MOJOKERTO – Forum Lingkar Jagat Jaringan GUSDURian membuka ruang kolaborasi lintas agama dan komunitas di Mojokerto. Forum ini membicarakan akar masalah dan solusi konkret tentang langkah untuk menangani sampah di Kota Mojokerto, Jawa Timur.
Berlokasi di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Raden Wijaya Mojokerto, Selasa (28/10/2025) sejumlah tokoh lintas iman, akademisi, pegiat lingkungan, serta perwakilan pemerintah daerah hadir dalam agenda bertemakan ‘Menuju Mojokerto Bebas dari Sampah’.
Acara diskusi berbalut talkshow ini dipandu oleh Korwil GUSDURian Jawa Timur, Masruroh. Pada kesempatan itu, Koordinator Seknas Jaringan GUSDURian, Jay Akhmad menyampaikan, menjaga lingkungan bukan sekadar kegiatan sosial, tetapi juga nilai spiritual.
“JAGAT sendiri punya dua arti. Arti pertama adalah semesta, sedangkan arti kedua adalah Jejaring Agama untuk Gerakan Alam & Toleransi. Artinya, dengan agama yang berbeda-beda, kita bisa berbicara tentang menjaga lingkungan. Bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ritual keagamaan,” papar Jay (sapaan akrab) dalam sambutannya.
Sementara itu, Kepala Vihara Tantular Sugata Wilwatikta yang juga hadir sebagai narasumber, Y.M. Nyanasila Thera menyebut, persoalan sampah sejatinya bermuara pada kesadaran manusia terhadap kehidupan.
Menurutnya sampah adalah refleksi batin manusia, apabila hati dan pikiran penuh sampah, maka lingkungan pun ikut kotor. Sehingga, lanjut dia, pemilahan merupakan bentuk meditasi sosial, yaitu membedakan mana yang bisa diolah dan tidak.
“Pemilahan adalah edukasi awal dari sampah. Kesadaran ini hanya akan terbangun kalau ada pengetahuan atau edukasi. Contoh desa-desa di Bali yang berhasil mengelola sampah secara mandiri. Bahkan malah dapat pemasukan dari memilah sampah. Setiap rumah memilah, lalu hasilnya dijual ke pabrik. Kita bisa meniru model itu di Mojokerto,” kata Nyanasila.
Bukan sekadar masalah sampah rumah tangga, desainer produk dari PT Ini Solusi Hijau, Lia Nirawati menyebut limbah fashion telah menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar di Kota Onde-onde ini. Berangkat dari hal itu, ia berinisiatif mengolahnya kembali.
Pihaknya menegaskan, dunia mode harus mulai meninggalkan budaya konsumtif dan mengarah ke siklus berkelanjutan (sustainable fashion). Inovasinya kini menjadi inspirasi bagi komunitas muda Mojokerto untuk memulai ‘gerakan upcycle lokal’.
“Kenapa jeans? Karena semua orang punya dan memakai jeans. Jeans adalah bahan yang kuat dan lama terurai, bisa sampai 20 tahun. Kami mengolah celana bekas jadi pakaian, tas, topi, hingga sepatu baru. Jadi kami memberi kehidupan kedua pada limbah fashion ini,” jelas Lia yang juga Founder PT Upcycle Project.
Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Mojokerto, Ikromul Yasak yang diwakili oleh Marjuki, menyatakan persoalan sampah di wilayah Kota Mojokerto begitu kompleks.
“Sampah yang ada sekarang tidak hanya berasal dari masyarakat kota, sebagian dari sampah masyarakat di kabupaten. Kalau di data komposisinya 28,87 persen sisa makanan, 16 persen limbah kayu, 10 persen kertas, 38 persen plastik, dan 2 persen loga. Sampah plastik di TPA sudah menumpuk, tingginya mencapai tinggi 95 Meter dari 1990 sampai sekarang. Diprediksi pada tahun 2030 TPA tidak bisa lagi menampung sampah-sampah di Mojokerto,” jelas Marjuki.
Ia menyebut, tantangan terbesar bukan hanya volume, tetapi juga minimnya kesadaran masyarakat untuk memilah dan mendaur ulang. DLH, lanjutnya, kini menggandeng bank-bank sampah dan mengadakan pelatihan pemilahan sebagai langkah awal menuju pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
“Kalau kesadaran memilah tumbuh, beban TPA akan jauh berkurang. Kita perlu ubah paradigma: sampah bukan akhir, tapi sumber daya baru,” imbuhnya.

