Minggu, 27 Juli 2025, matahari pagi Yogyakarta bersinar lembut. Kali ini Komunitas GUSDURian Yogyakarta berhasil merangkul mahasiswa dari berbagai kampus dengan latar belakang usia yang berbeda untuk berkumpul dalam sebuah perjalanan tak biasa. Mereka bukan hendak mendaki gunung atau bertamasya ke pantai. Mereka berjalan menapak jejak spiritualitas yang kerap disisihkan dari ruang publik.
Dalam kegiatan bertajuk “Jalan-jalan Toleransi”, langkah kaki diarahkan ke dua titik yang jarang disentuh oleh wacana dominan. Pondok Pesantren Waria Al-Fatah dan Komunitas Penghayat Kepercayaan Sapta Darma.
Sekilas, mungkin dua tempat ini tampak tidak lazim dijadikan destinasi wisata edukatif. Namun justru di situlah letak pembelajarannya. Jalan-jalan ini bukan hanya soal berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, melainkan sebuah upaya melintasi batas-batas stigma, membuka ruang dialog, dan membongkar sekat-sekat yang selama ini membuat kita canggung memahami keberagaman dalam makna yang sebenar-benarnya.
Pesantren Al-Fatah: Potret Iman yang Tak Pernah Tercabut
Langkah pertama membawa peserta ke Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Sambutan yang hangat dan senyum tulus dari para penghuni pesantren menjadi pintu masuk yang membungkam segala asumsi keliru. Dalam ruang sederhana tapi bersih dan penuh kehangatan, diskusi pun dimulai.
Cerita demi cerita mengalir dari para pengasuh dan penghuni pesantren. Tentang awal mula Al-Fatah berdiri sebagai ruang spiritual bagi kalangan waria, tentang tantangan sosial yang mereka hadapi: penolakan, stigma, hingga minimnya pengakuan administratif negara terhadap eksistensi mereka sebagai entitas keagamaan yang sah. Tapi di balik semua itu, ada keteguhan iman yang tak tergoyahkan. Bahwa menjadi waria bukan berarti kehilangan hubungan dengan Tuhan, dan bahwa ruang-ruang ibadah sudah seharusnya menjadi rumah yang memeluk semua, bukan menolak sebagian.
Yang mengesankan, bukan sekadar keberanian mereka bertahan, tetapi cara mereka menjawab penolakan dengan kasih sayang, menjawab diskriminasi dengan keteguhan ibadah, dan membalas stigma dengan pendidikan serta pemberdayaan diri. Ini bukan pesantren biasa. Ini adalah napas dari perjuangan hak asasi yang dibingkai dalam spiritualitas.
Sapta Darma dengan Memeluk Luhur untuk Menyemai Toleransi
Dari Al-Fatah, perjalanan berlanjut ke Komunitas Penghayat Sapta Darma, sebuah ruang spiritual yang lahir dari kearifan lokal dan mewariskan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Diskusi berlangsung santai, namun penuh makna. Para peserta diajak mengenal lebih dekat sejarah berdirinya Sapta Darma, nilai-nilai yang dijunjung, dan bagaimana mereka mempraktikkan toleransi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sapta Darma bukan sekadar sistem kepercayaan. Ia adalah praktik hidup yang menjunjung tinggi berbudi luhur, menghormati setiap bentuk kehidupan, dan menempatkan manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap sesamanya. Dalam dunia yang semakin keras dan mudah menghakimi, Sapta Darma menawarkan pendekatan yang lembut, namun tak kalah tegas: bahwa hidup damai dalam keberagaman bukanlah pilihan, melainkan keharusan.
Apa yang menarik dari kunjungan ini bukan hanya fakta bahwa negara kini secara administratif mulai mengakui komunitas penghayat kepercayaan. Lebih dari itu, peserta menyaksikan bahwa spiritualitas tak harus mengikuti pakem dominan. Ia bisa tumbuh dari bumi sendiri, dari pengalaman-pengalaman hidup yang khas, dan tetap bermuara pada nilai-nilai universal: cinta kasih, hormat terhadap sesama, dan kedamaian.

Membaca Ulang Makna Toleransi
Kegiatan Jalan-jalan Toleransi merupakan agenda rutinan yang diadakan oleh GUSDURian Yogyakarta. Kali ini, pesertanya hanya sekitar 20 orang, termasuk panitia. Namun langkah kecil ini menyimpan gema yang besar. Dalam perjumpaan sederhana, peserta mengalami secara langsung bagaimana toleransi itu hidup: bukan sekadar slogan atau wacana, tetapi hadir dalam sapaan, senyum, air mata, dan kebersamaan.
Dari Al-Fatah dan Sapta Darma, kita belajar bahwa minoritas bukan berarti salah, dan berbeda bukan berarti sesat. Toleransi bukan tentang memberi ruang kepada yang lain karena merasa superior, melainkan tentang saling mendengarkan, saling menghargai, dan tumbuh bersama dalam ruang publik yang setara.
Menurut Darul, salah satu peserta Jalan Tol yang berasal dari kampus UIN Sunan Kalijaga, acara ini dapat memberikan kesan baik dan mampu menjadi wadah bagi para pemuda untuk bisa meningkatkan nilai-nilai toleransi antarsesama umat.
“Acara ini memperkenalkan nilai-nilai toleransi melalui pendekatan langsung dengan para praktisi, harapannya mungkin ke depan bisa lebih mengenalkan kepercayaan-kepercayaan lain dan bisa memahami untuk saling mencari jalan tengahnya dalam hubungan umat beragama,” tuturnya.
Di tengah kerapuhan sosial hari ini, kegiatan seperti ini menjadi solusi membangun ulang makna toleransi. Jalan-jalan Toleransi bertajuk ‘Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Bagi Seluruh Rakyat’ menunjukkan bahwa ruang-ruang perjumpaan lintas iman dan keyakinan bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi sangat diperlukan. Karena dari sana, kita tidak hanya belajar tentang yang lain, tapi juga belajar tentang diri sendiri. Seberapa siap kita hidup bersama dalam perbedaan.
Dan barangkali, seperti langkah-langkah yang menyusuri lorong-lorong sederhana di hari Minggu itu, toleransi sejatinya adalah perjalanan yang harus terus dijalani. Dengan hati terbuka dan niat yang jujur, kita bisa menjadi saksi bahwa Indonesia yang berwarna ini memang bisa dirawat, selama kita mau berjalan bersama.









