Orang Indonesia adalah kaum paling optimistis di dunia, demikian hasil riset IPSOS, sebuah firma multinasional yang bergerak di bidang konsultansi dan riset pasar. Firma ini meluncurkan IPSOS Prediction Survey 2025 yang dilakukan di 33 negara dan melibatkan lebih dari 23.000 responden. Sekitar 90 persen responden warga Indonesia merasa optimistis bahwa keadaan akan membaik di tahun 2025 ini dibandingkan tahun lalu. Rerata dunia untuk optimisme adalah 71 persen, sementara Jepang pada posisi terendah dengan hanya 38 persen responden yang merasa optimistis.
Dalam berbagai survei multinasional, bangsa Indonesia memang sering menjadi juara untuk aspek-aspek sosio-kultural, baik positif maupun negatif. Selama beberapa tahun terakhir, bangsa Indonesia adalah bangsa paling dermawan menurut World Giving Index (2021, 2022, 2023). Bangsa kita memang tidak segan membantu orang lain dan murah hati kepada sesamanya.
Sebaliknya, dalam indeks keberadaban di dunia maya, bangsa kita pernah dicatat sebagai yang paling buruk di Asia Tenggara oleh raksasa teknologi informasi Microsoft dalam Digital Civility Index pada tahun 2019, dan memburuk pada tahun 2020. Kegemaran merisak (bullying) dan menyebar hoaks di media sosial, trolling, ujaran kebencian dan memicu kemarahan, dan ujaran misoginis menjadi ukuran dari keberadaban digital, dan rupanya orang Indonesia paling sering melakukannya di Asia Tenggara.
Dalam hal media sosial, Indonesia memang merajai arena global sehingga kehadirannya akan lebih terasa. Firma data.ai dalam laporan riset berjudul ”State of Mobile 2023” mengungkap bahwa Indonesia menempati peringkat pertama dalam penggunaan ponsel dengan durasi harian paling panjang, yaitu lebih dari 5 jam setiap hari untuk penggunaan ponsel dan tablet digital. Rerata lama koneksi internetnya pun mencapai 5,7 jam per hari.
Padahal, Indonesia juga merupakan bangsa yang menganggap agama paling penting dalam kehidupannya dalam penelitian dari tahun ke tahun oleh Pew Research Global. Demikian juga para Gen Z, yang menganggap agama adalah hal penting untuk kebahagiaan hidup (survei Varkey Foundation pada tahun 2017). Apabila agama dianggap sebagai panduan nilai kebaikan, menarik untuk melihat bagaimana nilai agama ini berdampak pada perilaku digital yang kurang beradab tersebut.
Angka optimisme dalam survei IPSOS ini selaras dengan temuan riset lain, yaitu Gallup Global Emotions pada tahun 2023. Survei yang dilakukan di 142 negara dengan 146.000 responden mendudukkan Indonesia di peringkat kelima sebagai negara yang warganya paling positif menilai pengalaman emosinya.
Angka pada survei IPSOS 2024 sebetulnya turun 1 persen dari tahun sebelumnya, tetapi tak menggoyahkan posisi nomor wahid secara global. Baik di survei tahun 2024 maupun 2023, hanya Indonesia yang mencatatkan angka optimisme di atas 90 persen. Negara terdekat hanya membukukan angka 87-88 persen.
Menariknya, dalam survei ini juga, 85 persen responden warga Indonesia meyakini harga-harga akan naik, selaras dengan 80 persen meyakini inflasi juga naik. Sebanyak 87 persen responden warga Indonesia juga meyakini pajak akan naik, sementara 87 persen meyakini pengangguran akan meningkat. Rupanya, bagi responden warga Indonesia, optimisme tidak ada kaitannya dengan kondisi ekonomi yang menantang.
Ini terafirmasi dengan temuan BPS tahun 2023 tentang Yogyakarta. Data menunjukkan DI Yogyakarta adalah provinsi termiskin di Pulau Jawa, dengan angka kemiskinan per September 2023 sebesar 11,49 persen. Persentase kemiskinan itu berada di atas rerata nasional, yaitu 9,57 persen. Upah minimum Provinsi DIY juga salah satu yang terendah dari tahun ke tahun.
Akan tetapi, provinsi ini juga mencatatkan indeks kebahagiaan yang tinggi dan angka harapan hidup tertinggi di Indonesia. DIY masuk dalam 5 besar provinsi dengan indeks kebahagiaan tertinggi di Indonesia di tahun 2023, meningkat dari posisi 8 pada tahun 2019.
Mengapa orang Indonesia bisa tetap optimistis dan bahagia di tengah berbagai tantangan kehidupannya? Apakah ini sikap optimis sejati yang membuat orang Indonesia memiliki resiliensi terhadap kondisi menantang, ataukah ini bentuk coping mechanism (mekanisme berdamai) terhadap realita yang tak sesuai harapan? Atau bahkan ini menjadi sublimasi dari learned helplessness, sebuah perasaan tidak berdaya yang menguat karena pengalaman hidup?
Sampai saat ini, belum banyak riset komprehensif yang dapat menjawab pertanyaan ini. Sebagian besar analisis para pakar mengembalikannya kepada nilai-nilai yang dihidupi oleh orang Indonesia.
Nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa, seperti nrimo ing pandum, dinilai membuat masyarakat Jawa mudah merasa ikhlas dan mensyukuri apa pun yang diterimanya. Mereka menganggap apa pun yang terjadi adalah takdir yang diberikan Tuhan dan karenanya harus dihidupi seutuhnya. Karena itu, masyarakat Jawa juga menekankan pada sikap sabar dan kalem.
Falsafah untung juga menjadi turunan dari nilai ikhlas tersebut. Kita kerap menertawakan warga Indonesia yang lekat dengan kalimat untung dalam keadaan apa pun, semisal untung tidak kehilangan tas saat dompet dicopet, atau untung masih bisa makan saat tidak punya pekerjaan, dan seterusnya.
Falsafah untung ini barangkali yang menjadi sumber resiliensi orang Indonesia sepanjang kehidupan pribadi dan sejarah bangsanya. Bagaimana pun kondisi kita sebagai bangsa dan negara, hidup terus berjalan dan nyatanya kita baik-baik saja. Agaknya optimisme yang tinggi hanyalah konsekuensi dari sistem nilai kita ini.
Akan tetapi, apakah keikhlasan dan falsafah untung ini juga yang menjadi polisi tidur perubahan sistemik untuk kemajuan negara bangsa Indonesia? Apakah ini yang menyebabkan rakyat mengikhlaskan pajaknya dikorupsi, pejabatnya berfoya-foya, pemimpin-pemimpinnya sibuk dengan kepentingan kelompoknya sendiri?
Apabila memang demikian, tidak kah kita menjadi tidak optimistis?
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 5 Januari 2025