Kelas Puisi ala Dead Poet Society, Potret Pendidikan Alternatif yang Penuh Nilai

Film berdurasi lebih dari dua jam ini menceritakan kehidupan sekolah khusus anak laki-laki di Akademi Welton. Film dimulai dengan adegan sambutan penerimaan murid baru oleh kepala akademi dengan pidato berapi-apinya. Ia membeberkan sejumlah kehebatan sekolah yang telah lama menjadi primadona dan pencetak generasi hebat pada masanya. Sekolah tersebut terkenal dengan tradisi, kedisiplinan, serta prestasi siswanya: potret sekolah elite idaman orang tua.

Tokoh yang ada dalam film adalah sekumpulan tujuh anak bernama Neil, Todd, Knox, Charlie, Richard, Steven, dan Gerard serta seorang guru bahasa Inggris yang nyentrik bernama Mr. John Keating.

Seiring berjalannya waktu konflik mulai diperlihatkan dengan seorang ayah yang menyuruh anak lelakinya agar segera lulus. Ia tidak diperkenankan mendalami apa yang menjadi kesenangannya yakni berakting. Neil, nama murid cemerlang tersebut yang dipersiapkan oleh orang tuanya untuk menjadi seorang dokter.

Neil dan beberapa kawan yang nantinya bergabung dalam grup Dead Poet Society mendapatkan dorongan kuat untuk mengikuti apa yang ingin mereka impikan berkat teknik pengajaran tidak biasa yang dilakukan oleh Mr. Keating —yang juga merupakan alumnus sekolah tersebut. Keheranan dan kekaguman Neil, membawanya membentuk kembali grup Dead Poet Society yang dianggap nakal dan bebas menurut aturan sekolah yang kaku.

Mr. K sapaannya melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan oleh guru lain yang hanya mengajar di kelas, mengejar prestasi, dan mematuhi aturan. Ia memperlihatkan kepada murid-muridnya hidup berpuisi yang tidak dapat diukur hanya dari teori, dan hal ini sempat menjadi perhatian guru lainnya yang merasa sinis dengan pengajaran yang ia berikan. Namun justru memunculkan gejolak “freethinkers” juga istilah latin carpe diem yang dalam bahasa Inggris adalah “seize the day” —memetik hari atau dapat diartikan “raihlah hal yang menjadi keinginan hati, raihlah kesempatan.”

Hal ini membuat Todd seorang murid minderan menjadi lebih percaya diri. Ia bahkan menunjukkan bakat seorang penyair yang dipenuhi kosakata mengagumkan dan memukau murid seisi kelas. Murid lainnya, Knox gigih mengejar pujaan hatinya walaupun ia tahu sang gadis telah dimiliki orang lain. Serta Neil berusaha untuk berani mengembangkan bakatnya untuk berakting menjadi pemeran utama dalam sebuah drama klasikal meski ayahnya telah memberi ultimatum.

Konflik menjadi semakin tegang saat Neil lepas pertunjukan ketahuan oleh ayahnya yang tidak merestui ia menjadi seorang aktor —meskipun ia berhasil dengan perannya. Ia dipaksa pulang dan mendapatkan amarah sang ayah di depan murid, guru, serta tamu yang menonton pertunjukan tersebut.

Neil merasa kecewa dengan sikap orang tuanya yang terus menekannya agar fokus menjadi dokter dan meninggalkan hal yang sia-sia seperti akting. Padahal hal itu sama sekali tidak membuatnya melupakan kewajiban belajar, ia hanya ingin bersenang-senang dan menjalani hal yang membuatnya merasa hidup. Ia memilih mengakhiri hidupnya dengan senapan di meja kerja ayahnya.

Dengan pesan “He’s planning the rest of my life for me, and I- He’s never asked me what I want!” yang berarti “Dia merencanakan hidupku tapi tak pernah menanyakan apa yang aku inginkan”. Pesan ini menjadi sebuah alasan ayah Neil untuk mencari penyebab Neil bunuh diri.

Semua tuduhan merujuk kepada Mr. Keating yang dianggap meracuni Neil agar hidup semaunya dan membangkang pada aturan. Dengan ancaman akan dikeluarkan, seluruh anggota Dead Poet Society menandatangani surat pemecatan Mr. Keating sebagai otak yang membuat mereka —dalam pandangan sosial menjadi anak yang membangkang orang tua dan nakal.

Namun pada adegan perpisahan, semua murid di kelas melakukan hal mengharukan yang mengiringi kepergian Mr. Keating. Ia menang dalam kekalahan. Semua murid memberikan respect dengan melakukan apa yang pernah diajarkan oleh sang guru. Guru lain yang pernah sinis dengan gaya mengajar Mr. Keating juga memberikan respect dengan mulai mengikuti gaya belajar yang lebih variatif di luar ruangan kelas. Dapat dikatakan dalam film ini, kebaikan tidak akan sia-sia dilakukan. Kebaikan tidak akan pernah mati sebab benihnya selalu merasuk pada jiwa-jiwa lain yang akan meneruskan nilai-nilai luhur sang empunya.

Dengan demikian, terpetik makna keberadaan guru bukan hanya sebagai pemberi wawasan ilmu pengetahuan semata. Ia adalah role model, agen perubahan yang dapat menggerakkan naluri paling dalam dari keinginan murid sebagai seorang individu yang kompleks. Namun konflik sering kali muncul sebab orang tua hanya fokus pada apa yang menurut mereka baik tanpa mempertimbangkan potensi dan keinginan anak.

Di sisi lain, sekolah sebagai penyelenggara pendidikan hanya fokus pada aspek akademis dan tidak memberikan kebijakan serta pembelajaran yang memihak murid, sehingga murid dengan kemampuan di luar ekspektasi sekolah dianggap nakal dan tidak layak mendapatkan porsi proses belajar yang lebih manusiawi. Secara keseluruhan film ini amat layak menjadi tontonan seluruh guru dan murid-murid di berbagai sekolah.

Penggerak Komunitas GUSDURian Semarang, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *