Gus Dur, Kedung Ombo, dan Krisis Keberanian Moral di Indonesia

Kegaduhan politik dan krisis moral keteladanan akhir-akhir ini menjadi makanan yang paling banyak dikonsumsi publik. Dengan itu, memori tentang Gus Dur hadir memberi kesejukan yang jarang kita temui. Setiap kali ada kebijakan yang merugikan rakyat kecil, setiap kali aparat bertindak represif, dan setiap kali hukum kehilangan keberanian moral, nama Gus Dur selalu disebut—bukan hanya romantisme masa lalu, tapi sebagai pengingat tentang sosok pemimpin yang berani mengambil resiko demi kemanusiaan.

Indonesia hari ini sedang menghadapi masalah serius: krisis integritas politik, merosotnya kualitas kepemimpinan, dan hilangnya figur negarawan yang menjadikan keberpihakan pada rakyat sebagai prinsip, bukan strategi pencitraan. Pemimpin di zaman ini lebih sibuk menjaga elektabilitas daripada menjaga hati nurani. Mereka juga lebih sibuk membangun citra, daripada membangun keberanian moral. Dalam lanskap politik seperti itu, sosok seperti Gus Dur bukan hanya langka—ia terasa hampir mustahil.

Itulah sebabnya, perlu kiranya menengok kembali peristiwa Kedung Ombo. Bukan hanya sekadar membongkar album nostalgia, tapi melihat seorang teladan. Menengok bagaimana Gus Dur menentang Orde Baru dan memilih berdiri bersama rakyat yang tertindas, kita perlu mengambil contoh dari kisah-kisah seperti ini untuk menagih kembali standar etika politik yang nyaris hilang dari republik ini.

Mengurai Kembali Peristiwa Kedung Ombo

Kedung Ombo adalah catatan kelam pembangunan Orde Baru. Pada akhir 1980-an, pemerintah merencanakan pembangunan waduk raksasa yang akan menelan 37 desa dan 7 kecamatan di tiga kabupaten—Grobogan, Sragen, dan Boyolali, Jawa Tengah. Pembangunan waduk seluas 6.167 hektare ini diperkirakan mengusir 5.391 kepala keluarga atau 25.000 jiwa.

Warga diminta meninggalkan tanah mereka atas nama “kepentingan nasional”, sebuah frasa yang terdengar mulia tapi menyimpan kekerasan struktural di dalamnya. Harga ganti rugi yang sangat rendah, intimidasi aparat, hingga tekanan psikologis membuat banyak keluarga hidup dalam ketidakpastian.

Masyarakat Kedung Ombo tidak hanya kehilangan tanah, tapi juga diseret masuk ke dalam pengalaman traumatis. Pemerintah menggunakan intimidasi berupa tekanan mental, penyesatan informasi, pemberian label komunis, hingga tindakan represif. Negara, yang seharusnya hadir sebagai pelindung, justru berdiri sebagai penguasa yang dingin. Pembangunan menjadi mesin raksasa yang melindas manusia, sementara rakyat kecil dibiarkan berjuang sendirian.

Kasus Kedung Ombo memperlihatkan ironi, ketika pembangunan dianggap keharusan, banyak manusia kerap dikorbankan. Masalah seperti ini masih sering terjadi hingga kini, maka di sinilah kritik menjadi penting. Sebab pembangunan tanpa etika bukanlah prestasi, melainkan kekerasan yang dibungkus jargon kemajuan.

Keberanian Berdiri Bersama Rakyat yang Tertindas

Dalam situasi mencekam itu, sedikit sekali tokoh yang berani berdiri di sisi warga. Banyak pejabat memilih diam. Banyak intelektual memilih aman. Banyak tokoh agama tidak bicara. Tetapi Gus Dur hadir, tidak sebagai pejabat, tidak sebagai politisi, melainkan sebagai manusia yang merasa luka warga Kedung Ombo adalah bagian dari luka kemanusiaan.

Gus Dur tidak sekadar datang untuk menunjukkan empati. Ia membela warga Kedung Ombo secara terang-terangan, mengkritik negara dan aparatnya dengan bahasa yang lugas, dan menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh menginjak martabat manusia. Inilah keberanian moral yang kini semakin sulit ditemukan. Gus Dur mengambil posisi yang paling berisiko pada masa itu—berseberangan dengan Orde Baru.

