Dalam satu bulan terakhir, kita telah disuguhkan gejolak demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah. Dari mulai Jakarta, Makassar, Yogyakarta, Bandung dan kota-kota besar lainnya. Derasnya gelombang demonstrasi belakangan ini, tentu tidak ada asap kalau tidak ada api. Ini bukanlah fenomena yang muncul tiba-tiba.
Akan tetapi, jika kita cermati, poin besarnya yakni pada kurangnya rasa perhatian yang mendalam dari pemerintah terhadap masyarakat. Itu di satu sisi. Di sisi lain, negara terkesan lebih peduli terhadap kemakmuran para elit, ketimbang kesejahteraan kaum alit. Rakyat pun mulai mual. Pada akhirnya, mereka dari mulai mahasiswa, buruh, aktivis sosial, ojol, sampai emak-emak, pun berbondong-bondong turun ke jalan, dengan segala tuntutannya.
Mereka menyampaikan aspirasi, yakni terkait berbagai masalah dan kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Antara lain terkait pengangguran, pelemahan daya beli dan iklim investasi belum kondusif. Selain itu, di saat masih banyak rakyat yang kesulitan secara ekonomi, pemerintah malah memberi posisi tambahan bagi para wakil menteri menjadi komisaris BUMN, serta pemberian tunjangan perumahan yang fantastis untuk anggota DPR.
Nah, pada momentum yang sama, secara kebetulan rakyat jelata juga disuguhi perilaku elit dan pejabat publik yang kontradiktif dengan situasi ekonomi dan sosial masyarakat yang sedang cemas. Disaat PHK besar-besaran menerjang para buruh, para elit dan keluarganya malah memamerkan gaya hidup mewah. Publik juga mengecam keras penampilan para anggota DPR yang berjoget ria saat Sidang Tahunan MPR, 15 Agustus 2025.
Tak cukup sampai di situ, masyarakat juga dibikin geram dengan perilaku para politisi yang tidak mampu menjaga lisannya dengan baik. Ahmad Sahroni adalah satu contoh. Ucapan politikus Partai Nasdem itu meningkatkan eskalasi kemarahan publik. Alih-alih menanggapi dan menyerap kritik publik atas kinerja DPR secara sehat, Sahroni malah mengeluarkan pernyataan yang tak pantas, dengan menyebut orang-orang yang meminta DPR dibubarkan sebagai “orang tolol sedunia”.
Publik pun semakin geram. Kemarahan publik di media sosial beriringan dengan terjadinya demo yang meledak di mana-mana. Dan yang lebih mengerikan, rumah para politisi disatroni, harta dijarah, lalu seluruh aib pribadi digali habis-habisan untuk dipertunjukan ke khalayak. Nasib yang sama menimpa anggota DPR lainnya, yakni Uya Kuya, Eko Patrio, dan Nafa Urbach, sebagai tokoh yang terlibat “menari-nari” di gedung MPR.
Sama seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach juga mendapat kecaman publik atas pernyataannya di ruang publik. Dalam siaran langsung yang ramai beredar di dunia maya, Nafa menjelaskan tunjangan rumah Rp 50 juta bukanlah kenaikan, melainkan kompensasi atas rumah jabatan yang dikembalikan ke pemerintah. Ia juga menyinggung soal kemacetan yang kerap dialaminya saat berangkat dari rumah di Bintaro menuju kawasan Senayan.
Sontak saja, pernyataan Nafa Urbach soal tunjangan rumah anggota DPR RI menuai kontroversi. Ucapan politisi yang juga selebriti tersohor itu dinilai publik tidak sensitif dengan kondisi masyarakat. Hal ini menjadi pengingat bagi kita semua, terutama para politisi, pejabat, atau siapa saja yang sedang berada di tampuk kekuasaan, baik di level pusat atau daerah. Bahwa, tuturan yang awalnya sekadar bunyi, dapat menjelma jadi api yang membakar semua sisi kehidupannya.
Refleksi Maulid Nabi
Di sinilah, para elit penting untuk perlu merefleksikan spirit Maulid Nabi Muhammad Saw. Belajar dari sikap, ucapan, dan tindakan Nabi Saw. Kita semua tahu bahwa betapa adiluhungnya Nabi Saw. Dalam hal apa pun, di mana pun, di bidang apa pun, kepada siapa pun, Nabi Saw selalu mengedepankan sifat welas asih, bahkan kepada lawan musuh yang sering menghinanya sekalipun. Nabi Saw juga tak pernah berkata kasar dan jorok. Ia selalu mengedepankan nilai-nilai humanis.