Agama dan Lingkungan
Adapun sejumlah tokoh penting dalam diskusi bertajuk ‘Menuju Mojokerto Bebas dari Sampah’ memberi penekanan terhadap perilaku. Ketua STIT Raden Wijaya, Imron Rosyadi yang mengaitkan isu sampah dengan aspek moralitas bangsa.
Menurutnya, negara yang bersih adalah negara yang bahagia. Dan kebersihan dimulai dari kesadaran setiap individu. Sehingga ia mendukung kehadiran GUSDURian di kampus dalam mempertemukan spiritualitas dan kepedulian lingkungan.
“Mayoritas masyarakat kita Muslim dan punya ajaran ‘kebersihan sebagian dari iman’. Namun, faktanya negara-negara terbersih di dunia justru bukan negara Muslim. Ini tamparan bagi kita,” tegas Imron Rosyidi dalam sambutannya sebagai tuan rumah.
Senada dengan Imron, Direktur Organisasi Kemasyarakatan Ditjen Polpum Kemendagri, Budi Arwan mengatakan bahwa krisis lingkungan sejatinya merupakan krisis moral. Oleh sebab itu, lanjutnya, penting mimbar-mimbar keagamaan menyebarkan pesan ekologis di tengah masyarakat.
“Setiap agama mengajarkan satu pesan universal bahwa bumi merupakan warisan bersama. Perbedaan agama bukanlah penghalang, melainkan kekuatan besar yang dapat mengubah kesadaran publik secara luas. Pemerintah dan pemda tentu tidak bisa bekerja sendiri, kolaborasi lintas iman dibutuhkan sebagai reorientasi makna Bhinneka Tunggal Ika,” timpal Budi Arwan dalam sambutannya lewat aplikasi Zoom Meeting.
Sebagai penutup, Fasilitator Sekolah JAGAT setali tiga uang dengan peluncur acara kali ini, Imam Maliki menyatakan, setiap perubahan berawal dari hal kecil. Sehingga menurutnya penting bagi individu untuk memulai menjaga kebersihan dengan meminimalisir sampah.
“Kurangi sedotan plastik, bawa tas belanja sendiri. Kalau setiap orang konsisten, efeknya besar. Gerakan ini harus dimulai dari diri sendiri dan komunitas kita masing-masing,” tutup Imam Maliki.
Sebagai informasi, kegiatan diskusi ini dihadiri oleh hampir 200 orang dari berbagai kalangan di Mojokerto. Di tengah-tengah acara, terdapat pembacaan doa lintas agama dan Deklarasi Istiqlal oleh siswa-siswi SMAN 2 Mojokerto dari perwakilan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Momentum ini menandai awal gerakan bersama untuk Mojokerto yang lebih bersih, sehat, dan beradab.

Mewujudkan Gerakan Bersama
Setelah acara seminar ini selesai, acara dilanjutkan dengan diskusi kelompok terpumpun (forum group discussion) yang difasilitasi oleh Koordinator Wilayah GUSDURian Jawa Timur, Masruroh dan Koordinator Komunitas GUSDURian Mojokerto, Kholilulloh. Grup diskusi terfokus ini dihadiri oleh 22 peserta yang terdiri dari para praktisi lingkungan, komunitas masyarakat sipil, tokoh agama, mahasiswa, hingga pengambil kebijakan.
Dalam pengantarnya, Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, Jay Akhmad menyebut bahwa isu sampah ternyata dekat sekali dengan Mojokerto. Terlebih Mojokerto pernah mengalami darurat sampah dan masalah ini belum benar-benar selesai hingga sekarang.
“Kita membutuhkan itikad baik untuk bergerak bersama. Kita perlu saling berbagi, gerakan lingkungan di Mojokerto ini bisa kita petakan bersama melalui forum diskusi ini, supaya kita bisa tahu siapa mengerjakan apa terkait isu lingkungan,” papar Jay.
Sementara itu, Masruroh menjelaskan bahwa forum yang berlangsung dari siang hingga sore itu akan menghasilkan tiga hal, yaitu terpetakannya gerakan, terkonsolidasikannya gerakan, serta kolaborasi antarsektor.
“Di sini teman-teman berasal dari latar belakang dan concern yang berbeda, kita bisa rumuskan kira-kira apa yang bisa kita lakukan bersama, terutama terkait isu sampah. Kita juga bisa saling meminta tolong untuk melakukan sesuatu,” papar Masruroh.
Selama acara, para peserta diminta saling berbagi pengalaman dalam mengelola isu sampah dan lingkungan, serta merumuskan strategi yang bisa dilakukan bersama. Acara ditutup dengan penyampaian rencana tindak lanjut terkait gerakan bersama pada isu lingkungan di Mojokerto, khususnya masalah sampah.









