Barangkali kita sudah terlalu terbiasa melafalkan “bencana” sebagai nama lain dari “takdir”. Di penghujung tahun 2025 ini, ketika langit Sumatera seolah runtuh dan menumpahkan segala amarahnya, kita kembali diajak—atau lebih tepatnya dipaksa—untuk menyaksikan parade duka yang panjang dan melelahkan. Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat; tiga titik di peta yang kini basah oleh lumpur pekat dan air mata yang tak kunjung kering.
Angka 969 (waktu tulisan ini ditulis) korban jiwa bukan sekadar statistik dingin di atas kertas laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Itu adalah nyawa. Itu adalah riwayat yang terputus paksa di tengah malam yang dingin, anak-anak yang terlepas dari genggaman ibunya, dan lansia yang tak sempat menyelamatkan diri dari sergapan air bah. Infrastruktur lumpuh, jembatan putus, dan ribuan hektare sawah yang mestinya menguning kini menjadi hamparan cokelat mematikan.
Di layar televisi dan media sosial, para pejabat dengan setelan rapi dan wajah prihatin yang terlatih kembali menunjuk langit. Mereka berbicara fasih tentang “siklon tropis”, tentang “cuaca ekstrem”, tentang anomali iklim, dan hal-hal di luar kuasa manusia. Narasi ini diulang-ulang seperti mantra penenang: seolah-olah Tuhan, atau alam yang sedang murka, adalah satu-satunya terdakwa dalam persidangan akbar ini. Kita diajak untuk memaklumi bahwa air yang merendam atap rumah adalah “ujian”, bukan konsekuensi.
Namun, jika kita mau sedikit saja menundukkan kepala, menahan amarah, dan menatap data dengan jujur, kita akan menemukan fakta yang jauh lebih getir dan memalukan: banjir ini tidak turun dari langit semata. Ia merembes dari meja-meja birokrasi, mengalir lewat stempel perizinan, dan bermuara pada keserakahan yang dilegalkan secara sistematis.
Maling yang Mengantongi Izin
Kita sering terjebak dalam imajinasi romantis tentang perusak hutan sebagai penjahat bertopeng yang menyelinap di malam hari dengan gergaji mesin—para pembalak liar yang dikejar-kejar polisi hutan. Itu imajinasi yang usang dan naif. Kejahatan ekologis hari ini tidak dilakukan dengan sembunyi-sembunyi; ia dilakukan di siang bolong, dengan dokumen resmi, dan sering kali dengan pita peresmian yang digunting oleh pejabat negara.
Data berbicara lain, dan suaranya nyaring memekakkan telinga bagi siapa saja yang mau mendengar. Laporan Perubahan Lanskap Vegetasi Sumatera mencatat sebuah tragedi ekologis: pada tahun 2024 saja, pulau ini kehilangan 91.248 hektare hutan. Angka ini melonjak tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Ini bukan sekadar hilangnya pohon; ini adalah hilangnya peradaban ekologis.
Tapi inilah bagian yang paling menohok ulu hati: 97% dari deforestasi itu terjadi di dalam wilayah konsesi legal. Artinya apa? Artinya, penghancuran itu sah. Ia dilindungi undang-undang. Ia direstui negara. Ia adalah bagian dari rencana pembangunan nasional.
Di Riau dan Jambi, hutan-hutan gambut yang mestinya menjadi spons raksasa penyerap air dan penyimpan karbon purba, dikeringkan secara paksa melalui kanal-kanal drainase demi deretan sawit dan akasia yang rapi. Di punggung Bukit Barisan yang curam dan labil, pohon-pohon tua dengan akar tunjang yang mencengkeram tanah diganti dengan tambang terbuka dan tanaman monokultur yang rapuh.
Ilmu pengetahuan telah lama memperingatkan kita tentang konsekuensinya. Riset dari Universitas New South Wales (UNSW) yang menganalisis data banjir puluhan tahun menegaskan: hilangnya tutupan hutan di daerah tangkapan air meningkatkan risiko banjir hingga 800% atau delapan kali lipat. Hutan yang hilang mengubah karakteristik tanah. Tanah yang terbuka memadat, kehilangan porositasnya, dan berubah menjadi landasan pacu bagi air hujan.
Maka, ketika hujan deras turun—dipicu oleh siklon atau tidak—tanah Sumatera tak lagi punya daya. Ia seperti tubuh yang kehilangan sistem imun. Air tak lagi diserap untuk mengisi akuifer, tapi meluncur liar di permukaan, membawa serta kayu gelondongan, lumpur, dan bebatuan—sebuah flash flood yang mengirim pesan kematian ke pemukiman di hilir. Di Batang Toru, “tujuh korporasi” mengepung hulu, mengubah ekosistem menjadi zona ekstraksi, dan kita di hilir hanya bisa menunggu giliran siapa yang akan hanyut. Ini bukan act of God. Ini adalah act of bad governance.
Gus Dur dan Fikih yang Membumi
Di titik nadir inilah, ingatan kita melayang pada sosok KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur. Kiai yang sering dianggap “nyeleneh” itu, sesungguhnya memiliki mata batin yang jauh melampaui zamannya. Jauh sebelum isu perubahan iklim menjadi bahan perbincangan elite di konferensi internasional atau menjadi bahan pidato para pemimpin dunia, Gus Dur sudah berbicara tentang bahaya “Pembangunanisme” sebagai berhala baru yang meminta tumbal.