Langkah itu bukan sekadar tindakan politis, tetapi tindakan filosofis. Gus Dur memahami bahwa kemanusiaan lebih tinggi daripada kekuasaan. Manusia mendahului negara, bukan sebaliknya. Pembangunan tidak punya makna jika meniadakan manusia. Dan yang paling penting adalah keberpihakan pada yang lemah.

M. Hamid dalam buku Gus Gerr: Bapak Pluralisme & Guru Bangsa (2010) menyebutkan bahwa Gus Dur dalam hidupnya memegang tiga prinsip: akan selalu berpihak pada yang lemah, anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun, dan tidak pernah membenci orang sekalipun disakiti. Gus Dur adalah sosok kontroversial yang banyak dicintai.

Sayangnya, proyek Kedung Ombo terus dipaksakan oleh pemerintah, hingga proyek ini selesai pada tahun 1991. Namun, keberanian Gus Dur tidak sia-sia. Kasus Kedung Ombo menjadi sorotan nasional dan internasional. Warga mendapatkan ruang untuk menyuarakan keadilan. Kasus ini ikut menggerus legitimasi moral Orde Baru dan membuka mata publik bahwa pembangunan yang menyingkirkan manusia tidak layak disebut keberhasilan.

Keberanian Gus Dur diuraikan oleh Greg Barton, dalam buku Biografi Gus Dur (2007), sebagai berikut:

“Gus Dur menyarankan agar sejumlah teman di Ornop (organisasi non-pemerintah) untuk menulis surat kepada Bank Dunia dan memberikan kepadanya garis besar rasa prihatin mereka dan meminta agar ia menunjukkan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengelola proyek-proyek seperti itu. Karena kritiknya ini, Gus Dur sampai dipanggil menghadap Soeharto dan dituntut minta maaf. Namun, Gus Dur bergeming.”

Kasus Kedung Ombo telah memperlihatkan sisi paling jernih dari kemanusiaan Gus Dur. Ia tidak peduli apakah pembelaannya menguntungkan dirinya atau tidak. Ia hanya peduli bahwa ada rakyat ditindas, dan itu cukup baginya untuk bertindak dengan mengambil segala resiko.

Belajar Keberanian Moral di Tengah Krisis Kepemimpinan

Peristiwa Kedung Ombo bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah cermin besar bagi Indonesia hari ini. Kita hidup pada zaman ketika negara kembali bermain-main dengan kekuasaannya, ketika pembangunan dianggap sakti, dan nasib rakyat kecil sering menjadi daftar paling bawah. Banyak kebijakan lingkungan, proyek strategis nasional, hingga eksploitasi sumber daya alam menggambarkan bahwa paradigma lama—yang menempatkan pembangunan di atas manusia—masih mengendap kuat dalam birokrasi dan politik kita.

Dalam situasi itu, mengingat Gus Dur bukanlah nostalgia. Ia adalah kebutuhan etis. Sebab sosok seperti Gus Dur mengajarkan bahwa keberanian moral tidak bisa dinegosiasikan. Negara yang benar bukanlah negara yang besar secara fisik, tetapi negara yang besar secara nurani. Negara yang beradab adalah negara yang menjaga rakyatnya, bukan mengorbankannya.

Kita membutuhkan pemimpin yang berani berkata “tidak” ketika kekuasaan menyimpang. Kita butuh pejabat yang melihat rakyat bukan sebagai angka statistik. Kita butuh keberanian untuk mengakui bahwa pembangunan tanpa keadilan adalah bentuk kekerasan yang paling sistematis.

Maka, belajar dari Kedung Ombo berarti belajar mengembalikan etika ke dalam politik. Belajar menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan. Belajar menjadikan keberanian moral sebagai fondasi kepemimpinan. Karena pada akhirnya, republik ini tidak akan bertahan hanya dengan pertumbuhan ekonomi; ia hanya akan bertahan jika menjunjung martabat manusia.

Dan itulah warisan Gus Dur: bukan sekadar kata-kata bijak, tetapi keberanian nyata untuk berdiri di sisi mereka yang tak punya suara. Warisan itu layak kita hidupkan kembali—sebelum negara ini kehilangan arah sepenuhnya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Surakarta, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *