Berangkat dengan Keraguan, Pulang dengan Tujuan: Sebuah Catatan Halaqah Kubra KUPI

Tanggal 27 November, aku menerima sebuah undangan. Nama acaranya cukup membuatku berhenti sejenak, Halaqah Kubra Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), diadakan pada 12–14 Desember di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Alih-alih merasa bangga, reaksi pertama yang muncul adalah keraguan. Istilah ulama terasa sangat besar, terlalu mapan, dan sejujurnya, terasa jauh dari cara aku melihat diriku sendiri. 

Aku bukan siapa-siapa dalam gambaran keulamaan yang telah terbentuk dalam pikiranku. Maka, rasa ragu itu sangat wajar. Namun, ada satu perasaan yang akhirnya mengalahkan ketidakpercayaan diri itu, yaitu rasa ingin tahu. Dan seperti banyak perjalanan penting dalam hidupku, langkah ini berawal dari rasa penasaran yang tak kunjung mereda. 

Pada tanggal 11 Desember, aku berangkat dari Makassar menuju Yogyakarta membawa koper sederhana dan pikiran yang penuh pertanyaan. Siapa sebenarnya KUPI? Apakah ia sebuah organisasi, jaringan, atau hanya sekadar forum pertemuan? Lebih jauh lagi, apakah aku benar-benar bagian dari KUPI, atau hanya seseorang yang kebetulan diundang ke tempat yang terasa “terlalu tinggi”? 

Aku tiba di halaqah dengan pengetahuan yang sangat sedikit tentang KUPI. Bahkan, bisa dibilang, aku hadir lebih sebagai pencari makna daripada seorang peserta yang sudah paham arah. Namun, justru di situlah momen penting itu terjadi. 

Sejak hari pertama, Halaqah Kubra mengurai banyak prasangkaku. Tidak ada suasana persaingan siapa yang paling alim, tidak ada panggung keulamaan yang dipenuhi klaim dan legitimasi simbolik. Yang ada adalah ruang refleksi yang dinamis, serius tetapi tidak menggurui. Di sini, keulamaan tidak dianggap sebagai status, melainkan sebagai usaha dan tanggung jawab. 

Secara perlahan, aku menyadari bahwa KUPI tidak terfokus pada mendefinisikan ulang ulama demi wacana. KUPI sedang berusaha memindahkan fokus keulamaan, dari menara gading ke pengalaman hidup, dari teks yang sering kali keras ke realitas yang menyakitkan, dari suara tunggal menjadi suara yang beragam. Pengalaman perempuan, yang sering dianggap pinggiran dalam diskursus agama, justru menjadi sumber pengetahuan yang sah dan penting. 

Nilai-nilai KUPI seperti ma‘ruf (baik), mubadalah (kesalingan), dan keadilan hakiki awalnya terdengar berat bagiku. Namun, di halaqah, nilai-nilai itu tidak sekadar menjadi konsep. Ia hidup dalam cara orang berdiskusi, mendengarkan, dan berbeda pendapat. Mubadalah, misalnya, tidak hanya dibahas sebagai relasi ideal antara laki-laki dan perempuan, melainkan sebagai etika hidup bersama, saling menjaga, saling bertanggung jawab, dan saling memanusiakan. 

Di dalam diskusi, aku mendengar banyak kisah pendampingan korban kekerasan, pekerjaan sunyi di komunitas akar rumput, hingga perjuangan panjang melawan tafsir agama yang menindas. Semua itu diakui sebagai bagian dari kerja keulamaan. Di titik ini, aku tersadar bahwa mungkin selama ini aku sudah berada di jalur yang sama, tetapi tidak pernah berani menyebutnya sebagai kerja keulamaan. 

Yang paling memberiku kekuatan adalah pemahaman bahwa KUPI tidak bertanya “siapa yang layak disebut ulama”, tetapi “bagaimana nilai keulamaan diimplementasikan”. Tidak ada klaim kebenaran mutlak. Yang ada justru keberanian untuk terus merenungkan diri, membaca kembali konteks, dan mengakui bahwa belajar adalah proses yang berlangsung sepanjang hidup.

Di tengah keadaan bangsa yang sering kali dipenuhi oleh perpecahan, penggunaan agama untuk kepentingan politik, dan kurangnya rasa empati, KUPI terasa sebagai sebuah tempat untuk bernapas. Islam ditawarkan bukan sebagai alat untuk menghakimi, melainkan sebagai kekuatan untuk menjaga kehidupan. Spiritualitas tidak dipisahkan dari dukungan sosial. Iman tetap hadir dalam kenyataan.

Saat halaqah berakhir pada 14 Desember, aku kembali dengan perasaan yang berbeda dibandingkan saat berangkat. Rasa ragu itu tidak sepenuhnya lenyap dan mungkin memang tidak perlu dihilangkan. Ia berubah menjadi kesadaran baru; menjadi bagian dari KUPI bukan hanya tentang status sebagai ulama, tetapi berkaitan dengan komitmen terhadap keadilan, kemanusiaan, dan keberlanjutan.

Halaqah Kubra ini tidak memberikan jawaban yang definitif. Namun, ia memberikan petunjuk. Dan untukku, itu sudah sangat memadai.

Penggerak Komunitas GUSDURian Makassar, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *