GORONTALO – Komunitas GUSDURian Kabupaten Gorontalo bersama Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Gorontalo menggelar diskusi publik tentang tindak kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Gorontalo di Aula Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGo), Jumat, 5 Desember 2025. Diskusi yang diikuti oleh jejaring lintas organisasi dan iman ini mengulas soal upaya menciptakan ruang aman, memberi keberpihakan, dan kejelasan hukum pada korban.
Dalam diskusi ini, menghadirkan tiga narasumber dari Salampuan, Asriyati Nadjamudin; Kepala Bidang Perlindungan Perempuan Kabupaten Gorontalo, Irmawaty Moonti; dan Ketua DPD IMM Gorontalo, Muhammad Arif Hidayatullah Bina.
Disampaikan oleh narasumber pertama, Asriyati Nadjamudin, bahwa ketimpangan gender masih menjadi kendala dalam memutus kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bahkan dalam persoalan ini, perempuan mengalami kerugian lebih banyak dibanding pihak lainnya. Memahami dan mempraktikkan kesetaraan gender adalah salah satu kunci untuk memberikan ruang aman kepada perempuan.
“Perempuan adalah pusat semesta dalam kehidupan sehari-hari. Yang berarti kontribusi perempuan menjadikan kekuatan dalam kesetaraan gender. Kesetaraan gender tidak hanya pembagian peran maupun posisi yang sama. Kesetaraan harus kemudian dilihat berdasarkan kompetensi, bukan dari jenis kelaminnya. Dalam menjadikan ruang aman, kita harus selesai dalam memahaminya,” kata Asriyati.
Ia juga menyentil bagaimana penghakiman korban kekerasan seksual. Sering kali, selain tertatih-tatih dalam melakukan pendampingan korban, yang kerap ia temui adalah adanya pihak yang tidak berperspektif korban seperti menyalahkan pakaian yang dikenakan korban. Asriyati Juga mengatakan bahwa kebijakan dan sistem belum maksimal dalam melakukan pencegahan kekerasan seksual. Bisa dilihat dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang kerap kali terjadi di lingkungan pendidikan yang harusnya menjadi ruang aman. Berdasarkan fakta yang tersebar di mana-mana, membuktikan adanya kelemahan sistem dalam melakukan upaya-upaya preventif.
“Ada yang belum selesai dalam sistem dan regulasi dalam pencegahan kekerasan seksual dalam lingkungan pendidikan. Dalam tataran aplikasi, itu belum dilaksanakan karena masih adanya kejadian di lingkungan sekolah maupun di pendidikan sendiri,” ujarnya.
Asriyati mengatakan, pencegahan tidak melulu melalui sosialisasi dalam gedung, penyediaan spanduk edukatif terkait pencegahan kekerasan seksual, termasuk juga soal penanganan dan aduan, bisa menjadi simbol perjuangan baru.
Asriyati menegaskan, bahwa tugas untuk melakukan pencegahan dan penanganan terhadap korban kekerasan seksual adalah tanggung jawab negara. Masifnya gerakan masyarakat sipil dan banyaknya organisasi yang melek mengenai kekerasan seksual, karena diperhadapkan dengan kenyataan negara tidak benar-benar hadir dalam ruang-ruang tersebut.
“Tugas kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tanggung jawab dari negara, yang di tiap-tiap daerah turunannya adalah pemerintah dan tugas itu sudah diamanahkan dalam perundang-undangan yang jelas mengatur bahwa PPPA bertanggung jawab terhadap kekerasan seksual. Ini seperti ada pelimpahan tugas kepada sipil yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Sehingga kita dorong teman-teman di Pemda untuk bisa memaksimalkan fungsinya,” tegas Asriyati.
Narasumber kedua, Kabid PPA, Irmawaty Moonti, menjelaskan bahwa angka kekerasan di Kabupaten Gorontalo didominasi oleh anak-anak. Kasus yang diterima paling banyak berasal dari daerah pedalaman dan pelakunya adalah orang-orang terdekat.