Sang kekasih Allah SWT selalu menjaga lisannya, sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadis. Salah satunya hadis yang diriwayatkan Bukhari. Nabi Saw bersabda bahwa, keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan. Setiap dari kita, penting untuk menjaga lisan. Jika ingin selamat, maka kendalikan lisan kita. Sebab lisan diibaratkan pisau yang apabila salah menggunakannya akan melukai banyak orang.
Dalam hadis lain, disebutkan yang artinya: “Dari Abi Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia tidak menyakiti tetangganya, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia berbicara baik atau diam”. (HR. Bukhari Muslim).
Hadis di atas dengan tegas memerintahkan umat Islam untuk menjaga diri dari menyakiti orang lain termasuk perasaan orang-orang yang lemah secara ekonomi. Bahkan dalam hadis di atas Nabi saw lebih menganjurkan diam daripada berucap dengan kata-kata yang tidak baik. Lisan yang terjaga dari perkataan buruk, seperti ghibah, fitnah, menghina, dan candaan berlebihan, akan membawa keselamatan dan mendatangkan pahala besar dari Allah SWT. Ketika para politisi tidak mempunyai hal yang bermanfaat untuk disampaikan, maka bersikap diam menjadi lebih baik.
Meneladani Nabi Muhammad Saw
Sebagai hamba yang beragama dan berada dalam tataran sosial masyarakat, sudah seharusnya para pejabat publik untuk meneladani sikap Nabi Saw. dalam bertutur kata. Pernyataan yang berpotensi menyinggung masyarakat, jangan sampai muncul ke permukaan. Sebab, dalam dinamika komunikasi politik, pejabat publik memiliki peran sentral sebagai panutan bagi masyarakat.
Perlu diingat juga oleh para politisi, bahwa seseorang tidak lagi mewakili dirinya sendiri, ketika ia menjadi pejabat publik. Artinya, segala ucapan, status di medsos, dan tingkah lakunya, akan dinilai oleh publik. Setiap gestur yang ditampilkan dan setiap kalimat yang terucap memiliki implikasi yang luas baik secara politik maupun sosial. Oleh sebab itu, penting bagi seorang pejabat publik untuk menjaga etika dan komunikasi dalam membangun kepercayaan publik serta menjaga marwah kepemimpinan.
Dalam konteks teori komunikasi, fenomena ini dapat ditelaah melalui Teori Dramaturgi Erving Goffman, yang menekankan pentingnya “front stage” (panggung depan) dan “backstage” (panggung belakang) dalam interaksi sosial. Seorang pejabat publik, terutama dalam situasi resmi, berada di “area utama” di mana perilaku yang diperlihatkan harus merefleksikan profesionalitas, penghormatan dan pengendalian diri.
Pejabat publik adalah pelayan bagi masyarakat. Maka, segala tingkah lakunya harus berimplikasi pada terciptanya keharmonisan dan kedamaian di ranah masyarakat. Ini yang senantiasa Nabi Saw ajarkan pada kita. Sebagai Nabi yang diutus pemberi rahmat dan kasih sayang bagi alam semesta, bukan untuk menyakiti, nabi tidak pernah menyimpan dendam, berkata kasar, atau mendoakan keburukan meskipun disakiti dan dimusuhi oleh kaumnya.
Akhlak sang pemberi syafaat kelak bagi hambanya yang beriman di hari kiamat, sangat penuh kelembutan, pemaaf, dan sabar menjadi teladan bagi umatnya agar senantiasa menebarkan kebaikan dan kasih sayang, tidak saja kepada sesama muslim, tetapi juga bagi semua makhluk. Sekali lagi, para pejabat publik perlu belajar dari akhlak Nabi Saw.
Kalimat kotor, tidak pantas, yang malah menyulut emosi publik, agar sebisa mungkin dihindari. Ucapan yang cenderung kasar atau tidak pantas, meskipun mungkin dimaksudkan sebagai ekspresi spontan atau candaan, tetap memiliki konsekuensi serius pada citra dan legitimasi kepemimpinan, sebab ia pejabat publik.
Komunikasi pejabat publik harus merangkul, bukan menyinggung. Lisan pejabat publik harus mampu meredam keresahan, bukan yang justru memperuncing kemarahan. Mari, di bulan yang sangat mulia ini, teladanilah sikap Nabi saw dalam hal bertutur kata dan berkomunikasi. Jangan sampai satu kalimat yang keluar dari mulut politisi, mengakibatkan gejolak situasi yang tak diinginkan.
Akhlak yang mulia perlu dikedepankan oleh para pejabat publik. Dengan akhlak yang mulia, kursi empuk senayan tidak lagi dipandang sebagai simbol kemewahan, melainkan sebagai ruang pengabdian. Jika hal ini mampu diejawantahkan, rakyat tidak hanya melihat wakilnya sebagai pejabat, tetapi juga sebagai pelayan publik yang benar-benar peduli dan bisa dipercaya.









