Masjid sebagai Ruang Merayakan Keberagaman

Awal Januari 2023 lalu, Komunitas GUSDURian Bonorowo Tulungagung merayakan Haul Gus Dur ke-13 dengan menggelar acara Music for Peace. Kegiatan ini merupakan ikhtiar bersama untuk selalu menegakkan nilai-nilai Gus Dur, salah satunya adalah menjaga perdamaian dan kemanusiaan dalam kreasi keberagaman.

GUSDURian Tulungagung tentu tidak sendirian dalam acara tersebut. GUSDURian berkolaborasi dengan Komunitas Pemuda Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat (GKJW) Tulungagung yang perayaannya juga digelar di dalam gereja. Hal ini bukanlah kali pertama GUSDURian Tulungagung berkolaborasi dengan komunitas pemuda kristiani dalam menggelar sebuah acara. Sebelumnya, GUSDURian Tulungagung juga pernah membuat acara kolaborasi yaitu Dialog Kebangsaan yang membahas radikalisme dalam dunia pendidikan.

Dalam Music For Peace, acara diisi oleh orator Akhol Firdaus yang membawakan pembahasan berbobot terkait fenomena toleransi di Indonesia. Materi toleransi tersebut direpresentasikan melalui mini album dan paparan beliau mengenai realita buram: betapa masih banyaknya permasalahan intoleransi yang menyasar kelompok minoritas. Cak Akhol, sapaan akrabnya, menjelaskan terkait banyaknya keberagaman yang hadir tidak lantas memudahkan toleransi itu tumbuh menjalar.

Cak Akhol menyampaikan bahwa perayaan haul yang digelar di GKJW terlihat jelas corak keberagaman yang meliputinya. Para hadirin terlihat luwes dalam mengenakan atribut pakaian mereka, bahkan beberapa orang tampak tak membawa identitas tertentu yang melekat. Umat muslim ada yang berpakaian kejawen, umat kristiani mengenakan atribut layaknya santri tulen, dan beberapa yang lain berpakaian mencirikan komunitasnya.

Dari keragaman yang mewarnai ini, sembari melihat realita yang terjadi, memunculkan refleksi dari Cak Akhol. Beliau melontarkan sebuah pertanyaan, “Mengapa selama ini masjid jarang terlihat untuk terlibat perayaan yang mengusung keberagaman seperti dalam acara yang diselenggarakan di GKJW ini?”

Barangkali sebagian dari kita tak setuju dengan refleksi ini. Namun, kita juga mesti mencoba menyadari, dari keberagaman yang jamak hadir ini, apakah toleransi telah menjalar sampai tempat-tempat ibadah, dalam hal ini masjid? Cak Akhol menjawab refleksi ini dengan menyatakan ‘ragu’.

Masjid umumnya kita ketahui sebagai tempat ibadah sekaligus ruang berkumpulnya umat Islam, tapi belum sepenuhnya ramah menampung keberagaman yang hadir dalam sebuah perayaan. Namun, sampai sejauh ini kita juga patut mempertanyakan, bagaimana relasi dan peran masjid ikut serta menjadi tempat perayaan antarumat beragama?

Belajar dari Riwayat Praktik Hidup Nabi

Menanggapi pertanyaan di atas, kita bisa belajar dari membaca riwayat lisan maupun praktik hidup Nabi Muhammad Saw yang menunjukkan keramahan kepada nonmuslim. Nabi sendiri mempraktikkan bahwa toleransi dekat dengan kehidupan beliau. Piagam Madinah menjadi salah satu sejarah perjanjian Nabi Muhammad Saw yang membuat beliau menyadari bahwa Madinah merupakan kota yang plural dengan berbagai bentuk suku, kepercayaan, dan agama.

Demi terciptanya ketentraman dan rasa aman, Piagam Madinah ini menjadi solusi yang kandungannya mengatur hubungan antarsemua pihak, agar masing-masing dapat melaksanakan agama, kepercayaan, dan tradisi tanpa diganggu dan saling tolong menolong saat masa-masa sulit.

