Jalsah Salanah 2024: Upaya Rajut Peace Building yang Dibatalkan

Peace building (pembangunan perdamaian) merupakan proses membangun dan memelihara perdamaian dalam masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional, maupun internasional. Peace building juga menjadi upaya untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan masyarakat untuk hidup dalam harmoni dan stabilitas, serta untuk mencegah atau mengurangi konflik.

Melalui Peace building akan terbangun kepercayaan antara individu dan kelompok, mengurangi konflik dan kekerasan, meningkatkan stabilitas dan keamanan dalam masyarakat, serta meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Agar tercapai tujuan peace building tersebut, maka diperlukan strategi, yaitu melalui dialog dan komunikasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan ekonomi masyarakat, dan penguatan lembaga. Peace building tercipta melalui proses yang kompleks dan memerlukan kerja sama berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan organisasi. Dengan membangun dan memelihara perdamaian, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan stabil.

Sementara itu, Jalsah Salanah merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Jemaat Ahmadiyah di setiap negara. Jemaat Ahmadiyah terdapat di 220 negara di dunia. Jalsah Salanah merupakan kebaikan yang sangat besar dari pendiri Jemaat Ahmadiyah yakni Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as pada kita. Hal Ini memberi kita kesempatan untuk ishlah atau melakukan perbaikan bersama-sama dan kesempatan bagi kita semua untuk mendapat hidangan rohani serta melakukan kewajiban dan tanggung jawab dalam memenuhi hak-hak Allah Swt dan hak-hak sesama manusia.

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as berpesan supaya mengupayakan dengan sungguh-sungguh keadaan hati untuk ditarik kepada akhirat dan rasa takut kepada Allah untuk ditanamkan. Orang harus menjadi contoh kezuhudan atau sikap hati yang tidak terpaku pada dunia, ketakwaan, kasih sayang, kesederhanaan, kelembutan, dan saling mencintai. Kerendahan hati dan kejujuran harus ditanamkan, dan ketekunan untuk urusan agama harus ditumbuhkan.

Jalsah Salanah biasanya dilakukan selama tiga hari dimulai setelah salat Jumat, acara diawali dengan penaikkan bendera dan do’a. Selama tiga hari tersebut beragam materi keagamaan dari berbagai aspek disampaikan, peserta tidak hanya dari internal jemaat Ahmadiyah namun juga pejabat pemerintah, akademisi, wakil komunitas, dan organisasi sosial masyarakat, maupun simpatisan jemaat Ahmadiyah secara personal.

Beberapa undangan eksternal pun diberi kesempatan untuk menyampaikan kesan-pesan mereka selama mengikuti Jalsah Salanah. Tak hanya itu, di dalam Jalsah Salanah terdapat pameran Al-Quran terjemahan dalam berbagai bahasa, pameran buku, pemberian penghargaan bagi anggota berprestasi. Kegiatan disiarkan secara live melalui 10 satelit Muslim Television Ahmadiyah (MTA) di seluruh dunia tanpa iklan.

Namun Tampaknya Kita Belum Benar-benar Bertoleransi, Jalsah Salanah Terpaksa Terhenti

Kekayaan bangsa Indonesia sangat patut disyukuri, yaitu kekayaan yang terwujud dalam keberagaman budaya, agama, dan etnis yang dimiliki. Melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika menyiratkan persatuan dalam keragaman tersebut akan memunculkan keragaman keindahannya bila dalam pengamalannya mengkhidmati nilai-nilai kemanusiaan sebagai pondasi dasarnya. Namun demikian gesekan sosial berbasis perbedaan masih sering terjadi. Berbagai peristiwa menunjukkan bagaimana ujaran kebencian, diskriminasi terhadap kelompok rentan, dan eksklusivisme keagamaan dapat mengancam harmoni sosial.

Kasus-kasus seperti penolakan terhadap kelompok agama tertentu, pembubaran kegiatan budaya, serta aksi kekerasan berbasis keyakinan semakin menegaskan bahwa toleransi belum sepenuhnya mengakar dalam kehidupan bermasyarakat. Jemaat Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam, merupakan salah satu komunitas yang sering mendapat perlakuan diskriminatif.

