Suatu pagi, ketika karyawan media datang ke kantornya, yang mereka temukan bukan suasana kerja yang tenang, melainkan sebuah kepala babi teronggok di depan pintu. Di tempat lain, redaksi menerima kiriman bangkai tikus dalam kardus. Sayangnya, ini bukan cerita fiksi atau bagian dari novel kriminal. Ini nyata, terjadi di Indonesia, dan menjadi simbol kekerasan simbolik terhadap kemerdekaan pers yang kian terancam.
Benda-benda menjijikkan seperti kepala babi atau bangkai tikus bukan sekadar sampah organik yang dibuang sembarangan. Dalam konteks ini, mereka adalah pesan. Bukan pesan cinta atau ucapan selamat pagi, melainkan ancaman. Pesan intimidasi yang brutal, simbol kebencian yang dikirim kepada insan pers yang sedang menjalankan tugasnya: mencari kebenaran, menyuarakan fakta, dan mengontrol kekuasaan.
Fenomena ini bukan hanya soal horor visual, tapi mencerminkan betapa sempitnya ruang gerak jurnalisme kritis di negeri yang katanya demokratis. Kita mulai terbiasa dengan persekusi digital, doxing terhadap wartawan, laporan polisi terhadap berita, hingga teror fisik seperti ini. Yang menyedihkan, ketika wartawan diserang, suara-suara pembelaan kadang hanya bergaung di ruang-ruang kecil, selebihnya sunyi senyap. Seakan para jurnalis harus berjuang sendirian menjaga tiang demokrasi yang mulai goyah.
Mengapa Teror Ini Berbahaya?
Karena teror semacam ini bekerja dalam dua level: fisik dan psikologis. Secara fisik, ya jelas mengganggu keamanan. Tapi secara psikologis, ia mengirimkan pesan: “Berhentilah menulis, atau kamu bisa jadi korban berikutnya.” Inilah cara paling pengecut untuk membungkam kebenaran: lewat ketakutan. Ketika jurnalis mulai takut menulis, maka publik akan kehilangan hak untuk tahu. Dan ketika publik kehilangan akses terhadap informasi yang benar, saat itulah demokrasi mulai runtuh—bukan dengan letupan senjata, tapi dengan sunyinya suara kebenaran.
Di sinilah kita perlu kembali mengingat peran pers dalam sistem demokrasi. Pers itu bukan hiasan pelengkap negara. Ia adalah tiang penyangga demokrasi. Seperti jendela rumah, pers memungkinkan kita melihat keluar, melihat apa yang terjadi di luar tembok rumah kekuasaan. Tanpa jendela, kita hidup dalam gelap. Maka, jika jurnalis dibungkam, itu seperti memaku papan kayu di jendela dan memaksa kita hidup dalam kebutaan informasi.
Mengapa Bisa Terjadi?
Ada beberapa sebab. Pertama, masih kuatnya budaya anti-kritik di kalangan elite. Padahal, kritik adalah vitamin demokrasi. Tapi bagi sebagian pejabat atau pengusaha yang merasa terganggu kepentingannya, kritik dianggap racun. Akibatnya, alih-alih menjawab dengan data atau klarifikasi, mereka memilih jalan pintas: mengancam dan meneror.
Kedua, lemahnya perlindungan hukum terhadap jurnalis. Undang-Undang Pers memang ada, tapi implementasinya seringkali setengah hati. Banyak kasus kekerasan terhadap wartawan yang menguap begitu saja. Polisi lamban, apalagi jika yang dilaporkan adalah pihak “berpengaruh.” Akibatnya, pelaku teror merasa punya kekebalan. Mereka tahu, ancaman mereka tak akan berbuah hukum.
Ketiga, makin liarnya buzzer dan para penjaga citra digital yang bekerja layaknya pasukan bayaran. Mereka menyerang bukan dengan kepala babi atau bangkai tikus, tapi dengan fitnah, hoaks, dan pelaporan massal di media sosial. Tujuannya sama: membungkam. Bedanya, mereka bekerja secara sistematis dan kadang—ini yang ngeri—dibiayai.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Pertama, jangan diam. Diam adalah pupuk bagi teror. Ketika kita membiarkan satu media diteror tanpa perlawanan publik, maka teror akan datang ke media berikutnya. Solidaritas lintas media, komunitas, dan warga sipil adalah benteng awal. Jangan biarkan jurnalis berjuang sendiri. Karena pada akhirnya, yang mereka perjuangkan bukan hanya hak mereka, tapi hak kita semua untuk tahu.
Kedua, dorong aparat penegak hukum untuk bekerja profesional. Kita butuh polisi yang tak gentar menghadapi pelaku teror, siapa pun mereka. Karena jika teror dibiarkan, maka negara telah gagal menjalankan salah satu tugas utamanya: melindungi warganya.
Ketiga, kuatkan literasi publik. Masyarakat harus sadar bahwa serangan terhadap pers bukan sekadar urusan internal media. Ini soal kebebasan semua orang. Jika kita kehilangan pers yang bebas, maka yang tersisa hanya propaganda dan siaran satu arah. Maka, edukasi tentang peran pers, fungsi kritik, dan pentingnya kebebasan berpendapat harus terus digalakkan.
Akhirnya…
Kepala babi dan bangkai tikus mungkin bisa membuat jijik, bahkan takut. Tapi jurnalisme tak boleh kalah oleh aroma busuk itu. Karena jauh lebih busuk adalah ketika kebohongan dibiarkan merajalela, dan kebenaran dibungkam oleh kekuasaan yang takut dikritik. Maka, selama ada jurnalis yang berani menulis, ada harapan untuk demokrasi. Dan selama publik masih peduli pada kebenaran, maka para peneror hanya akan menjadi catatan kelam dalam sejarah perjuangan kebebasan.
Kepala babi bisa dibuang. Tapi keberanian tak bisa dikubur. Ia akan terus hidup dalam setiap berita yang jujur dan setiap kata yang ditulis dengan niat menjaga kebenaran.