Zero Waste ala Benowo: Dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah hingga Slogan “Bonek Wani Resik”

Apa yang Anda ingat dari nama daerah Benowo di Surabaya?

Gunungan sampah! Ya, Anda benar. Benowo identik dengan lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) alias tempat dikumpulkannya sampah se-Surabaya. Beroperasi mulai tahun 2001, kini TPA Benowo sudah dilengkapi dengan fasilitas PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) Benowo. Sebuah terobosan ide memanfaatkan olahan gas metana sampah menjadi energi listrik yang berguna bagi masyarakat.

Kabarnya, PLTSa ini mampu menghasilkan listrik hingga 9 megawatt dari 1000 ton sampah yang terolah per harinya. Itu berarti sudah mengurangi sekitar 25% dari total jumlah 4000 ton sampah yang dihasilkan oleh kota Surabaya tiap harinya. Belum sepenuhnya menghabiskan, namun setidaknya bisa mengurangi. Masalah sampah tidak pernah mudah untuk diselesaikan. Ini menjadi ciri khas kota urban nan besar seperti Surabaya. Pemerintah kota Surabaya juga sedang gencar melakukan kampanye akan pentingnya tindakan 3R (Reduce, Reuse, Recycle) mulai dari lingkup terkecil, rumah tangga.

Tunggu! Apakah hanya TPA dan PLTSa saja yang bisa kita ingat akan kecamatan Benowo?! Sepertinya ada yang tertinggal.

Gelora Bung Tomo! Ya, tepat sekali. Bagaimana kita bisa terlupa akan salah satu ikon kota Surabaya ini. Apalagi Gelora Bung Tomo juga menjadi stadion kandang dari Persebaya Surabaya, klub kebanggaannya arek-arek Suroboyo. Stadion kebanggaan ini berdiri tepat di sebelah TPA dan PLTSa Benowo. Terkadang, ada rasa bangga di dada kala mengetahui bahwa stadion ini, konsumsi listrik untuk menerangi lampu-lampu yang ada di dalamnya, menggunakan listrik dari hasil PLTSa Benowo tadi.  

Di dalam stadion sendiri, Bonek, suporter pendukung Persebaya juga mengkampanyekan slogan “Bonek Wani Resik”. Sebuah gerakan kampanye agar Bonek turut menjaga kebersihan Gelora Bung Tomo. Ibarat sebuah rumah sendiri, di mana kita tiap hari tinggal di dalamnya, kita tak ingin rumah ini menjadi kotor.

Boleh saja stadion kebanggaan yang berdampingan dengan tempat pembuangan akhir Benowo yang begitu iconic dengan gunungan sampah yang begitu tinggi dan PLTSa Benowo, namun ada kewajiban bagi kita semua untuk menjaganya tetap bersih. Budhal resik, mulih resik. Berangkatnya bersih, pulangnya pun juga harus bersih. Walau tak benar-benar membawa pulang sendiri sampah yang dihasilkan, namun setidaknya Bonek tertib untuk membuang sampah pada tempatnya.

Tak jarang, bahkan kalau boleh dibilang sering, selalu ada kegiatan dari rekan-rekan Bonek untuk turut “menyapu” sisa-sisa sampah yang belum terbuang dan kemudian membuangnya pada tempatnya setelah pertandingan. Stadion memang memiliki petugas kebersihan yang dipekerjakan di sana, namun tentu saja kita tidak ingin sampah yang kita hasilkan saat kita menyaksikan pertandingan akan menjadi beban para petugas kebersihan sepenuhnya. Tenaga mereka terbatas sekali jumlahnya, sedangkan jumlah sampahnya luar biasa banyak, apalagi stadion ini luas sekali.

Dalam hal ini, kita para Bonek juga masih mengalami beberapa kendala pada praktiknya. Dalam kampanyenya, tertera ajakan buat membawa sendiri botol air minum yang bisa digunakan kembali untuk menggantikan botol sekali pakai yang akan menambah jumlah sampah, ternyata kontraproduktif dengan peraturan keamanan yang tidak mentolelir adanya botol yang masuk ke tribun.

Solusi yang ditawarkan terkadang membuat kita tertawa sendiri. Di sini, panitia meminta kita memindahkan air yang ada di botol tadi ke kantung-kantung plastik sekali pakai, lantas meminumnya menggunakan sedotan. Seperti yang kita ketahui sendiri, kantung plastik sekali pakai dan sedotan plastik, setelah terpakai dan menjadi sampah, termasuk golongan sampah yang sulit terurai. Sebuah paradoks yang perlu dipikirkan lagi jika semangat kita adalah zero waste dan reduce, reuse, recycle. Tanggung jawab kita tidak hanya sekedar membuang sampah pada tempatnya, namun juga mengurangi potensi sampah yang mungkin terjadi/dihasilkan.

Ada juga wristband ticket atau tiket gelang, yang selama ini begitu dibanggakan oleh para Bonek ketika mendapatkan tiket. Entah itu di-upload untuk dijual lagi, dipamerkan di story Instagram, status Whatsapp, bahkan di-tiktok-kan untuk menunjukkan sebuah raihan kebanggaan. Alasannya adalah… ya memang untuk dipamer-pamerkan. Seperti yang kita tahu, mendapatkan tiket pertandingan Persebaya itu susahnya minta ampun.

Berapa ya biaya untuk mencetak wristband ticket seperti ini? Saya mencari tahu bahwa tiket ini berbahan vinyl elmo, anti air, dan tidak mudah sobek. Di beberapa toko online disebutkan tiket semacam ini mempunyai ongkos produksi kurang lebih sekitar 600 rupiah per lembarnya. Apabila kapasitas GBT itu mencapai 45.000 penonton, maka jumlah yang harus dikeluarkan manajemen untuk mencetak tiket adalah sekitar 27 juta rupiah! Bukan angka yang kecil, apalagi nantinya juga tiket-tiket ini akan berakhir di TPA Benowo juga. Menjadi sampah.

Yang kembali menjadi paradoks adalah keberadaan barcode yang tertera pada tiket. Melalui barcode itulah yang menjadi keabsahan penonton agar bisa diijinkan masuk ke stadion. Angan saya kembali membayangkan, alangkah baiknya jika barcode itu cukup dikirim ke email kita setelah kita resmi membeli tiket secara online.

Ujung-ujungnya sama, dari barcode di email itulah juga yang akan dipindai oleh alat pemindai di pintu-pintu masuk stadion saat kita menunjukkan layar smartphone kita pada petugasnya. Bedanya dengan tiket fisik berupa wristband ticket ber-barcode tadi berwujud fisik, memakan biaya yang besar, dan menjadi sampah. Jadi sebenarnya perlu ataukah tidak tiket fisik ini?

Logika saya berkata tidak. Namun saat mengingat obrolan dengan beberapa rekan, yang rekannya menjadi staf di store-store resmi milik klub, ternyata pencetakan tiket secara fisik yang harus ditukarkan pada store-store tersebut pada hari yang ditentukan, bertujuan agar orang mau berbelanja di store saat menukarkan tiket online ke tiket fisik.

Serba repot juga ya?

Di sini saya juga tidak ingin menyalahkan manajemen jika menggunakan strategi pemasaran seperti itu. Wajar. Bukankah store juga menjadi tumpuan pemasukan klub di luar tiket pertandingan, match fee, dan hak siar tayangan langsung?

Saya belum melakukan riset apakah biaya cetak tiket yang seharusnya bisa dihemat tadi dengan tetap menggunakan wujud digital bisa tertutup oleh penjualan merchandise saat penonton menukarkan tiketnya ke store-store di mana tiket fisik tadi ditukarkan. Saya hanya berharap klub kebanggaan saya ini turut juga menggelorakan gerakan zero waste dalam menjalankan roda kehidupan klub. Bukan Bonek saja, namun manajemen juga wajib untuk melakukannya. Kita bersama, bisa!

Alumnus Creator Academy 2022 Seknas Jaringan GUSDURian.