Gus Dur melihat krisis lingkungan bukan sebagai masalah teknis semata, melainkan krisis spiritual. Bagi Gus Dur, alam semesta bukanlah sekadar “sumber daya” atau komoditas yang siap dikeruk demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi. Dalam kacamata sufistiknya yang kental dengan nuansa Wahdatul Wujud (kesatuan eksistensi), alam adalah tajalli—manifestasi atau penampakan dari sifat-sifat Tuhan yang Maha Indah dan Maha Pemelihara. Merusak hutan, mencemari sungai, atau membiarkan gunung digerus, pada hakikatnya adalah tindakan vandalisme terhadap “wajah” Tuhan di muka bumi.
Namun, Gus Dur tidak berhenti di langit tasawuf yang sunyi. Ia membumikan gagasannya dalam fikih (hukum Islam) yang progresif dan berpihak. Ia membongkar kemapanan tafsir lama. Ingat konsep Ihya al-Mawat (menghidupkan tanah mati)? Selama berabad-abad, dalil ini sering dipelintir oleh penguasa dan pemodal untuk membenarkan penguasaan tanah hutan oleh siapa saja yang mampu menggarapnya—termasuk korporasi besar yang mengubah hutan menjadi kebun sawit.
Gus Dur membalik logikanya dengan pisau analisis kemaslahatan: tanah hanya boleh dikuasai jika ia membawa maslahah (kebaikan umum) bagi orang banyak, terutama kaum mustadh’afin (mereka yang dilemahkan). Jika penguasaan tanah itu—meskipun legal secara sertifikat—justru mendatangkan banjir, longsor, dan pemiskinan bagi rakyat kecil, maka hak itu batal demi moral, batal demi agama. Pencemaran lingkungan, baginya, harus dipandang sebagai jinayat (tindak pidana kriminal), bukan sekadar pelanggaran administrasi yang bisa ditebus dengan denda recehan.
Keberanian Melawan Arus
Keberanian Gus Dur bukan omong kosong di mimbar seminar. Saat menjabat presiden di masa transisi yang genting (1999-2001), ia melakukan sesuatu yang dianggap “gila” oleh para teknokrat ekonomi: ia menutup sementara PT Inti Indorayon Utama (sekarang Toba Pulp Lestari) di Porsea, Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
Dalam buku Salus Populi dari Tano Batak, terekam betapa rumitnya konflik tersebut. Indorayon bukan sekadar pabrik; ia adalah simbol dari arogansi pembangunan Orde Baru yang memaksakan industri di hulu sungai dan di tengah pemukiman padat. Ketika menteri-menterinya berdebat soal kerugian investasi dan lari kencangnya modal asing, Gus Dur memilih mendengarkan jeritan rakyat Porsea yang tanah dan airnya tercemar.
Alasannya sederhana namun fundamental, sebuah adagium Romawi yang ia pegang teguh: Salus Populi Suprema Lex Esto—keselamatan (kesejahteraan) rakyat adalah hukum tertinggi. Baginya, tak ada gunanya devisa negara menumpuk jika rakyatnya harus membayar dengan paru-paru yang sesak, kulit yang gatal, dan tanah leluhur yang rusak. Ia menolak didikte oleh logika “win-win solution” yang semu, di mana korporasi tetap menang dan rakyat tetap kehilangan ruang hidupnya. Ia membuktikan bahwa negara bisa—dan harus—hadir untuk melindungi yang lemah dari cengkeraman oligarki ekstraktif.
Sebuah Pertobatan
Hari ini, di tengah lumpur yang belum kering di Sumatera Barat dan Utara, kita merindukan keberanian dan kejernihan berpikir semacam itu. Kebijakan tata ruang kita hari ini, seperti RTRW Sumatera Barat 2025-2045, alih-alih melindungi, justru terkesan memutihkan dosa-dosa ekologis masa lalu. Kita memberikan pengampunan (amnesti) pada korporasi sawit yang merambah hutan lindung lewat skema undang-undang yang ramah investasi, tapi di saat yang sama, kita menjatuhkan hukuman mati pada ekosistem yang menyangga hidup kita.
Sudah waktunya kita berhenti menyalahkan hujan. Hujan adalah rahmat; ketidakmampuan dan ketidakmauan kita merawat bumilah yang mengubah rahmat itu menjadi laknat. Kita butuh lebih dari sekadar tanggul beton, normalisasi sungai, atau bantuan sembako pascabencana. Kita butuh “pertobatan ekologis” yang radikal.
Pertobatan ini menuntut pemerintah untuk berani melakukan moratorium total terhadap izin baru di kawasan hutan alam dan gambut. Pertobatan ini menuntut penegakan hukum yang tidak pandang bulu terhadap “tujuh korporasi” atau siapa pun yang terbukti merusak daerah tangkapan air.
Kita perlu kembali pada etika yang diajarkan Gus Dur: bahwa membela alam adalah bagian integral dari iman. Bahwa membiarkan hutan digunduli atas nama investasi, sementara rakyat hanyut terbawa banjir, adalah bentuk kekufuran yang nyata terhadap nikmat Tuhan.
Seperti kata Leonardo Boff, teolog pembebasan yang pemikirannya sering diamini Gus Dur: “Jeritan bumi adalah jeritan kaum miskin”. Di Sumatera, bumi telah menjerit keras sekali lewat gemuruh banjir bandang. Apakah kita masih akan berpura-pura tuli, berlindung di balik izin legal, dan terus-menerus menyalahkan takdir Ilahi? Ataukah kita akan mulai sadar bahwa doa tolak bala tidak akan pernah cukup jika tangan kita sendiri yang terus-menerus melubangi perahu yang kita tumpangi ini?









