amaliyah, sistem pendidikan, dan lain sebagainya.

Kiai Abdul Chalim Leuwimunding menulis catatan (syair) dengan aksara Arab-Pegon bertajuk Sejarah Perjuangan Kiai Haji Wahab Chasbullah (1970). Kiai Saifudin Zuhri menulis dua buku penting tentang kiai dan pesantren: Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1974) dan Berangkat dari Pesantren (1987). Kiai Abdul Aziz Masyhuri, menulis buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia: Riwayat, Perjuangan, Doa dan Hizib Jilid I & II (2008). Sementara Gus Dur menulis beberapa artikel di awal 1980-an tentang “antropologi kiai”, dan kemudian dibukukan dengan judul: Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1997).

Beberapa buku di atas ditulis oleh kia-kiai NU. Dan, mereka semua adalah seorang santri. Maksud dari menulis catatan atau buku itu, tidak lain, ialah untuk “menjaga” sekaligus “mengabarkan” tradisi dan kehidupan pesantren kepada masyarakat luas. Dalam konteks ini, mereka sedang menjadi subjek (fa’il) yang “berbicara” tentang dunia pesantren. Dengan kata lain, mereka merupakan “orang dalam”—dalam arti sepenuhnya—yang tidak bisa ditandingi oleh etnolog nomor wahid sekalipun.

Santri Poskolonial: Dari Maf’ul Menuju Fa’il

Tanggung jawab seorang santri, memang tidak mudah. Selain harus menerjemahkan “teks” secara kontekstual, mereka juga dituntut untuk menjadi agen peradaban. Sebagai santri, kita harus berperan aktif dalam mengarungi samudra kehidupan. Sebab, sejak awal, santri di-“gulawentah” dalam bilik pesantren memang untuk menjadi aktor, agen, atau subjek aktif, bukan sekadar mengikuti arus (pasif).

Ketika Indonesia dijajah oleh bangsa asing, santri selalu berada di depan, untuk membela tanah air. Kemudian, setelah kemerdekaan, kalangan santri ikut membangun fondasi bangsa dengan cara masuk ke dunia politik. Kaum santri juga mengambil peran dalam menulis sejarah, kebudayaan, dan menuangkan sederet gagasan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Maka, warisan-warisan generasi awal, perlu kita lanjutkan dalam konteks kekinian, khususnya tentang bagaimana menjaga mazhab dan manhaj pesantren.

Salah satu cara untuk mengemban tanggung jawab itu, ialah dengan menulis segala hal tentang pesantren. Sebagai warga negara, kita telah diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum. Sehingga, siapa pun, dapat menjadi “subjek” dan “objek”. Jika selama ini kita selalu dijadikan objek (maf’ul) oleh kaum orientalis atau orang lain, maka sudah semestinya kita memosisikan diri menjadi subjek (fa’il). Hal semacam ini, tentu akan menciptakan medan “perang” otoritas. Transisi dari posisi objek menuju subjek, menurut Baso, adalah sebuah strategi untuk meruntuhkan “otoritas” kaum terpelajar (Baso, 2006: 57).

Sudah sejak lama, tradisi pesantren dibaca dan dikaji oleh sarjana-sarjana Barat. Dalam membaca “kehidupan” kita, secara terselubung, mereka senantiasa menggunakan lanskap orientalisme. Sehingga, tradisi dan kebudayaan kita, diolah dan disajikan melalui “racikan” mereka. Maka tak heran, jika di kemudian hari, hasil dari kajian mereka tampak problematis—meski tidak semua. Sebab, perspektif kaum orientalis itu sarat akan kepentingan ideologis dan politis.

Edward Said, dalam Orientalism (1979), telah menunjukkan bagaimana bangsa Barat (kolonial) melakukan “imperialisme epistemik” saat membahas dan mengkaji dunia Timur. Menurut “nabi” Studi Poskolonial ini, relasi Barat dan Timur adalah relasi kekuasaan, dominasi, dengan berbagai tingkat hegemoni yang begitu kompleks. Strategi “timurisasi Timur” (Orientalizing the Oriental) dilakukan oleh Barat untuk menundukkan bangsa Timur (Said, 1979: 5-6). Dengan kata lain, selama bangsa kita dibaca menggunakan epistemologi Barat, maka tidak akan ada kesetaraan. Barat akan selalu “superior” dan kita (Timur) “inferior”.

Dalam konteks semacam itulah, belakangan ini pesantren diposisikan. Kiai dan santri dijadikan objek (maf’ul) oleh mereka yang tidak memahami “kehidupan” pesantren. Mereka sekadar melihat dari luar, lalu menarik beberapa kesimpulan yang jauh dari fakta—untuk tidak mengatakan “dangkal”. Kesalahpahaman tentang tradisi pesantren, salah satunya, disebabkan oleh model pembacaan semacam ini. Bahkan, logika “generalisasi” kerap digunakan untuk menarik sebuah kesimpulan.

Cara untuk mengatasi kesimpulan “ngawur” di atas, sebagai seorang santri, kita harus memosisikan diri sebagai “subjek” (fa’il). Kita tidak boleh terus-terusan menjadi objek orang lain. Sebab, kita memiliki “otoritas” atas tradisi dan segala hal tentang pesantren. Bahkan, sebagai “orang dalam”, kitalah yang benar-benar memahami bagaimana kecanggihan dan keunikan dunia pesantren. Singkatnya, kita harus menjadi “Kiai Abdul Chalim”, “Kiai Saifudin Zuhri”, “Kiai Aziz Masyhuri”, atau “Gus Dur” baru untuk menjaga, melestarikan, dan mendengungkan mazhab dan manhaj pesantren. Sebab, kalau kita terus menjadi maf’ul, berarti kita selalu bersedia “dijajah” oleh fa’il.

Santri asal Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *