Dakwah merupakan sesuatu yang penting dalam Islam karena dengan salah satu konsep inilah Islam mampu tersebar ke seluruh pelosok dunia, dan bahkan peradaban Islam mampu terbangun sampai saat ini. Sayyid Quthb pernah menegaskan bahwa dakwah telah menjadi watak yang inheren dalam Islam. Kegiatan dakwah tidak bisa dipisahkan dari Islam, karena Islam memang merupakan agama dakwah.
Bicara dakwah tentunya tafsirnya tidak hanya berkutat pada surga-neraka, halal-haram, atau sebatas ajakan ibadah mahdhah saja. Dakwah juga harus meliputi kegiatan sosial, budaya, ekonomi, politik, serta lingkungan. Berdakwah berarti mengajak dan menyerukan untuk berbenah serta menjaga dengan penuh kesadaran. Selain itu, kata Ahmad Khoirul Fata, dakwah juga dimaksudkan untuk menghentikan kerusakan-kerusakan yang ada dan deviasi perilaku yang terjadi di masyarakat.
Dalam konteks saat ini, terdapat problem serius yang jarang disentuh oleh aktivitas dakwah. Dakwah di mimbar-mimbar, pengajian, majelis taklim, dan bahkan di madrasah serta pesantren hanya berhenti pada seruan surga-neraka, halal-haram, dan perintah wajib dalam rukun Islam saja. Di beberapa siaran televisi dan media sosial, kegiatan dakwah juga hanya menayangkan bagaimana seorang istri yang taat kepada suaminya, bagaimana mendidik anak agar menjadi saleh/salihah dan berbagai dakwah serupa lainnya. Hal ini baik dan tidak boleh ditinggalkan, hanya saja ruang lingkup dakwah perlu diperluas.
Kerusakan Alam Akibat Ulah Tangan Manusia
Sebagaimana yang tegaskan dalam Al-Quran (QS Ar-Rum: 41) bahwa kerusakan di darat dan di laut merupakan dampak dari ulah tangan manusia. Hanya saja, kesadaran ini sering kali diabaikan dalam dakwah-dakwah umum. Menjaga lingkungan tidak hanya tentang memenuhi tanggung jawab sosial, tetapi juga merupakan bagian dari ibadah.
Sebagai umat Islam, menjaga keseimbangan ekologi adalah bentuk nyata dari ketaatan kepada Allah SWT, karena semua makhluk hidup tercipta dengan tujuan tertentu dan memiliki hak atas keberadaan mereka. Sebagai contoh, Nabi Muhammad SAW telah memberikan banyak teladan tentang pentingnya dakwah ekologis dalam menjaga alam, seperti larangan menebang pohon secara sembarangan, menganjurkan penanaman pohon, dan memperingatkan agar tidak membuang air secara sia-sia. Bahkan ketika kita berada di tempat yang melimpah air sekalipun.
Saat ini kerusakan ekologi akibat proses pembangunan tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam, penebangan hutan sembarangan, dan pengalihfungsian lahan menjadi salah satu problem serius bagi kemanusian. Ini merupakan salah satu tantangan besar dalam menjalankan dakwah di era kontemporer. Perlu adanya perhatian yang serius dari kalangan umat beragama (terutama umat Islam), terhadap isu lingkungan hidup. Karena dalam berbagai hal, manusia sangat bergantung pada alam. Dengan demikian, apa pun yang terjadi pada alam pasti akan berdampak pada kehidupan manusia.
Seharusnya, dakwah ekologis bisa lebih sering digaungkan oleh para ulama. Dengan begitu, masyarakat akan lebih sadar akan pentingnya menjaga alam sebagai bentuk tanggung jawab kita kepada Allah SWT dan generasi mendatang. Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan kita dengan lingkungan. Maka, mari kita mulai memperbaiki hubungan kita dengan alam, karena ini adalah bagian dari iman kita.
Setiap Kita Bertanggung Jawab Menjaga Alam
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyed Hossein Nasr, seorang filsuf Muslim yang menggali hubungan antara Islam dan ekologi, manusia memiliki peran istimewa sebagai khalifah Allah SWT (khalifah fil ard) di muka bumi. Menurut Nasr, tanggung jawab manusia sebagai khalifah bukan hanya terbatas pada aspek moral saja, tetapi juga mencakup pemahaman mendalam tentang harmoni alam semesta yang telah diciptakan Allah SWT. Ia menegaskan bahwa melanggar keseimbangan alam (mizan) adalah sama dengan mengabaikan perintah Allah SWT untuk menjaga ciptaan-Nya.
Pemikiran Nasr selaras dengan pandangan Fazlur Rahman, yang menekankan bahwa etika Islam selalu berkaitan dengan tujuan keberlanjutan dan kesejahteraan bersama (maslahah). Dalam konteks dakwah ekologis, menjaga lingkungan hidup adalah bagian dari tanggung jawab bersama untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan pelestarian alam. Dengan demikian, Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan yang merusak lingkungan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah SWT. Hal ini juga ditegaskan dalam Q.S Al-A’raf:56 yang menyerukan, “Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya”.
Selain itu, Aldo Leopold, seorang ahli ekologi dan filsuf asal Amerika, dalam bukunya yang berjudul A Sand County Almanac, ia memperkenalkan gagasan “land ethic” yang mengajarkan bahwa manusia seharusnya merasa bertanggung jawab terhadap bumi dan makhluk hidup lainnya. Leopold berpendapat bahwa manusia bukanlah pemilik alam, melainkan bagian dari komunitas ekologi yang lebih luas.
Oleh karena itu, penerapan konsep khalifah fil ard tidak hanya mengharuskan manusia hidup selaras dengan alam, tetapi juga menuntut kesadaran spiritual bahwa segala sesuatu di alam semesta adalah tanda kebesaran Allah (ayatullah). Menjaga lingkungan berarti menghormati tanda-tanda ini dan menjalani kehidupan yang didasarkan pada tauhid, yaitu pengakuan terhadap keesaan Allah SWT dan kesatuan ciptaan-Nya.
Aktualisasi Dakwah Berbasis Ekologi
Islam sendiri sebagai agama rahmatan lil’alamin mengajarkan umatnya untuk menjaga lingkungan. Karena manusia harus hidup berhubungan baik dengan alam (hablum minal alam) dalam menjalankan perannya sebagai khalifah di bumi. Konsep hablum minal alam ini menekankan bahwa hubungan antara manusia dan alam tidak hanya bersifat praktis, tetapi juga memiliki sisi spiritual.
Alam merupakan bagian dari ciptaan Allah yang harus dihormati, dirawat, dan dijaga keseimbangannya. Allah menciptakan alam semesta dengan keseimbangan yang sempurna (QS. Ar-Rahman, 55:7-9), dan manusia diberi amanah untuk menjaga harmoni tersebut, bukan justru merusaknya. Ketika manusia mengabaikan tugas ini dan merusak lingkungan, dampaknya tidak hanya menimpa alam itu sendiri, tetapi juga menyerang manusia sebagai bagian dari ekosistem. Kerusakan lingkungan seperti polusi, penebangan hutan, dan perubahan iklim adalah bukti nyata bahwa manusia mengabaikan amanah yang diberikan.
Oleh karena itu, Howard Gardner pernah mendesak agar para environmentalist (pemerhati dan aktivis lingkungan) untuk bekerja sama dengan kaum agamawan yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat untuk menyelamatkan bumi. Menurut Gardner, keterlibatan agama merupakan suatu keharusan ilmiah karena agama memiliki, setidaknya, lima aset dalam upaya perlindungan ekologis, yakni 1) kapasitas membentuk kosmologi yang sejalan dengan visi ekologis, 2) otoritas moral, 3) basis pengikut yang besar, 4) sumber daya materi yang signifikan, dan 5) kapasitas membangun komunitas.Lebih lanjut, Nasr juga menegaskan bahwa diperlukan mengembalikan dimensi spiritualitas ke dalam kehidupan masyarakat. Ia menyebutnya sebagai proses resakralisasi alam semesta (resacralizadon of nature). Untuk itu, perlu dibuat kosmologi baru yang didasarkan pada tradisi spiritualitas agama yang memiliki sarat makna dan kaya akan kearifan. Kosmologi ini menjadi sumber visi, inspirasi, dan motivasi bagi masyarakat dalam membangun etika lingkungan hidup yang berkelanjutan.