Seperti yang terjadi pada tahun 2024 silam, yaitu pelarangan kegiatan tahunan atau Jalsah Salanah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Saat itu Jalsah Salanah sedang mengusung tema “Khilafat Ahmadiyah, kepemimpinan rohani jalan menuju perdamaian” dengan terpaksa dihentikan. Sedangkan saat itu diperkirakan akan hadir sebanyak 14.000 jemaat dari berbagai daerah di Indonesia termasuk wilayah terjauh, yakni Papua. Tak hanya dari dalam negeri, ada pula tamu undangan internasional yakni dari Jerman yang akan hadir dalam perhelatan tahunan tersebut.

Sementara dana yang sudah dikeluarkan sebanyak 5 milyar yang didapatkan dari hasil iuran sukarela seluruh anggota Jemaat Ahmadiyah, serta didukung oleh 1.000-1.500 panitia yang mulai berpartisipasi beberapa bulan sebelumnya. Ladang ubi diubah menjadi area peserta, dapur umum, kamar mandi, dan lain sebagainya. Begitu pula peserta bazar dan masyarakat sekitar yang ingin menjajakan beragam komoditi dagangnya.

Namun demikian jelang hitungan jam seluruh akses jalan menuju lokasi ditutup. Namun kelelahan peserta luar kota, daerah, pulau belumlah surut, setelah acara terpaksa dihentikan mereka harus kembali pulang, innalillahi wa inailaihi rojiuun. Melalui motto ‘Love for all hatred for none’ dan pengamalan ‘atiullahwaatirasul waulilamriminkum.. ‘ [Q.S An-Nisa: 59], serta tauladan Rasulullah saw dalam mengamalkan kesabaran, maka kegiatan tahunan ini pun dibatalkan.

Menanggapi larangan pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, atas pertemuan tahunan Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Desa Manislor, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, “Sangat disayangkan kejadian intoleransi ini terjadi hanya berselang dua hari setelah Presiden menggaungkan pentingnya keberagaman dan kerukunan sebagai token persatuan masyarakat Indonesia. Ini menunjukkan tidak adanya kebijakan yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah terkait komitmen melindungi hak-hak asasi manusia dalam konteks keberagaman dan kerukunan di Indonesia”.

Lembaga pemantau Hak Asasi Manusia (HAM) Imparsial menilai pemerintah bersikap toleran terhadap kelompok intoleran. Pernyataan ini disampaikan Imparsial dalam konteks pelarangan Jalsah Salanah. Koordinator Program HAM Imparsial Annisa Yudha menyebut, seharusnya pemerintah pusat maupun daerah wajib memfasilitasi dan menjamin hak warganya untuk melaksanakan keyakinannya.

“Kami sangat menyayangkan, karena belum lama kita memperingati Hari Toleransi Internasional, ya, di 16 November kemarin, bahkan belum ada sebulan, yang kami menilai bahwa ini seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan kondisi toleransi dan kerukunan masyarakat di Indonesia, tapi justru dicederai oleh negara itu sendiri, oleh pemerintah,” ujarnya.

Padahal, Jalsah Salanah /pertemuan tahunan Jemaat Muslim Ahmadiyah diselenggarakan untuk tujuan agar setiap orang yang menghadirinya dapat menambah ilmu agama, memperdalam pengertian rohani, meningkatkan ketakwaannya, mempererat hubungan persaudaraan, dan tumbuh dalam kecintaan kepada Allah. Mereka hendaknya berusaha agar keluhuran budi, ketakwaan, dan kecintaan kepada Allah serta Rasul-Nya berkembang dalam diri mereka. Menurut Pendiri Jemaat Ahmadiyah, dirinya mendirikan Jemaat ini adalah untuk menanamkan ketakwaan yang sejati dalam hati manusia.

“Saya telah mengadakan Jalsah ini semata-mata untuk tujuan keagamaan, yaitu agar kebenaran, ketakwaan, dan kasih sayang serta penghambaan kepada Tuhan berkembang, serta agar keyakinan bertambah dan hubungan cinta kasih di antara saudara-saudara seiman menguat.” (Maklumat tentang Jalsah Salanah, 27 Desember 1892)

Bila kita cerna dengan hati bersih pikiran jernih serta lapang dada, maka tujuan yang begitu kompleks sebagai perwujudan nilai kemanusiaan dalam pelaksanaan Jalsah Salanah tersebut tentunya bisa menjadi ajang pemersatu dalam membentuk nilai perdamaian.

Pernyataan Peserta Eksternal Jemaat Ahmadiyah mengenai Jalsah Salanah

Ketua Mubalighin Muhammadiyah Jawa Barat KH. Hidayat Saeful Abdullah di usianya 76 tahun menceritakan perjalanan singkat hidupnya sehingga bisa mengenal langsung Jemaat Ahmadiyah. Perkenalan justru diawali dengan ikut sertanya beliau dalam aksi intoleransi terhadap jemaat Ahmadiyah di Bandung & Jakarta tahun 1998 sebagai bentuk ketaatannya pada pimpinan pusat organisasi FPI. Saat itu beliau tergabung di dalamnya dan menjabat sebagai ketua FPI Bandung.

Dengan karunia Allah swt kebencian berganti seiring berjalannya waktu, silaturahmi dari pengurus jemaat Ahmadiyah ke beliau meninggalkan kesan yang menyentuh hatinya. Keramahan, kesantunan, kelembutan hati yang dirasakan, hadiah buku-buku terbitan Jemaat Ahmadiyah setelah bincang-bincang sebagai upaya membuka ruang dialog damai pun mengalir. Melalui motto yang diusung setiap ahmadi (sebutan untuk anggota Ahmadiyah) “Love for all hatred for none” bahwa ketika setiap dari kita menjunjung sikap cinta untuk semua & kebencian tidak bagi siapa pun dalam mewarnai keberlangsungan keberagaman yang harmonis, maka sikap musyawarah dalam damai menjadi penting sebagai bagian dasar peace building.

Keikutsertaan beliau dalam kegiatan tahunan Jalsah Salanah di Qadian, Singapura, dan Thailand makin menyadarkan beliau bahwa Ahmadiyah adalah Islam. Salat berjamaah, rutin salat Tahajud, ceramah dengan materi meningkatkan kecintaan dan keimanan dalam 3 hari Jalsah Salanah makin meyakinkan beliau bahwa Ahmadiyah ormas yang damai.

Profesor Alimatul Qibtiyah (Komisioner untuk Komnas Perempuan), menegaskan bahwa Ahmadiyah adalah bagian dari Islam setelah melakukan pengamatan langsung pada Jalsah Salanah di Inggris tahun 2024. Selama kunjungannya, Prof. Alimatul menggunakan pendekatan akademis dalam membentuk pandangannya tentang Jemaat Muslim Ahmadiyah.

“Saya berharap setelah pengamatan langsung terhadap Lajnah, saya akan lebih percaya diri karena ini adalah pengamatan langsung saya, bukan dari kertas, bukan dari sebuah artikel,” ujarnya.

Diketahui, Prof. Alimatul juga mewawancarai para Lajnah Imaillah atau Perempuan Ahmadiyah dari berbagai negara yang menghadiri Jalsah untuk mendapatkan gambaran yang lebih besar tentang keyakinan mereka. Ia berencana menulis makalah berdasarkan informasi yang dikumpulkannya, dengan fokus pada persepsi para Perempuan Muslim Ahmadi tentang isu gender.

“Saya punya teori,” katanya. Prof. Alimatul menyatakan bahwa di dunia di mana umat Muslim sering kali dianggap terlalu ekstrem atau terlalu liberal, Ahmadiyah berada di posisi moderat.

Rasa syukur atas keragaman agama, kepercayaan, budaya, ras, dan lain sebagainya di negara tercinta Indonesia akan terwujud bila masing-masing mengutamakan cinta, kemanusiaan, kerukunan, dalam beragam kegiatan bersama demi menegakkan peace building menuju kemanusiaan yang beradab.

Intoleransi, radikalisme dan ekstrimisme dapat diminimalisir melalui ruang perjumpaan beragam kegiatan kebaikan bersama sehingga dengan mengenal lebih dekat satu sama lain dapat menumbuhkan semangat love for all hatred for none menuju Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 



____________________________________________________________________

Sumber:

https://ahmadiyah.id/ahmadiyah-kebangkitan-islam

Wawancara online dengan ketua panitia Jalsah Salanah Indonesia 2024 & simpatisan Ahmadi.

Pengurus LI/Perempuan Ahmadiyah Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *