Rami Said Malek. Nama yang berakar kata dari bahasa Arab itu membuat banyak orang penasaran mengenai asal-usulnya. Rasa penasaran yang wajar saja. Kita tentu ingin tahu sejarah dan pengalaman hidup seseorang, hingga mampu meraih prestasi yang sangat tidak sembarangan: Oscar.
Nama Rami Malek riuh diperbincangkan karena menyabet dua penghargaan bergengsi di jagat perfilman Hollywood. Ia meraih Oscar di Academy Awards 2019 yang digelar di Dolby Theatre Hollywood California 24 Februari 2019 (waktu setempat), tidak lama berselang setelah penghargaan Golden Globe bulan lalu untuk predikat sama, aktor terbaik lewat film Bohemian Rhapsody.
Para penikmat film di Indonesia juga menjadi bagian dari euforia itu, terutama mereka yang (sampai) berkali-kali menonton film biopik tentang band legendaris Queen itu. Sudah sejak Golden Globe pemeran Freddie Mercury itu diapresiasi aktingnya, juga dikaitkan dengan perannya dalam serial televisi Mr Robot, yang juga memenangi penghargaan Emmy.
Malek adalah lelaki kelahiran 80-an kedua yang meraih penghargaan aktor terbaik di Academy Awards. Sebelumnya ada Eddie Redmayne lewat film The Theory of Everything (2014).
Darah Mesir
Sejumlah media menceritakan latar belakang keluarganya yang berasal dari Mesir. Ibunya Nelly Abdel-Malek dan ayahnya Said Malek hijrah dari Samalut Mesir ke Los Angeles pada tahun 1978. Tiga tahun kemudian, Malek lahir, tepatnya pada 12 Mei 1981 (berarti berzodiak Taurus).
Situs ethnicelebs bahkan menyebutkan perhitungan angka etnisitas Malek dengan detail, yaitu 87,5 persen Mesir dan 12,5 persen Yunani. Rumusan persentase etnisitas itu muncul, mungkin karena pengakuan Malek sendiri, yang mengatakan bahwa seperdelapan dirinya adalah keturunan Yunani. Jadi hitungan itu menjadi pas, karena 100 dibagi delapan adalah 12,5. Lucu juga.
Malek bisa berbicara bahasa Arab meski kemampuannya (ia akui) seperti bahasa Arabnya anak usia sepuluhan tahun. Mungkin maksudnya tidak terlalu fasih, atau belum hapal banyak kosa kata. Ia tumbuh dengan menonton film-film Mesir bersama orangtuanya, dan ini sangat masuk akal karena umur migrasi ayah dan ibunya tergolong belum lama.
Dalam beberapa wawancara, Malek mengatakan bahwa tidak ada generasi yang hilang secara budaya, dengan kepindahan keluarganya ke AS. Ia tetap orang Mesir. Ia tumbuh dengan mendengarkan musik-musik Mesir. Ia sangat menyukai penyanyi yang melegenda Umm Kulstum (1898–1975), juga Omar Sharif, dan ia menjadi bagian dari itu semua.
Malek menyadari ia tumbuh di dalam lingkungan yang sama sekali berbeda dengan orangtuanya, tapi ia merasa terikat dan terpikat dengan budaya Mesir. Itu semua terjadi karena Mesir ibaratnya adalah darah dagingnya.
Mengenai kecintaan Malek pada Umm Kultsum (media asing biasa menulis Umm Kulthum), saya jadi ingat beberapa lagu Umm Kultsum yang dulu kerap saya dengar sewaktu kecil. Dulu (sampai sekarang) ayah saya sering memutar kaset dan piringan hitam lagu-lagu Umm Kultsum. Ayah lantas secara spontan mengambil tutup kaleng biskuit (Khong Gu**) lalu menepuk-nepuknya sebagai pengganti rebana. Maklum, dulu ayah saya ikut jadi pemain gambus di kampung.
Dua lagu yang saya ingat adalah Amal Hayati ( امل حياتى ) dan al-Athlal (الأطلال ). Lirik lagu Al-Athlal sejatinya adalah puisi karya Ibrahim Naji yang kemudian dikomposisi menjadi lagu yang sangat indah oleh Riad al-Sunbati (1906–1981). Satu sumber menyebutkan, penyanyi Najat Ali pernah melantunkan puisi itu, dengan komposisi lagu yang berbeda. Namun sumber lain menyebut bahwa lagu yang dinyanyikan Najat Ali pada tahun 1954 itu berjudul Al-Wada’, bukan Al-Athlal, dengan sedikit menukil satu bait dari puisi Al-Athlal. Sepertinya informasi yang sahih adalah yang terakhir, karena setelah saya telusuri (karena penasaran), Al-Wada’ sudah diunggah di YouTube.
Kristen Koptik di Mesir
Kembali pada Malek, keluarganya adalah penganut Kristen Koptik, satu “agama” yang tidak asing keberadaannya di Mesir. Penganutnya hidup berbaur dengan muslimin dan muslimat.
Penulis alid.id Muhammad Nora Burhanuddin, pernah menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi satu kampung di Menia, Mesir, 11 kilometer dari pusat kota.
Nora menyambangi seorang mualim atau guru/pendidik bernama Ayyad Syakir Hena beragama Kristen Koptik, yang sangat menakjubkan telah mencetak banyak generasi muslim menghapal Alquran.
Warga di kampung Ayyad memang mayoritas Kristen Koptik. Ibu-ibu berjilbab dan berdaster gelap serta berkalung salib berseliweran, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak semuanya berjilbab, tentunya, dan aman. Sebagian kecil justru muslim, dan hidup aman juga. Mereka hidup bertetangga, tak hanya rukun dan toleran, namun juga bersama-sama menghadapi suka dan duka kehidupan.
Kalau mendengar kisah hidup orang di kampung di Menia itu, tidak akan ada yang luntur keyakinannya. Orang Kristen paham Alquran tanpa harus meyakininya, tanpa harus mengamini Nabi Muhammad, meski ada juga yang kemudian memeluk Islam. Agama mereka berbeda, tapi budaya mereka sama, lahir dan besar di Menia, di Mesir.
Bahkan seorang Rami Malek, yang lahir dan besar di lingkungan selebritas Hollywood (sejak kecil ia sudah belajar akting), merasa menjadi bagian dari budaya Mesir, merasa orang Mesir. Budaya orangtuanya laksana cermin baginya.
Saya pun membayangkan Malek remaja makan kushari dan halawa masakan bunda, lalu setelah itu jajan burger di sekolah. Sungguh asyik menyelami pengalaman makan berbeda budaya seperti itu, ya.
Dan, ketika Malek menyebut Umm Kultsum, saya pun jadi ingin mendengarkan lagi al-Athlal. Betapa menyihir liriknya. Betapa menggetarkan suara Umm Kultsum.
هل رأى الحب سكارى مثلنا كم بنينا من خيالٍ حولنا
ومشينا في طريقٍ مقمرٍ تجد الفرحة فيه قبلنا
وضحكنا ضحك طفلين معاً وعدونا فسبقنا ظلنا
“Pernahkah cinta melihat pemabuk seperti kita?
Berapa banyak imajinasi yang kita bangun di sekitar kita
Dan kita berjalan di bawah cahaya bulan
untuk merayakan kegembiraan di depan kita
Kita tertawa dan tertawa seperti dua anak kecil
dan berlari meninggalkan (bayangan kita)..”
Sumber: alif.id