Selain Piagam Madinah, ada pula riwayat yang menceritakan terkait izin Nabi kepada umat kristiani untuk melakukan kebaktian di Masjid Nabawi. Menurut Grand Syekh Al-Azhar, Ahmad ath-Thayyib, beliau menguraikan dalam bukunya Al-Kalim ath-Thayyib bahwa peristiwa izin Nabi Muhammad bagi delegasi Najran untuk melakukan kebaktian di masjid telah membuat Syekh Ahmad ath-Thayyib diundang untuk makan dan salat di Gereja Swiss. Mereka menyambut dengan menyediakan ruangan untuk beliau melaksanakan salat di sana.

Ulama besar Ibnu Katsir juga menorehkan sejarah praktik toleransi dalam kitab berjudul Al-Bidayah wa an-Nihayah. Diceritakan bahwa Umat Islam dan Nasrani pernah beribadah dalam satu gedung dan masuk pada satu pintu yang sama. Umat kristiani melakukan kebaktian dengan mengarah ke barat dan umat Islam ke arah Ka’bah. Praktik ini berlangsung selama 70 tahun, dan akhirnya berpisah dengan kesepakatan kedua pihak. Sejak itu gedung tersebut menjadi masjid yang dikenal dengan Masjid al-Umawy yang dibangun khusus sebagai masjid oleh Al-Walid bin abdul Malik yang saat itu menjadi penguasa Bani Umayyah.

Riwayat Nabi yang telah disebutkan di atas menunjukkan wujud toleransi dalam bidang keagamaan. Dalam hal lain misalkan, pada zaman Nabi tercermin keterlibatan penganut berbagai agama dalam peristiwa suka-duka yang mengiringi mereka. Mereka saling tolong menolong dan mengikat tali persaudaraan dengan menghadiri beragam perayaan, baik perayaan perkawinan maupun kematian untuk menyampaikan ungkapan bela sungkawa atau beberapa macam bantuan.

Maka dari itu, dalam perayaan antarumat beragama seharusnya dapat diselenggarakan secara terbuka di mana pun dan melibatkan siapa saja. Sebagai refleksi bersama umat beragama, tempat-tempat ibadah seharusnya dapat membuka ruang menjadi tempat belajar tanpa membedakan suku, agama, maupun status sosial. Pun, jangan cukup hanya menggelar ibadah dan pengembangan intelektualitas dalam satu ruang saja. Sementara yang kita perlukan adalah membuka ruang untuk semua orang yang tulus ingin merayakan keberagaman itu sendiri.

Edukasi sebagai Solusi

Menurut, Syekh Ahmad ath-Thayib, kisah yang telah disebutkan di atas merupakan wujud kerohanian yang begitu nyata, serta membuktikan bahwa jika pemeluk agama terbebaskan dari sifat tercela tentu akan melahirkan cinta kasih dan toleransi, di mana pun dan apa pun kepercayaan mereka.

Lebih jauh, kita harus mengambil tindakan sebagai wujud dari refleksi, yakni perlu adanya edukasi nyata untuk masyarakat. Misalnya, di beberapa tempat ibadah, penggerak masjid atau komunitas agama dan lainnya bersama-sama ­mengadakan edukasi kepada jemaah. Hal ini dapat dilakukan saat khutbah atau pengajian. Selain itu pendekatan lain juga perlu dilakukan untuk mengayomi seluruh jemaah. Edukasi ini bertujuan agar tidak melarutkan kendala yang sudah terjadi, seperti fanatisme yang berlebihan, intervensi dari salah satu aliran, dan lemahnya pemahaman jemaah tentang keagamaan dan toleransi.

Kemudian, apabila mendapat ajakan atau undangan dari antarumat beragama dianjurkan untuk kita memenuhi undangan tersebut supaya tali silaturahmi dan kemanusiaan dapat saling terhubung dan menghindari indikasi perpecahan.

Dalam hal ini kiranya saya dapat mengutip ungkapan M. Quraisy Shihab dalam bukunya berjudul Toleransi, bahwa, “Toleransi bukanlah pemberian yang mulia kepada yang hina, tapi ia adalah kebutuhan semua pihak dan manfaatnya dapat diraih oleh semua pihak. Lebih-lebih jika kita mau melangkah dengan melakukan aneka kegiatan bersama dan menyadari bahwa kita semua adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan.”

Penggerak GUSDURian Tulungagung, Jawa Timur.