Menimbang Hak Recall untuk Rakyat

Gaji dan tunjangan anggota DPR mengalami kenaikan dibandingkan periode 2019-2024. Menurut Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar menyatakan perbedaan penerimaan itu karena adanya tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas. Kebijakan tunjangan rumah ini didasarkan pada surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024. Total gaji bersih anggota DPR menurut pantauan BBC News Indonesia mencapai Rp100 juta lebih.

Miris sekali melihat kebijakan ini di tengah ekonomi masyarakat yang kian sulit dan angka kemiskinan semakin tinggi. Sebagaimana data yang diluncurkan oleh World Bank, angka kemiskinan kita mencapai 68,3% atau sekitar 194,6 juta jiwa dari total jumlah penduduk (285,1 juta jiwa) pada tahun 2024. Angka ini masih jauh di atas 24,06 juta jiwa jika merujuk pada angka yang dirilis oleh BPS pada September 2024. Data siapa yang lebih mewakili realitas? Tak heran, Rocky Gerung bahkan menyebut pemerintah adalah pembuat hoaks terbaik karena semua alat dikuasai oleh negara.

Kemarin, seorang senior bertanya pada saya dengan nada bercanda, “War, bisa nggak sih DPR dibubarin aja?”. Kemudian kawan saya spontan menjawab, “Bisa bang, itu zaman Gus Dur kan dibubarin lewat dekrit presiden”. Saya cuma diam menyimak, tapi celetukan senior saya tadi menarik sekali dan relevan dengan kondisi lembaga legislatif saat ini. Mereka jauh sekali dari cermin representasi rakyat yang bertugas menyampaikan dan berupaya mewujudkan aspirasi rakyat. Tak lupa kan waktu mereka diam-diam rapat di hotel mewah ketika mengesahkan RUU TNI?

Pakar politik Indonesia dari Nortwestern University Chicago, Jeffrey A Winters mengatakan bahwa rakyat bisa mencabut mandatnya ketika para anggota dewan itu sudah tak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat, yaitu dengan mekanisme recall (Constituent Recall). Mereka pernah menjadi pengemis untuk mendapatkan suara kita, tapi setelah selesai pemilu, rakyat tak lagi punya kekuatan untuk menentukan. Maka dari itu penting sekali pemberian hak recall (menarik kembali) kepada rakyat. Dengan adanya pencabutan mandat ini, pemilih bisa mencabut kembali jabatan publik sang anggota dewan sebelum masa jabatannya berakhir.

Selain itu, dengan sistem recall ini masyarakat dapat terlibat secara langsung dalam pengawasan terhadap para pejabat legislatif, mekanismenya bisa dalam bentuk petisi yang diajukan kepada Badan Kehormatan (BK) DPR. Kemudian nanti mereka yang melakukan verifikasi petisi tersebut dan jika terbukti DPR disfungsi maka berlakulah ketentuan pencabutan mandat.

Sebenarnya, mekanisme recall tidak hanya bisa dalam bentuk pengajuan petisi saja, bisa juga seperti di Amerika dengan melakukan referendum, yaitu dengan cara mengumpulkan tanda tangan para senator. Setelah semua terkumpul barulah kemudian dibawa ke Badan Kehormatan (BK). Atau bisa juga seperti di Bolivia dengan mekanisme programmatic vote, yaitu ketentuan ambang batas yang harus dicapai melalui pengumpulan tanda tangan oleh para pemilih yang dikumpulkan selama 90 hari.

Jumlah ambang batas tersebut tergantung pada level atau tingkatan jabatan yang harus di recall. 15% untuk level nasional, 25% untuk level provinsi dan 30% untuk daerah kabupaten atau kota. Apabila tanda tangan sudah terkumpul sesuai ketentuan ambang batas tadi, maka dilakukan pemilihan baru. Resikonya memang menambah beban anggaran pemilu jika ini diterapkan di Indonesia sehingga perlu dikaji secara mendalam mengenai mekanisme recall seperti apa yang bijak untuk diterapkan.

Di Indonesia sendiri belum menerapkan sistem recall seperti di negara Amerika, Kanada, Bolivia dan Swiss, yang ada hanyalah sistem pergantian antarwaktu (PAW) yang mana ini hanya bersifat administratif. Ketentuan PAW terhadap anggota dewan sendiri hanya bisa dilakukan oleh partai politiknya saja dan bukannya kehendak pemilih secara langsung.

Jadi, pada pelaksanaannya justru parpol-lah yang memiliki hak recall bukan rakyat. Dan jelas ini justru menggeser sistem demokrasi kita. Kenapa? Karena menempatkan posisi parpol seolah lebih tinggi dari kedaulatan rakyat. Wajar saja, kalau para Korea-Korea (saya pinjam istilah dari Bambang Pacul) lebih takut sama ketum-ketumnya ketimbang rakyat yang memilihnya. Logika sederhananya kan rakyat yang memberi mandat, seharusnya yang bisa menarik kembali mandat tersebut juga rakyat. Tapi ya sudahlah, ini kan “Konoha”, apa sih yang tidak ada di Konoha? Semua ada kecuali kejujuran dan integritas.

Anggota PMII Kota Serang, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *