Social Media

Gus Dur dan Lincoln: Tentang Kemanusiaan dalam Terang “Emancipation”

Pembicaraan mengenai problem kemanusiaan adalah hal yang tidak pernah selesai dibahas dalam keseharian manusia itu sendiri. Sebab pada kenyataannya persoalan itu selalu ada dan membayangi hidup manusia. Topik ini bahkan menghadirkan ruang yang sangat komplit untuk diperhatikan secara serius. Kemanusiaan di sini tidak hanya berkisar pada produk abstraktif a la konsep-konsep deduktif tentang manusia sebagai makhluk sosial dan sekitarnya saja.

Kemanusiaan merupakan wujud dan kehadiran dari relasi-relasi antarmanusia yang memandang satu sama lain sebagai sesamanya yang layak dan harus dihormati. (Riyanto, 2015) Hal ini telah menjadi pusat perhatian Gus Dur selama hidupnya. Gus Dur tidak pernah lelah memperhatikan hal yang berkaitan dengan martabat manusia.

Bagi Gus Dur, semua manusia tanpa embel-embel apa pun adalah ciptaan Tuhan yang setara. Maka menurut Gus Dur, penghormatan yang mendalam akan manusia adalah tindakan praksis keberimanan setiap insan akan Tuhan yang diimani. Dengan kata lain, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia dalam segala sisi kehidupan adalah aktualisasi iman kita akan Tuhan yang Maha Esa. (Ridwan, 2019)

Tindakan Gus Dur ini dahulu kala menjadi perhatian salah satu tokoh terkemuka Amerika Serikat, Abraham Lincoln. Peran Lincoln dalam memperjuangkan kemanusiaan tampak dalam usahanya untuk membebaskan kaum kulit hitam yang ditindas, diperbudak, dan diperlakukan secara tidak manusiawi pada waktu itu. Perjuangan itu nyata dalam suatu keputusan substansial dalam ruang kemanusiaan yang disebut dengan Proclamation of Emancipation.

Deklarasi itu dilakukan pada tahun 1863 yang bermaksud untuk membebaskan kaum kulit hitam dari berbagai penindasan. Hal ini digambarkan dengan jelas dalam film yang dirilis pada 2022 yang lalu dengan judul Emancipation. Film yang diambil dari kisah nyata ini menggambarkan dengan jelas perjuangan kaum kulit hitam dalam menghadapi “neraka buatan manusia” yang berkuasa pada saat itu. Penderitaan itu dialami oleh karena persepsi yang buruk terhadap sesama manusia.

Film ini juga menunjukkan bagaimana perjuangan Lincoln dalam merebut harkat dan martabat manusia dari keganasan kaum kulit putih yang menempatkan harkat dan martabat manusia di bawah baja pembentuk rel kereta api. Kerja paksa dilakukan semata-mata untuk keuntungan kaum penindas. Mungkin sedikit keuntungan dari mereka karena dapat bertahan hidup. Namun kiranya itu pun tidak sepenuhnya dibenarkan, karena buktinya banyak sekali yang meninggal karena kelaparan dan beban yang harus mereka pikul.

Kepedihan manusia karena kekuasaan buatan kaum kulit putih diperparah lagi oleh persepsi yang buruk atas mereka. Mereka dipandang sebagai orang-orang yang mungkin akan menguasai segalanya jika tidak secepatnya dicegat atau bahkan dimusnahkan sejak dini. Pemikiran ini bahkan menjadi bahan doktrin bagi para orang tua terhadap anak-anak.

Persoalan kemanusiaan seperti ini kiranya masih ada hingga saat ini. Di Indonesia, persoalan kemanusiaan pun tak luput dari keseharian manusia Nusantara. Mungkin tidak lagi tentang pengekangan ras. Namun, masih banyak soal ketidakadilan antarkelompok yang satu dengan yang lainnya dalam hal pelaksanaan keagamaan, soal upah pekerja, dan lain sebagainya. Tidak jarang di tengah kekayaan hutan Kalimantan misalkan, warga setempat mendapatkan ketidakadilan karena tanah mereka direbut dengan paksa. Atau pelarangan untuk melaksanakan ibadah masih menjadi problem hangat di tanah air ini.

