PEKALONGAN – Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan (UIN Gus Dur) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Pre-Event Bali Interfaith Movement (BIM). FGD yang mengangkat tema “Harmoni untuk Kemanusiaan dan Lingkungan” ini diselenggarakan di Gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, kampus 2 UIN Gus Dur pada Sabtu, 7 Desember 2024.
Kegiatan FGD ini terselenggara atas kerja sama UIN Gus Dur Pekalongan dengan Komunitas GUSDURian. FGD ini diharapkan bisa menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang akan dibawa di BIM pada 13, 14, dan 15 Desember 2024.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan, di antaranya K.H. Marzuki Wahid dari Institut Studi Islam Fahmina, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kelembagaan UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan Prof. Dr. Maghfur, M.A, dan Ketua Badan Kerja Sama Gereja Kristen (BKSGK) Pekalongan Pdt. Dwi Argo Mursito.
Dalam sambutannya, Prof. Zaenal menyampaikan bahwa kerusakan sudah terjadi sejak 1998. Merusak alam sebenarnya tidak boleh dan pada tahun tersebut terjadi penebangan hutan secara masif. “Saat ini semakin hari jumlah hutan semakin berkurang,” ujarnya.
Dirinya menyampaikan, kerusakan lingkungan ini bisa terjadi karena permasalahan ekonomi mikro maupun makro. Contohnya, saat ini wilayah pantai Pekalongan sering terjadi banjir rob, ini merupakan dampak dari kerusakan lingkungan.
“Banjir terjadi karena ulah manusia, karena melupakan harmoni terhadap lingkungan,” sambungnya.
Prof. Zaenal juga mengungkapkan, orang yang menanam pohon bisa memberikan manfaat bagi makhluk hidup dan akan menerima pahala selama pohon tersebut masih bermanfaat. Konsep kepedulian lingkungan ini rencananya akan diterapkan di UIN Gus Dur.
“Ke depan saya ingin setiap mahasiswa baru menanam pohon dan ada data nama, prodi, fakultas. Pohon ini jangan hanya ditanam saja lalu ditinggalkan. Namun mahasiswa harus merawatnya sampai mereka lulus. Ini akan menjadi cara merawat bumi kita di lingkungan UIN Gus Dur Pekalongan. Nanti akan banyak pohon-pohon di kampus kita ini,” jelas Prof. Zaenal.
Narasumber pertama Prof. Maghfur menyampaikan, saat ini kita merupakan generasi terakhir untuk mencegah kerusakan planet. Jadi kalau kita tidak berbuat sesuatu, dalam 10 atau 15 tahun ke depan Pekalongan akan tenggelam.
“Lalu kita sebagai agamawan atau paling tidak orang yang beragama bisa berkontribusi apa untuk keberlangsungan bumi kita ini?” tanya Prof Maghfur.
Prof Maghfur mengatakan bahwa Planet Bumi sebagai rumah bersama hendaknya dijaga secara bersama-sama. “Kalau ada manusia yang merusak, mengotori, dan mengeksploitasi bumi, itu sama saja dengan merusak rumah kita ini,” tambahnya.
Pdt. Argo menyampaikan, kekristenan menganggap bahwa alam dan manusia sebagai bagian dari ciptaan Tuhan. Pelestarian alam dianggap sebagai tanggung jawab moral manusia untuk menjaga keindahan dan keseimbangan ekosistem.
“Tanggung jawab manusia adalah bekerja untuk Tuhan dalam memelihara dan mengelola lingkungan hidup, bukan mendominasi apalagi mengeksploitasinya,” ujarnya.
Selama ini kekristenan dianggap menjadi salah satu penyebab krisis lingkungan karena penafsiran kitab suci yang melegitimasi manusia yang mengeksploitasi bumi. Maka, perlu adanya pertobatan ekologi, yaitu berhenti merusak alam dan mulai merawat alam.
“Pertobatan ekologis juga dapat berarti mengakui bahwa manusia telah berdosa terhadap alam semesta dan Tuhan,” tambahnya.
Pdt. Argo juga menyinggung peran Gereja. Menurutnya, Gereja dapat berperan dalam menjaga lingkungan hidup dengan berbagai cara, di antaranya menanamkan kesadaran ekologis, mengajak jemaat membudayakan gaya hidup ramah lingkungan, dan seterusnya.
“Gereja dan umat Kristen diundang untuk mengambil peran aktif dalam advokasi lingkungan, mempromosikan kebijakan yang adil, dan menerapkan gaya hidup yang berkelanjutan sebagai bagian dari panggilan iman mereka,” ucapnya.
K.H Marzuki Wahid sebagai narasumber pamungkas menyampaikan bahwa membangun harmoni kemanusiaan dan lingkungan ini harus dilakukan oleh banyak pihak.
“Penting untuk kemudian ada kolaborasi antartokoh agama, lintas agama, masyarakat, pemuda, LSM, dan aktivis lingkungan. Dan satu lagi menurut saya yaitu industri,” tuturnya.
Penyebab kerusakan lingkungan menurut K.H Marzuki adalah karena unsur keserakahan manusia, khususnya yang dilakukan oleh pihak industri.
“Oleh sebab itu, industri harus pula diajak untuk ikut dalam membangun keharmonisan lingkungan. Kalau industri tidak kita ajak, ya, kita hanya menjadi pemadam kebakaran. Artinya, alamnya rusak lalu kita yang mengkampanyekan,” ucapnya.
Kegiatan ini menghadirkan peserta dari internal kampus maupun eksternal kampus. Di antaranya, sivitas akademika UIN Gus Dur, Komunitas GUSDURian, tokoh-tokoh lintas agama, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah, komunitas peduli lingkungan, budayawan, SEMA dan DEMA UIN Gus Dur, dan tamu undangan lainnya.
Pada kegiatan ini diskusi dilakukan dalam kelompok lintas sektor untuk membahas tantangan, peluang, dan model kolaborasi yang memungkinkan dengan pertanyaan kunci, “Bagaimana strategi kolaborasi antara lintas pemangku kepentingan untuk menangani isu dehumanisasi dan kerusakan lingkungan?”.
Kegiatan ini diawali dengan menyanyikan Lagu Indonesia Raya tiga stanza, dan diakhiri dengan sesi menyalakan 17 Lilin SDGs, serta deklarasi dan penandatanganan komitmen menjaga kemanusiaan dan kerusakan lingkungan.