Musik sebagai Antonim Kekerasan

Musik bukan sekadar pembangkit suasana hati atau penggerak ekonomi yang masif. Dalam wujudnya yang terlupakan, musik merupakan bentuk perlawanan paling minimalis bagi orang-orang pinggiran. Ia tidak hanya merangsang perputaran uang dalam sistem kapitalistik, namun juga katalisator perubahan.

Aldous Huxley dalam esainya “Music at Night and Other Essays” (1931) bertutur, “After silence that which comes nearest to expressing the inexpressible is music.” Ia percaya bahwa setelah keheningan, hal yang paling mendekati pengungkapan yang tidak terekspresikan adalah musik. Bagi Huxley, tidak ada seni yang membuka gerbang penerimaan lebih kuat daripada musik. Musik mampu mengkomunikasikan realitas tersembunyi yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari.

Lebih dari 50 tahun usai kematiannya, musik kian menjamur ke seantero bumi dan keheningan lambat laun mulai ditinggalkan. Kesunyian di tepian danau atau sudut surau kini bergeser ke gemuruh sound system yang berjubel. Lewat musik, manusia seakan memiliki surat-surat bawah tanah: perangkat untuk mengalirkan pesan melalui celah sensor yang dipasang penguasa.

Antonim Kekerasan

Antonim kata kekerasan ialah kedamaian, yang bertalian erat dengan keheningan. Secara epistemologi, ini dapat diterima selagi kedamaian memang tercipta dari adanya kemakmuran. Namun, bagaimana jika kedamaian tercipta dan merupakan bagian dari rasa takut (fear) yang dilandasi kekerasan (violence)?

Hannah Arendt dalam On Violence (1970) menyatakan bahwa kekuasaan dan kekerasan tidak identik. Kekuasaan sejati berasal dari persetujuan bersama, bukan dari pemaksaan. Ketika kekuasaan tidak lagi mendapat legitimasi, kekerasan struktural menjadi substitusinya. Kekuasaan dan kekerasan adalah lawan, bukan kawan: bila yang satu benar-benar memerintah, yang lain tidak ada. Dan di zaman ini, kekerasan bahkan dipoles oleh kosmetik bernama keheningan yang—sampai taraf tertentu—mematikan.

Jika saja keheningan melanggengkan kekerasan, musik justru mengubahnya menjadi serangan balasan. Ia berperan sebagai penawar ampuh yang membunuh racun keangkuhan. Ia mengacaukan ketertiban, membongkarnya, lalu berteriak lantang: kami ada dan patut didengar! Barangkali itu yang dilakukan para pegiat sound horeg, sebuah hiburan keliling yang menggunakan sistem pengeras suara berdaya jumbo.

Saat Bising Menjadi Penting

Jika saja dilihat dari sudut sempit, sound horeg lebih dari sekadar konsumsi pasif yang menyebalkan: saat identitas tidak diacuhkan, bahkan dihancurkan, volume suara yang berdentum siang-malam demi setitik perhatian sangat diperlukan. Ini bukan sekadar gelaran panggung kelas bawah (lower class) sebagai reaksi atas eksklusivitas hiburan kelas menengah atas (upper middle class). Sound horeg merupakan bentuk perilaku sosial dari kalangan bawah yang ingin didengar penguasa.

Di negara yang mendekati pola otoriter, suara-suara kecil cenderung merasa tidak digubris. Jika respons itu tidak kunjung hadir, biar kebisingan yang mengambil alih. Dengan alunan nada super keras, masyarakat di Jawa Timur dan sekitarnya menolak untuk terus diabaikan: dari akses pendidikan, kepastian kerja, serta kesejahteraan. Menariknya, ini berbanding lurus dengan data milik Badan Pusat Statistik (BPS). Di Jawa Timur sendiri, per Maret 2025, terdapat lebih dari 3,8 juta penduduk miskin. Sederhananya, peringkat 1!

Konsep paling klasik bernama kekerasan simbolik (symbolic violence) pun justru jadi tameng di garis terdepan. Pierre Bourdieu dalam Distinction (1979) menjelaskan, kekerasan bukan lagi tentang pukulan atau pentungan, tapi tentang klasifikasi: ketika satu cara bicara disebut “berkelas” dan yang lain “kampungan”. Atau dengan kata lain, ketika selera tertentu dianggap “berbudaya”, sementara yang lain “norak”, di situlah kekerasan berlangsung dalam senyap.

Padahal, harapan dari merebaknya fenomena ini telah digambarkan secara lugas oleh Axel Honneth melalui konsep perjuangan untuk pengakuan (kampf um anerkennung): tatanan masyarakat maju dan rasional yang memberi ruang dan pengakuan seluas mungkin bagi kelompok-kelompok sosial yang ada di tengah komunitasnya. Namun, yang terjadi di sini adalah sebaliknya: friksi di tengah masyarakat kembali dibangun. Alih-alih berempati, segelintir kalangan urban perkotaan yang cenderung sudah kenyang didengar justru menyodorkan antipati.

Perpecahan terus jadi sasaran utama. Tujuannya jelas: agar simpul-simpul itu mengendur lalu putus. Kelompok satu mengomel, sedangkan yang lain tetap angkat dagu. Sebagian jadi terlalu cepat menaruh label macam-macam, sementara yang di seberang masih asyik berdendang dan ogah didikte. Yang berkelahi bukan lagi ide, melainkan ego sektoral. Selanjutnya, saat fatwa haram sudah dirilis, tudingan mentah yang jauh dari inti persoalan lantas bertebaran. Silakan tebak, siapa yang paling diuntungkan?

Alarm Tanda Bahaya

Musik sebagai ajang pemberontakan antar-narasi bukan barang baru. Namun bukan pula deadstock. Ia merupakan alarm alami yang cepat atau lambat akan muncul ke permukaan, lantas membuat kehebohan bagi kelompok dominan yang sejak lama pura-pura tuli. Dan selayaknya alarm, musik tak ubahnya alat mekanik yang dirancang untuk memperingatkan akan adanya bahaya atau kerusakan: atas sistem dan atas ruang hidup.

Metode yang berbeda toh sudah pernah dilakoni di masa silam. Musik mengupas alasan mengapa para Cules lantang menyanyikan chants di Camp Nou sebagai cara “teraman” untuk mengekspresikan perlawanan politik terhadap hegemoni Madrid. Itulah mengapa Sting mengabadikan aksi para ibu di Plaza de Mayo lewat lagu “They Dance Alone” menyusul kasus penculikan di Argentina pada 1970-an, dan mengapa Green Day secara terbuka melontarkan dukungan terhadap Palestina di Coachella. Berkat musik pula, lirik “Buruh Tani” ciptaan Safi’i Kemamang senantiasa berseliweran di jalanan saat demonstrasi.

Segenap upaya lewat musik bukannya tanpa pencekalan: lagu-lagu The Beatles sempat dilarang di sejumlah wilayah Inggris karena dinilai provokatif, personel Koes Ploes pernah dibui lantaran substansi karyanya yang kontras dengan wacana Orde Lama, hingga Sukatani yang dibungkam imbas dari meledaknya hits “Bayar Bayar Bayar” yang dipandang terlampau ofensif terhadap instansi tertentu.

Kita mungkin bisa mengingat apa yang dilakukan William Shakespeare saat menemui jalan buntu: meletakkan pena dan menyetel musik. Dan ketika rangkaian irama itu tetap gagal, sang sastrawan akan menuju keheningan. Tingkah Shakespeare itu bisa jadi pelajaran: kalau suatu waktu mesin pengeras suara itu dimatikan, terserah para pemangku kebijakan mau mendengarkan “Peringatan” dari Wiji Thukul atau tidak.

Kalau rakyat bersembunyi/

Dan berbisik-bisik/

Ketika membicarakan masalahnya sendiri/

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.

Jangan-jangan, ada sisa-sisa suara parau di ujung pengeras suara yang mesti dilontarkan sebelum betul-betul lenyap.

Penulis lepas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *