Pada kegiatan Workshop Penguatan Jejaring dan Advokasi keberagaman, Koordinator wilayah Sulawesi, Maluku, Papua (Sulampapua) yang dilaksanakan oleh GUSDURian, terbagi ke dalam dua kelas, yakni kelas Religious Leader dan Youth Leader.
Workshop yang berlangsung pada 6-9 Juli lalu di BP Paud dan Dikmas Kota Makassar itu dihadiri oleh perwakilan SekNas GUSDURian, koordinator dan co-koordinator GUSDURian Sulampapua, dan penggerak GUSDURian Sulampapua (Sulawesi, Maluku, Papua).
Koordinator Sekretariat Nasional Jay Akhmad mengungkapkan bahwa GUSDURian harus menjadi satpam Indonesia sebagai rumah bersama.
“Jika GUSDURian sudah ada, pasti ada sesuatu yang digerakkan, yakni terdapat ekosistem dalam penggerak GUSDURian. Ada pembina atau penggerak senior, penggerak inti, dan penggerak muda yang menjalankan,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan mengenai indeks kota toleran dan indeks kota intolerans dari Setara Institute, yang menempatkan Singkawang sebagai kota toleran tertinggi di Indonesia, dan Cilegon sebagai kota toleran terendah.
Menurutnya, penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan empat variabel yakni, regulasi pemerintah kota, regulasi sosial, tindakan pemerintah, dan demografi sosio-keagamaan.
Adapun koordinator wilayah Jaringan GUSDURian Sulampapua, Suaib Amin Prawono, mengungkapkan bahwa workshop ini diadakan untuk mempersiapkan penggerak dalam membantu kerja-kerja koordinator,
“Kegiatan kemarin tentu saja untuk membantu kerja-kerja kami sebagai koordinator wilayah Sulampapua, selain kegiatan itu memperkuat SDM para penggerak, juga menjadi ajang konsolidasi gerakan khususnya gerakan GUSDURian beserta jaringannya di wilayah Sulampapua,” tuturnya.
Di sisi lain, Djemi Radji yang merupakan co-koordinator wilayah Sulampapua menambahkan bahwa prinsip GUSDURian adalah adanya perubahan.
“Tentu menuju perbaikan butuh jejaring yang kuat dan solid, karena perubahan butuh pelibatan banyak pihak, tidak mungkin bisa dikerjakan oleh GUSDURian sendiri,” tutup Djemi.