“Kekerasan seksual yang banyak terjadi juga mengingat besarnya luas daerah dan dari hasil yang kami dapatkan penyebabnya adalah pelakunya orang-orang terdekat. Kebanyakan itu di wilayah pedalaman. Justru pelakunya ada yang dari orang tua kandung, bapak tiri, om, dan tetangga terdekat. Selama ini kasus yang terjadi rata-rata orang terdekat dan korbannya adalah anak,” jelasnya.
Kata Irmawaty, hal ini paling banyak disebabkan karena kondisi tingginya rasa percaya anak kepada orang dewasa sehingga membuat anak rentan menjadi korban kekerasan seksual.
“Hal ini dipengaruhi juga oleh kedekatan anak dengan seseorang yang dikenal. Mulai dari modus dibujuk hingga dimanipulasi. Kami pernah mendampingi pelakunya adalah orang tua kandung. Karena ada kedekatan emosional menjadi penghambat untuk penegakan keadilan dalam kasus kekerasan. sehingga kami hingga saat ini tidak pernah berhubungan dengan pelaku,” katanya.
Ia juga mengatakan bahwa kewajiban Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam menyediakan kebutuhan korban.
Kami fokus pada korban dan mengedukasi korban agar tidak merasa tertekan jika pelakunya adalah orang terdekat. Kami sangat menentang dan mengedukasi korban agar menolak pemaksaan pernikahan bersama pelaku. Dalam pelayanan UPTD PPA, kami juga menyediakan apa yang menjadi kebutuhan korban dalam proses hukum,” terang dia.
Tingginya laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Gorontalo, ia menilai dari sisi lain bahwa ikut meningkatnya juga kesadaran masyarakat terkait kekerasan seksual.
“Dari tingginya data ini, saya menilai juga ikut meningkatnya kesadaran masyarakat terkait kekerasan yang terjadi. Keberanian melapor ini menjadi pendorong utama dalam mendapatkan perlindungan, sehingga kesadaran dan keberanian untuk melapor. Dalam PPA ada layanan penerima laporan dan semua kebutuhan korban ada di pelayanan UPTD,’’ jelas Irmawaty.
Dari narasumber ketiga, Arif Bina, menyebut bahwa banyaknya kekerasan simbolik yang tidak disadari oleh perempuan sendiri. Seperti penggunaan pakaian dalam perempuan dalam aksi demonstrasi sebagai simbol kelemahan. Juga kekerasan berbasis gender online yang menjadi masalah serius.
“Seperti kemarin ada yang menggunakan pakaian dalam perempuan dalam demonstrasi yang ternyata itu adalah simbol kelemahan. Saya heran hubungannya apa. Sehingga kekerasan simbolik ini harus disadari dan ini harus menjadi tugas kita bersama,” tegas Arif.
Ia juga menyentil soal kekerasan seksual yang seakan dinormalisasi, mulai dari pemikiran yang bias dan diskriminatif. Pelaku-pelaku yang berasal dari oknum yang seharusnya memberikan perlindungan.
“Sering kali masih ada pelaku yang juga tidak berperspektif sehingga korban disudutkan. Pemaksaan pernikahan pelaku dan korban. Kita perlu melihat kekerasan dari perspektif korban,” pungkasnya.
Diskusi ini dilakukan sebagai langkah kecil dalam upaya preventif. Kampanye 16 HAKTP di setiap tahun menjadi gelombang semangat untuk terus menyuarakan penolakan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kekerasan yang berbasis gender; psikis, ekonomi, struktural, hingga digital masih menjadi ancaman bagi kehidupan perempuan yang tak bisa dianggap sepele. Sehingga 16 HAKTP tidak hanya menjadi sebuah pengingat, melainkan menjadi momentum komitmen bersama sepanjang tahun.









