PASURUAN – Komunitas Gitu Saja Kok Repot (KGSKR) GUSDURian Pasuruan mengajak para jejaringnya untuk memaknai situasi demokrasi di Indonesia dalam Forum 17-an, pada Sabtu (7/9/24) di Warung Kopi Suqiwo, Sengonagung, Purwosari, Pasuruan. Acara ini diadakan dalam memperingati hari lahir (harlah) Gus Dur yang rutin diperingati Jaringan GUSDURian pada bulan Agustus sampai September.
Kegiatan ini dipandu langsung oleh Khoridatul Bahiyyah, salah satu penggerak KGSKR GUSDURian Pasuruan. Diskusi ini menghadirkan tiga pemantik dengan latar belakang yang berbeda, yaitu Akademisi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Yudharta Pasuruan Agus Priyanto, Penggerak KGSKR Akhmad Hilmi Masruri, dan Aktivis Santri Khafid Ainul Yaqin.
Khoridatul Bahiyyah memberikan pengantar latar belakang adanya diskusi tersebut. Menurutnya, dilihat dari situasi pelik sejak Pemilu 2024 hingga pilkada serentak tahun ini, Jaringan GUSDURian selalu berupaya untuk menguatkan demokrasi di negeri ini. Salah satunya menerbitkan buku berjudul Demokrasi Seolah-Olah yang berisi kumpulan gagasan Gus Dur tentang demokrasi sebelum dan sesudah reformasi.
“Komunitas GUSDURian di berbagai daerah menangkap bahwa buku ini menjadi penting untuk dibedah sebagai upaya melihat situasi demokrasi. Dalam praktiknya apakah sudah substansial atau hanya seolah-olah demokrasi saja?” tuturnya.
Agus Priyanto mengapresiasi adanya forum ini. Sebelumnya ia merasa cukup pesimis melihat demokrasi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Dirinya juga merasa bingung ketika mau menulis sesuatu tentang demokrasi karena situasinya yang begitu kacau.
“Tetapi ketika saya diundang Komunitas GUSDURian Pasuruan malam ini saya tersadarkan bahwa kita perlu memberikan ruang diskusi seperti ini untuk melakukan penyadaran-penyadaran kelas dan mendialogkan ulang gagasan demokrasi dari sudut pandang pemikiran Gus Dur,” ungkapnya.
Ketika melihat demokrasi, menurut Agus, ada tiga nilai yang terdapat di dalamnya. Pertama, integritas. Kedua, keadilan. Ketiga, freedom atau pembebasan. Tiga nilai ini yang menjadi parameter demokrasi berjalan sesuai relnya atau tidak.
Di sisi lain, Ahmad Hilmi Masruri menyampaikan pandangan dan gagasan Gus Dur tentang demokrasi dalam buku tersebut. Menurutnya, sebagian besar kemaslahatan demokrasi terletak kepada rakyat, bukan partai politik atau yang lain. Ia juga menambahkan bahwa perbedaan antara pemimpin dan penguasa terletak pada etika (akhlak) dalam menjalankan kekuasaannya.
Dalam perspektif santri, Khafid menyebutkan bahwa Islam sangat mengajarkan nilai-nilai demokrasi. Hal ini bisa dilihat dari perjalanan kenabian Rasulullah. Di zaman Nabi, terdapat piagam Madinah yang menjadikan masyarakat sangat demokratis, dan memiliki kebebasan dalam berpendapat dalam masyarakat yang sangat majemuk.
Tidak hanya itu, ia pun menjelaskan bahwa konsep maqashid syariah (lima hak dasar) dalam Islam sangat demokratis. Kelima hak dasar itu adalah hifzh al-din (hak beragama), hifz an-nfs (hak hidup), hifz al-aql (hak berpikir), hifz an-nasl (hak kehormatan dan reproduksi), hifz al-mal (hak menjaga harta). Dasar-dasar ini bersifat universal, artinya hak-hak tersebut berlaku untuk siapa saja dan di mana saja tanpa membedakan kelamin, ras, suku, dan status sosial. Negara perlu hadir dalam pemenuhan hak-hak tersebut untuk membentuk kemaslahatan umat sebagaimana makna substansial demokrasi menurut Gus Dur.
Diskusi ini membuka ruang untuk peserta melakukan sesi pertanyaan dan ditanggapi oleh pemantik. Acara diakhiri oleh moderator dengan memberikan gambaran besar yang bisa didapatkan dalam forum tersebut. Ia menutup dengan mengutip kalimat Alissa Wahid, ”Gus Dur sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan” sebagai upaya untuk komunitas GUSDURian konsisten melakukan forum-forum diseminasi nilai, pemikiran, dan keteladanan Gus Dur.