“Semakin berbeda kita, semakin terlihat titik-titik persamaan kita.” – Gus Dur
Saya sengaja membuka tulisan ini dengan kutipan pernyataan Gus Dur di atas. Kenapa? Supaya kita bisa merefleksikan makna ungkapan tersebut dengan apa yang telah kita dilakukan bersama melalui aksi sosial-kemanusiaan dalam ruang keberagamaan ini.
Anita Wahid, salah satu putri Gus Dur, menjelaskan kutipan pernyataan di atas sebagai ajakan pada masyarakat agar lebih keras mencari titik-titik persamaan di antara sesama kita, daripada sibuk membenturkan perbedaan yang sudah menjadi fitrahnya.
Sejalan dengan itu, M. Quraish Shihab dalam bukunya berjudul Toleransi pernah membahas soal pandangan Islam dari penafsiran ayat tentang toleransi dalam QS. Al-Baqarah (2): 213, yang berbunyi:
“Manusia adalah umat yang satu. Selanjutnya Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.”
Dalam ayat ini tergambar bahwa Allah SWT pada hakikatnya menciptakan manusia sebagai satu umat yang menyatu, yaitu sebagai makhluk sosial yang saling berkaitan dan saling membutuhkan. Sejak dahulu hingga kini, manusia dapat hidup tenteram jika bantu-membantu sebagai satu umat, yakni sebagai kelompok yang memiliki persamaan dan keterikatan.
Hal ini disebabkan oleh kodrat manusia yang memang berbeda-beda dalam banyak hal, termasuk profesi dan kecenderungan. Pun, karena kepentingan mereka banyak, sehingga dengan perbedaan tersebut satu sama lain dapat saling membantu atau bekerja sama untuk memberikan kemaslahatan bagi sesama.
Seperti yang telah saya paparkan di atas, saya akan mengajak untuk memahami penjelasan ini dengan merefleksikan kegiatan toleransi di bulan suci Ramadan ini. Pada Minggu, 9 April 2023, Aliansi Kebhinekaan Tulungagung bersama komunitas lintas iman Tulungagung mengadakan agenda Bagi Takjil & Buka Puasa Bersama yang dilaksanakan di Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Tulungagung. Kegiatan seperti ini merupakan kegiatan sosial yang menjadi agenda rutin di bulan Ramadan yang umumnya diadakan oleh masyarakat.
Kegiatan diawali dengan pembukaan dan doa bersama lintas iman yang disusul dengan membagikan takjil oleh beberapa masyarakat dan pemuda, dialog bersama, dan dilanjut berbuka dan makan bersama. Agenda berbuka bersama diistilahkan dengan perjamuan kasih oleh salah satu saudara kristiani saat mengisi acara pembukaan. Perjamuan kasih, jika boleh saya maknai, barangkali semacam pertemuan yang diadakan tidak hanya untuk perjamuan makan tetapi bertemu untuk saling menebar kasih, rasa cinta, menghormati, serta rasa suka cita bersama atas agenda sosial umat beragama.
Begitu pula Rizka Hidayatul Umami selaku Koordinator GUSDURian Bonorowo Tulungagung yang menyentil ingatan para peserta dengan mengatakan bahwa agenda sosial ini merefleksikan kasus-kasus intoleransi yang belakangan sempat terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Banyaknya kasus yang terjadi menyadarkan kita bahwa selain kita perlu melek akan kabar informasi, kita juga perlu untuk peduli terhadap saudara kita. Dari usaha baik yang telah dilakukan, kita berproses bersama-sama, saling belajar, merenungi, dan menyikapi akan keberagaman kita yang nyata dan sikap toleransi yang perlu dipahami lagi.
Dalam buku Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama karya Faqihuddin Abdul Kodir yang kita ambil sebagai bahan pelajaran, di sana Kiai Faqih menyinggung soal Piagam Madinah atau Wastiqah Madinah yang berisi kesepakatan untuk saling menghormati dan saling menjaga, baik jiwa maupun harta kepemilikan, secara bersama-sama termasuk saling menghormati agama dan keyakinan masing-masing. Nabi Muhammad Saw menegaskan bahwa salah satu bentuk keimanan adalah dengan menghormati dan memuliakan tetangga (Shahih al-Bukhari, hadis nomor 6088).
Imam al-Ghazali juga mengatakan bahwa tetangga yang berbeda agama tetap memiliki hak sebagai tetangga, yang harus dihormati, dikunjungi, saling menjaga, dan saling menolong satu sama lain. Dalam hidup Nabi, beliau pernah diundang makan di rumah tetangga Yahudi yang berprofesi sebagai penjahit, dan nabi memenuhi undangan tersebut (Musnad Ahmad, hadis nomor 13403 dan 14068), dan begitu pula kisah Nabi yang lain (Faqihuddin Abdul Kodir, 2022, hlm. 35).
Dalam teks-teks hadis tersebut tentu saja merupakan teladan Nabi Muhammad Saw yang mengajarkan kepada kita akan pentingnya membangun persaudaraan dan relasi yang baik kepada siapa pun, terutama tanpa memandang siapa dan identitas yang melatarbelakangi dari diri kita. Ini termasuk prinsip yang paling dasar, di mana membangun persaudaraan dan relasi yang baik antarmanusia, baik pada kondisi damai, atau tidak dalam peperangan. Kita dituntut untuk terus mengembangkan lebih banyak lagi perdamaian dan kebaikan-kebaikan.
Ada satu hal lagi yang menurut saya penting kita pelajari dan usahakan untuk diimplementasikan adalah hadirnya upaya mindfulness dari dalam diri masing-masing orang. Upaya mindfulness sendiri barangkali menjadi bekal komunitas yang penting untuk selalu dihadirkan. Terlebih ini merupakan satu hal yang terus dipelajari, utamanya di komunitas GUSDURian sendiri.
Kesadaran adanya mindfulness (hadir utuh sadar penuh) menjadi pepeling (pengingat) kita untuk peka bahwa tidak cukup hanya kehadiran fisik yang dibutuhkan, tetapi juga kesadaran penuh dan keseriusan kita untuk ikut memahami, merasakan, maupun menyikapi sesuatu yang sedang terjadi dan kita usahakan. Dengan mindfulness ini pula kita mendapatkan semacam jalan penghubung untuk memahami toleransi yang kita hadirkan dalam benak dan laku keseharian.
Kemudian, kaitannya dengan aksi toleransi, sebetulnya sudah banyak bertebaran kegiatan yang merefleksikan toleransi keberagaman. Dan sebaliknya, mereka yang tidak menyetujui bahkan membatasi diri akan keberagaman yang ada juga tidak sedikit jumlahnya. Meski begitu, hakikatnya kita perlu tahu bahwa Allah-lah yang menghendaki kita berbeda dan senantiasa untuk hidup berdampingan dengan perbedaan itu sendiri agar kita saling menyempurnakan dan menebar kebaikan.
Nikmat diberikannya mata, telinga, hati, dan berbagai indra tubuh lainnya, bukan semata hanya membantu kita memenuhi keinginan sendiri. Sesungguhnya, fungsi mata dan telinga adalah untuk menemukan mereka, orang-orang yang beragam. Begitupun, fungsi hati adalah untuk mengasihi mereka. Tanpa pihak lain, kasih sayang tidak akan mewujud dalam kenyataan (Shihab, 2022, hlm. 20).
Pendek kata, kita dapat memahami bahwa perbedaan merupakan satu keniscayaan. Seandainya kita menghapus semua perbedaan itu, dapat diibaratkan seseorang tersebut tidak lagi menjadi makhluk yang tidak bertanggung jawab, mengaburkan tugasnya sebagai manusia, dan bahkan tidak memiliki rasa. Dengan demikian, dapat kita maknai kegiatan aksi sosial-kemanusiaan ini dengan mengutip dari ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a bahwa, “Kalau dia bukan saudara seagama, maka dia adalah saudara sekemanusiaan”.