Jangan sepelekan kelakar. Ini pelajaran berharga bagi warga bangsa, merujuk pada kehebohan Miftah Habiburrahman yang terpaksa harus mundur dari posisi sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Umat Beragama dan Sarana Prasarana Keagamaan bulan Desember 2024 ini.
Awalnya adalah video viral yang menunjukkan Miftah melontarkan kata bernada merendahkan Sunhaji, seorang pedagang es teh. Ternyata itu bukan kali pertama. Netizen menemukan jejak Miftah membercandai komedian Yati Pesek dengan menyinggung istilah pekerja seks komersial dan susu kedaluwarsa.
Publik pun murka. Alasan bahwa itu semua adalah kelakar semata tidak dapat diterima oleh warga masyarakat. Sungguh sebuah lelucon yang tidak lucu.
Gara-gara kehebohan tersebut, banyak orang pun berbelok membahas Gus Dur. Sang doktor humoris causa, saking lekatnya humor dalam sosoknya. Kelakar-kelakarnya sampai saat ini masih beredar di kalangan masyarakat, tidak mengenal konteks waktu karena kontekstual, dan mudah dikutip pula.
Gus Dur memang serius berhumor dengan humor seriusnya. Ia menggunakan humor untuk menyampaikan pesan-pesan serius. Ia juga dengan serius menyusun humor-humornya. Semacam kredo pembicara publik: tell stories with points, tell points with stories.
Humor menjadi alat untuk menjaga kewarasan pribadi dan kewarasan kolektif di tengah tantangan hidup bersama, demikian menurut dia. Kalimat ”Gitu Saja Kok Repot!” adalah salah satu contohnya. Ketika dituduh keluar dari Islam, Gus Dur menjawabnya dengan sederhana: ya sudah, syahadat lagi saja, gitu saja kok repot. Sampai saat ini ”Gitu Saja Kok Repot” menjadi ungkapan yang sangat populer dan berfungsi menjaga kewarasan.
Demikian juga dengan komen satirnya, ”DPR kok seperti anak TK” yang masih kerap dilontarkan publik setiap kali DPR bertindak di luar nurul (baca: nalar) rakyat. Kelakar ini menjaga kewarasan kolektif kita untuk tetap mengkritisi para wakil rakyat di tengah rasa tak berdaya.
Dalam Kata Pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia (1986), Gus Dur menuliskan bahwa ada beberapa unsur dalam ”humor yang mengena”. Ada unsur sindiran halus yang menjadi kritik atas hal-hal yang salah dalam kehidupan, tanpa terjebak pada kemarahan atau kepahitan hati. Ada unsur kejutan yang di luar dugaan dan unsur rasionalitas yang menjadi tali pengikat cerita. Terakhir, situasi yang ditampilkan oleh humor tersebut tertangkap jelas.
Misalnya, kelakar Gus Dur bahwa hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Polisi Hoegeng. Hari-hari ini, kelakar ini mulai berseliweran kembali di media sosial, mengikuti kejadian-kejadian yang melibatkan banyak polisi, misalnya penembakan, pembunuhan, dan lain-lain.
Bagi Gus Dur, humor bukanlah sekadar lontaran kelucuan yang membawa kesempatan untuk tertawa terbahak-bahak. Humor adalah sebuah strategi kebudayaan dan bahkan strategi politik. Humor dapat menjadi alat untuk membusukkan kekuasaan, karena ia efektif menjadi alat perlawanan. Masyarakat dapat melontarkan pandangan kritisnya terhadap kekonyolan, ketidakadilan, atau sistem yang membelenggu tanpa harus menentang secara frontal.
Di masa Orde Baru, Gus Dur pernah memopulerkan guyonan tentang orang-orang Indonesia yang memilih memeriksakan gigi ke Singapura. Seorang dokter gigi di sana pun heran dan bertanya kepada pasiennya, mengapa. Sang pasien menjawab bahwa di Indonesia banyak orang takut membuka mulut.
Barangkali, fungsi terpenting kebiasaan dan kemampuan kita untuk melontarkan humor adalah untuk menjaga kita tetap rendah hati dan besar jiwa. Gus Dur kerap melontarkan kelakar tentang dirinya sendiri atau tentang kiai dan NU. Ia menggunakan humor untuk melakukan self-critic sebagai bahan perbaikan diri, sekaligus untuk menjaga agar tidak terjebak pada kesombongan pribadi.
Gila NU versus NU Gila dilontarkan Gus Dur untuk mengingatkan para Nahdliyin. Mereka yang gila NU bekerja selepas jam biasa sampai tengah malam, menunjukkan komitmennya. Lain persoalan mereka yang masih bekerja lewat tengah malam untuk NU. Sebab, mereka sudah menjadi NU Gila. Alih-alih menyombongkan kerja kerasnya, Gus Dur mengingatkan agar tidak sampai menjadi gila walaupun itu untuk NU.
Bagi para pemuka agama, Gus Dur terkenal dengan dark joke para pemuka agama yang memprotes malaikat penjaga pintu surga karena mendahulukan sopir metromini Jakarta. Malaikat pun menjawab bahwa saat pemuka agama berkhotbah, banyak jemaatnya tertidur. Sebaliknya sang sopir metromini setiap harinya membuat ratusan orang mengingat dan mendekatkan diri kepada Tuhan karena ia selalu ngebut saat mengendarai bus kotanya.
Melalui kelakar pinggir jurang ini, Gus Dur mengingatkan para pemuka agama atas tugas utamanya, yakni untuk mendekatkan umat kepada Tuhan, bukan sekadar untuk membawa nama Tuhan saja.
Kemampuan mengkritisi diri sendiri melalui gurauan inilah yang membedakan humor cerdas berkualitas dengan humor slapstik alias banyolan yang merendahkan martabat manusia. Humor slapstik, walaupun mengundang gelak tawa, sesungguhnya justru melemahkan kita sebagai masyarakat karena kita tidak mampu menghargai orang lain.
Sudah saatnya kita membuang banyolan-banyolan yang merendahkan martabat manusia. Sudah saatnya kita mengasah ketajaman nurani dan pemikiran kita melalui kelakar-kelakar bernas. Barangkali kita perlu memasukkan mengembangkan budaya berkelakar bernas sebagai salah satu cita prioritas pembangunan, untuk membangun karakter dan jati diri bangsa dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ah, setelah 15 tahun meninggalkan dunia ini, kita ternyata masih terus belajar dari Gus Dur. Kelakar-kelakarnya ternyata menjadi warisan berharga, untuk kita memelihara kewarasan bangsa. Semoga kita bisa menjaganya.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 15 Desember 2024