Sebelum membahas lebih dalam, penulis akan menyampaikan apresiasi dan penghormatan yang setingginya kepada para kiai pesantren, para santri di seluruh Nusantara. Bahkan penulis, sampai saat ini juga masih menyandang status sebagai santri, dan penulis bangga dengan status ini. Tetapi, harus kita ketahui bersama, bahwa kemajuan suatu hal akan dicapai jika evaluasi dapat terus dilakukan, sedangkan evaluasi dapat hadir melalui hadirnya kritik. Jika sampai saat ini, elite agama atau pesantren tidak dapat menerima kritikan, maka jangan berharap pesantren akan mampu menghadapi tantangan zaman.
Pesantren terlahir di tengah masyarakat Muslim yang hampa akan keilmuan. Pesantren lahir tidak hanya untuk membahas tradisi keilmuan agama, tetapi juga lebih besar daripada itu, tidak jarang pesantren terlibat dalam pembangunan masyarakat, bahkan terlibat pada hal-hal yang sangat besar seperti perjuangan pada perang kemerdekaan (Resolusi Jihad 22 Oktober). Jasa-jasa para kiai dan santri dalam perjuangan merebut kemerdekaan adalah hal yang patut diapresiasi serta diingat jasanya sebagai sumbangsih terhadap perjuangan melawan penjajahan.
Namun, kehidupan terus akan tetap berjalan, zaman terus berganti, dan tantangan setiap zaman adalah hal yang pasti. Perkembangan zaman tidak dapat dihindari, tetapi tantangan itu wajib untuk dihadapi. Tujuannya adalah tiada lain sebagai jawaban dari tantangan-tantangan zaman. Berbagai tantangan zaman itu sudah tentu dapat terjawab jika pesantren memiliki pemikiran dan sikap terbuka serta adaptif terhadap kemajuan berpikir. Situasi ini yang belum dapat diterima oleh mayoritas pesantren. Sebagai contoh, mempelajari ilmu fisika, matematika, ekonomi, sosiologi, geografi, dan sebagainya dianggap tabu dan terlalu mendewakan kitab-kitab kuning yang sejatinya belum tentu mampu menjawab pertanyaan zaman ini.
Pernyataan penulis tersebut di atas, tidak hanya baru dilontarkan dan tidak hanya baru menjadi isu. Keresahan penulis juga telah disadari oleh kalangan Nahdhiyin itu sendiri. Pada Muktamar II Rabithah Ma’had Islamiyah (Perhimpunan Pesantren NU) di Magelang pada 1988. Berlangsung di dalamnya seminar bertajuk “Telaah Buku Kuning secara Kontekstual”. Dalam salah satu kesimpulannya dinyatakan bahwa sebagian isi dari buku kuning tidak lagi memadai untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru dalam kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan. Maka dari itu, para kiai dan ahli agama juga perlu menjembatani keilmuan agamanya, setidaknya terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum sebagai penunjang untuk menjawab tantangan zaman.
Hemat penulis, ketidakmampuan akan kritik terhadap kiai dan pesantren banyak dipengaruhi oleh berapa doktrin yang mana doktrin tersebut mengandung muatan pelanggengan status quo elite agama. Ancaman-ancaman tersebut bisa berupa dosa, kualat, tidak akan berkah, tidak akan bermanfaat ilmunya, dan lainnya. Suasana ini yang membuat kita seakan hidup di gereja abad pertengahan.
Dalil-dalil juga tidak lupa selalu digunakan untuk melanggengkan status quo elite agama. Perkataan “ulama” yang mengalami degradasi membuat elite agama dapat menancapkan kekuasaannya. Padahal kata ulama tidak hanya selalu merujuk kepada para ahli agama, karena ahli fisika adalah ulama fisika, ahli kimia adalah ulama kimia, ahli ekonomi adalah ulama ekonomi, ahli geografi adalah ulama geografi, ahli matematika adalah ulama matematika dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, penulis setuju dengan definisi ulama menurut Nurcholis Majid yang tidak mendegradasinya. Menurut sang cendekiawan Muslim itu, ulama adalah golongan orang yang memahami gejala-gejala alam, seperti meteorologi, flora, geologi, vulkanologi, antropologi, dan fauna. Beliau memberikan penafsiran terhadap QS. 35 ayat 27-28. Tentunya gejala-gejala alam tersebut dapat ditafsirkan melalui ilmu fisika, matematika, kimia, biologi, sosiologi, geografi, dan ilmu-ilmu pengetahuan umum yang dianggap tidak ada manfaatnya oleh kalangan Islam tradisionalis.
Pensakralan terhadap ulama dan pesantren sedikit banyak memengaruhi posisi-posisi publik bahkan jabatan-jabatan penting di pemerintahan pusat. Disadari atau tidak, kultur pesantren dan kiai dapat memengaruhi posisi keluarga. Hal ini dapat menyebabkan Nepotisme yang dimaklumi, nepotisme yang dijaga, dan nepotisme yang tetap dibiarkan. Tidak jarang pula, kesalahan-kesalahan dapat dibiarkan dan bahkan dijaga atas dasar yang bersangkutan adalah keluarga pesantren, anak kiai yang patut untuk dijunjung tinggi dan disakralkan. Keadaan ini yang membuat sulitnya penegakan hukum dan tegaknya prinsip equality before the law.
Mungkin, apabila sifat nepotisme ataupun feodalisme yang tidak mengandung unsur pidana hanya berada dalam ranah privat pesantren, maka tidak akan menjadi masalah karena pendirian dan pengembangan pesantren itu adalah kawasan privat sang kiai. Tetapi hal ini akan menjadi permasalahan jika sampai kultur seperti itu masuk dalam ranah publik yang modern. Sebagaimana kita lihat tokoh-tokoh darah biru NU yang masih diperhitungkan untuk menempati posisi-posisi kunci, seperti Muhaimin Iskandar dan Saifullah Yusuf.
Kasus yang sedang terjadi, harus menjadi tamparan keras terhadap pesantren, bagaimana pesantren harus mengevaluasi diri terhadap cara berpikir dan bagaimana memperlakukan status quo elite keagamaan. Jangan sampai karena seseorang adalah bagian dari kiai, bagian dari “gus”, bagian dari elite keagamaan dan pesantren, ketika melakukan tindak pidana didiamkan begitu saja. Apalagi jika sampai tokoh yang disakralkan itu terlibat dalam kasus korupsi haji, apakah masih perlu berdiam diri tanpa mengevaluasi?