Inilah yang memantik Gus Dur selama hidupnya untuk terus berjuang memperhatikan mereka yang kerap kali diperlakukan tidak adil oleh kelompok yang mengklaim diri penguasa. Adapun persepsi yang buruk terhadap sesama manusia juga masih menjadi persoalan riil di negeri ini.

Film Emancipation membuka mata dunia tentang resahnya manusia tatkala dikekang dalam ruang perbudakan. Belajar dari Abraham Lincoln bagaimana ia memperjuangkan eksistensi harkat dan martabat manusia, meski kerap kali ia harus menerima perlawanan dari kelompok-kelompok yang sedang menutup mata hatinya terhadap kebenaran sejati. Lincoln bahkan harus menerima akhir hidup yang tragis demi apa yang disebut dengan kebenaran sejati itu. Ia dibunuh.

Bukankah hal yang sama juga dialami oleh Gus Dur? Gus Dur tiada hentinya berjuang melawan kebobrokan berpikir dan kelakuan manusia yang meniadakan sesamanya yang semartabat. Dan, ia pun tidak jarang menerima perlawanan bahkan pengkhianatan dari manusia yang menolak kebenaran sejati itu. Perjuangan Gus Dur kemudian meninggalkan konsep yang kiranya tidak akan habis didalami agar menjadi pedoman bahkan pemantik bagi setiap orang untuk tiada hentinya memperjuangkan mereka yang tidak mampu berjuang sendiri karena kekangan yang begitu kuat.

Gus Dur meninggalkan konsep tentang kemanusiaan yang terurai dalam apa yang disebut dengan Sembilan Nilai Utama Gus Dur. Kemanusiaan ditempatkan pada bagian kedua setelah Ketauhidan. Di sini Gus Dur secara mendalam melihat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi.

Bagi Gus Dur kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Sekali lagi kemanusiaan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada konsep-konsep abstrak yang berkisar pada argumen-argumen tentang manusia sebagai zoon politicon dan sekitar itu. Namun, kemanusiaan lebih daripada itu. Kemanusiaan adalah soal relasionalitas aku dengan yang lainnya (liyan).

Dengan kata lain, kemanusiaan menjadi wujud keberimanan manusia pada Tuhan yang Maha Esa. Jika manusia menyatakan diri beriman kepada Tuhan, maka perwujudan nyata yang pertama-tama perlu diperhatikan adalah perhatiannya akan manusia yang lain ketika Aku berelasi dengannya. Cetusan relasionalitas itu dapat terpatri dari kesan bahwa bahwa Aku memandang sesamaku sebagai Aku yang lain.

Levinas dalam pemikirannya tentang etika tanggung jawab menyebutkan bahwa ketika aku memandang wajah sesamaku, aku memiliki tanggung jawab atas dirinya. Maka menjadi hal yang memilukan jika ada perlakuan yang buruk terhadap sesama manusia. Hati menjadi sedih ketika menemukan masih adanya stigma yang buruk dari kelompok yang satu terhadap kelompok yang lain. Hati menjadi resah ketika menyaksikan kebebasan beragama kelompok tertentu direnggut oleh kelompok yang lain.

Oleh karena itu, perlunya kesadaran bagi masyarakat untuk membangun relasi yang baik dengan sesama. Dan menjadi cetusan semangat baru bagi mereka yang sedang memperjuangkan kebenaran sejati untuk tiada hentinya mengambil hikmah dari Abraham Lincoln dan Gus Dur yang telah menanamkan benih-benih kebenaran dalam hidup mereka.

Dari film Emancipation kita dapat melihat betapa perihnya berada dalam kekangan orang lain dan ketika kebebasan kita direnggut. Konsep Aku melihat sesamaku sebagai Akuku yang lain program dasar manusia saat ini memberi perhatian, penghormatan, dan cinta kepada sesamanya sebagai sesama ciptaan Tuhan yang mulia.

Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang, Jawa Timur.