Beberapa hari belakangan banyak pemberitaan dan informasi di berbagai media sosial mengenai aksi agresi yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina. Peristiwa kemanusiaan ini memang tak tahu sampai kapan akan berakhir. Entah sudah berapa korban yang tertimpa reruntuhan bangunan, gedung-gedung yang silih berganti dibombardir tanpa mengenal arah, dan peluru hingga misil yang setiap detik terus mengintai menjadi ancaman yang sangat mengerikan.
Beragam petisi dukungan hingga penggalangan dana untuk korban kemanusiaan mengalir deras. Banyak pihak datang silih berganti memberikan dukungan dengan menggunakan tagar #FreePalestina. Beragam aksi dukungan juga dilakukan di berbagai belahan dunia dengan aksi-aksi yang bertekad bulat mendukung upaya perdamaian serta rekonsiliasi antara Israel dan Palestina.
Tulisan ini akan memberikan ibrah bagi para pembaca untuk sejenak mengingat upaya tindakan yang dilakukan oleh mendiang Presiden RI ke-4 Almarhum Almaghfurllah KH. Abdurrahman Wahid yang notabene pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi di Timur Tengah dan semasa hidupnya menanggapi berbagai tindakan dan bentuk dukungan agar Israel dan Palestina mencapai titik temu untuk berdamai.
Penulis meminjam istilah di dalam buku Prisma Pemikiran Gus Dur bahwa Timur tengah dikenal sebagai wilayah dengan panorama pergolakan yang tak kunjung berhenti. Kawasan Timur Tengah sebagai wadah konflik antara superpowers juga pernah dialami Iran-Irak yang bersumber pada kedengkian historis antara watak senofobis dari ideologi Pan-Arabisme dari partai Ba’ath di Irak dengan kosmoplitanisme kaum ningrat yang memerintah Iran. Pertempuran antara Irak-Iran merupakan salah satu contoh dari rentetan peristiwa bergejolak selama bertahun-tahun dan pada akhirnya dapat disudahi dengan perdamaian.
Sikap Gus Dur terhadap Palestina-Israel
Gus Dur sebagai Guru Bangsa, pemimpin negara, dan mantan ketua umum ormas Islam terbesar di dunia, yakni Nahdlatul Ulama mampu memberikan sumbangsih yang begitu besar serta berdampak terhadap upaya perdamaian Israel-Palestina. Karena bagi Gus Dur konflik yang terjadi di Palestina-Israel bukanlah konflik yang mengatasnamakan agama, suku, ras atau golongan, melainkan konflik politik atau perang memperebutkan wilayah kekuasaaan. Karena sejatinya perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi semata.
Upaya yang dilakukan Gus Dur di antaranya melakukan kunjungan atas inisiatif pribadi ke Israel. Dirinya duduk bersama para pegiat Shimon Peres Institute, untuk mengambil langkah dan perundingan sekaligus menentukan konsesi politik pada pihak Palestina. Gus Dur berupaya untuk menggandeng tangan keduanya agar tidak bertikai.
Setiap tindakan Gus Dur memang susah ditebak oleh banyak pihak. Gus Dur beserta temannya juga pernah diundang oleh Perdana Menteri (PM) Israel, Yitzhak Rabin, untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania di Arava, Yordania pada 26 Oktober 1994.
Dikutip dalam buku berjudul Damai Bersama Gus Dur karya Djohan Effendi, ketika berkunjung ke Israel Gus Dur menyempatkan diri bertemu dengan sejumlah warga negara Israel, baik dari kalangan orang-orang Yahudi maupun dari kalangan orang-orang Arab Muslim dan Kristen. Gus Dur merasakan ada hasrat damai yang kuat dari warga Israel. Bahkan mereka mengatakan kepada Gus Dur: “Hanya mereka yang berada dalam keadaan perang yang bisa merasakan apa makna kata damai.” Setelah mendengar curahan hati rakyat Israel inilah Gus Dur tersentuh dan tergerak nuraninya untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina secara jujur dan adil dengan mengedepankan win-win solution.
Dikutip dalam artikel berjudul “RI Dilamar Jadi Mediator Konflik Palestina-Israel”, Derek Manangka menulis bahwa Indonesia dan Israel telah membuka komunikasi informal jauh sebelum Gus Dur berkunjung ke Israel, yakni melalui kunjungan tidak resmi Perdana Menteri (PM) Yitzhak Rabin ke kediaman pribadi Presiden RI kedua, Soeharto, di Jalan Cendana, Jakarta, pada Oktober 1992.
Kunjungan ini bertujuan meminta jasa baik Indonesia sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok (GNB) untuk menjembatani konflik Palestina-Israel. Menurut Derek, pertemuan tersebut menjadi sangat sensitif dan kontroversial bagi rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, apalagi RI juga tidak pernah mengakui eksistensi negara Israel dan tidak pula memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sehingga tidak mungkin terjadi pertemuan tete a tete (pertemuan dua kepala pemerintahan) kedua negara.
onflik Palestina-Israel meninggalkan bekas yang kiranya sulit untuk terhapuskan pada kehidupan setiap manusia yang terlibat dalam konflik. Dan Gus Dur adalah salah satu dari sekian banyak intelektual dan tokoh dunia yang memiliki kepedulian mendalam terhadap konflik tersebut. Gus Dur, presiden keempat Indonesia, yang terus melakukan hubungan diplomasi untuk membantu meredakan konflik yang terjadi dan tidak serta-merta mendukung semua cara perjuangan Palestina menghentikan aksi-aksi Israel.
Dan terakhir kita sebagai generasi muda mampu meneladani serta berupaya terus meneruskan perjuangan Gus Dur dalam memberikan pembelaan terhadap kaum-kaum yang tertindas dan memberikan langkah positif dengan turut mendukung aksi-aksi damai konflik antara Palestina-Israel.
Sumber referensi
- Halim Mahfudz, “Mencari Damai yang Dimusuhi; Catatan Perjalanan ke Israel, 25 Oktober-1 Nopember 1994,” Aula, Desember 1994, halaman 17.
- Abdurrahman Wahid “Kita dan Perdamaian” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
- Abdurrahman Wahid “Perdamaian Belum Terwujud di Timur Tengah” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
- Abdurrahman Wahid. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta. LKiS. 2010.