Social Media

Aku dan Perbedaan di Sekitarku

Kejadian hari pertama di awal 2021 masih terpatri jelas dalam memori saya. Pukul delapan pagi lewat, Bu Slamet, tetangga yang biasa dagang “bubur lemu” tiba-tiba menghampiri Oma–demikian panggilan untuk ibu kami–bermaksud mengantarkan lima bungkus mie goreng. Ia merasa bertanggung jawab tak bisa berdagang sarapan bubur di seberang jalan yang biasa dibeli Oma hampir tiap pagi, “Aku mau jalan-jalan ke pantai, mumpung Tahun Baru-an. Kalau nggak bisa jualan, ini ada mie kuning (mie goreng). Maaf ya, Oma. Besok aku jualan lagi.”

Hubungan keduanya memang tak sekadar jual beli. Saat pandemi makin meningkat kasusnya, Oma cemas Bu Slamet tak bermasker. Dibuatkanlah dengan jahit tangan masker-masker dari kain perca. Dan masker itu malah bisa dipakai beberapa anggota keluarganya.

Belum lagi saat bulan puasa. Bonus selalu diberikannya saat membeli pecel dua ribuan yang dijualnya untuk buka puasa. Tapi bukan hal itu yang membuat saya mengirimkan satu boks brownies panggang untuk keluarganya jelang Lebaran.

Bagi saya, hangatnya interaksi tak seperti prinsip ekonomi; Elu jual, gua beli. Atau sebaliknya. Melainkan tumpuan sikap perilaku kita yang tulus sehari-hari.

Tak heran ketika suatu hari Bu Slamet berpapasan dengan saya di warung saat membeli daun kelor, ia menegur. “Njenengan suka makan bobor daun kelor? Besok ta’ bawain pohonnya. Banyak di rumahku.” Dan benar saja, esok harinya sebatang pohon kelor yang tak terlalu tinggi sudah ditaruh di balik pagar rumah.

***

Kejadian itu sungguh membuka mata saya dalam memandang toleransi. Baru kali ini terasa lebih nyata mengingat domisili saya sekarang berada di tengah-tengah masyarakat yang sungguh berwarna. Posisi rumah saya dikelilingi oleh masjid, beberapa musala, dan dua gereja. Ketika suara azan bergema, dari rumah saya terdengar jelas. Sejelas nyanyian yang dibawakan oleh kelompok koor dari gereja.

Bagi saya dan keluarga, situasi ini tak mengganggu sama sekali, menepis kecemasan pemilik kontrakan dengan pertanyaan awalnya. “Apakah tidak apa-apa bila nanti ‘ramai’ dengan suara azan atau orang-orang sedang beribadah agama lain?” Saya dan suami menjawab dengan gelengan kepala.

Tak heran pertanyaan seperti itu muncul, karena tak semua bisa selentur itu mengapresiasi cara beribadah agama lain. Seorang teman dari Jakarta yang sudah menikah dengan pasangan yang berbeda suku pun, ketika mengetahui posisi rumah saya yang dikelilingi tempat ibadah agama yang berbeda dengan agama yang kami anut spontan mengatakan, “Gue sih nggak bisa tuh. Gue merasa terganggu!”

***

Kenyataan yang saya ceritakan di atas sebenarnya adalah situasi yang lebih kita alami sehari-hari, dibanding dengan terus bertanya-tanya apa yang harus kita buat untuk terwujudnya dunia yang lebih toleran.

Bagi saya dan teman-teman saya yang terlahir sebagai Tionghoa Indonesia apalagi. Secara fisik jelas orang melihatnya sudah berbeda, bercirikan khas tertentu. Pernah suatu kali seorang anak sekolah dekat rumah menghalangi saya lewat dan bersikap seperti menantang ketika saya hendak ke warung. Sementara anak tetangga yang lain malah memanggil saya ‘Mami’ dan sering berinisiatif untuk berinteraksi lebih dulu dengan mencolek lengan atau menyapa memanggil-manggil dari kejauhan.

Hal yang membedakan sikap kedua anak itu adalah bagaimana orang tua mengajarkannya. Terutama ibu. Bukan bermaksud seksis karena sesungguhnya tanggung jawab dan tugas menanamkan toleransi dan menerima perbedaan kita dengan orang lain adalah kedua orang tua. Namun, waktu berinteraksi sehari-hari anak-anak umumnya lebih banyak dengan ibu, karenanya ibu memegang peranan penting untuk menanamkan bagaimana perbedaan itu bukan sebagai ancaman. Melainkan memperkaya warna dalam kehidupan anak.

Hal yang paling mudah adalah dengan memberi contoh. Anak-anak adalah peniru ulung yang tak bisa diragukan lagi kemampuannya. Ketika anak melihat bagaimana ibu merespons sebuah situasi tertentu misal memberi stereotip kepada orang yang ditemui, saat itu anak belajar bahwa ibunya ‘membedakan’ orang tersebut. Besar kecil, tinggi pendek, hitam putih, cantik jelek, pintar bodoh, Cina Pribumi, kafir dan bukan, dan seterusnya.

Belum lagi ketika anak-anak melihat stereotip terutama rasial secara terbuka pada buku, majalah, televisi dan pengalaman mereka di lingkungan; yang bisa saja diimbuhi komentar orang dewasa yang belum tentu toleran.

Ketika mereka tidak mendapat penjelasan secara lanjut, atau orang dewasa di lingkungan terdekatnya tak mau mendiskusikan secara terbuka mengapa perbedaan-perbedaan itu terjadi, akhirnya mereka akan menyimpulkan memang begitulah seharusnya bersikap. Mereka akan mudah menyimpulkan bahwa boleh saja membedakan orang, tidak apa-apa bila aku memberi julukan atau ejekan kepada seseorang, tidak apa-apa juga bila tidak mau berdekatan, bergaul atau berteman.

Apa saja yang semestinya bisa seorang ibu lakukan untuk mengantisipasi munculnya sikap tersebut?

Dialog dan komunikasi ibu dengan anak-anak menjadi penting, meski tak semua keluarga nyaman membicarakan hal-hal tentang diskriminasi dan intoleransi. Bahkan menurut UNICEF, mengajak anak usia dini untuk berdiskusi tentang perbedaan akan sangat efektif dan lebih melekat ketimbang mereka sudah beranjak dewasa dan sudah dipengaruhi pandangan lain di luar rumah.

Selain itu, ibu juga bisa mendorong pertemanan anak tak hanya dengan yang sekampung, seagama, atau status sosial yang sama. Karena hal tersebut telah membuka konsep inklusif yang sangat baik dalam pengasuhan tumbuh kembang anak. Mereka menjadi paham bahwa perbedaan itu tetap ada, namun tidak menghalangi untuk menjalin relasi dan berinteraksi.

Lalu, bagaimana dengan sikap menerima perbedaan pendapat dengan orang lain? Akhir-akhir ini pernyataan sepakat untuk tidak sepakat banyak mewarnai diskusi tentang tak melulu kita harus menyepakati apa yang menjadi pendapat orang, akan tetapi hubungan kita dengan orang tersebut baik-baik saja.

Dalam konteks keluarga, ibu dalam arti sebagai istri perlu jujur dulu dengan dirinya. Biarpun telah membangun bahtera rumah tangga bersama, suami tetap orang lain yang terkadang tak selalu berpandangan sama dengan istri. Meski dalam konsep pengasuhan dan konsistensi mendisiplinkan anak memerlukan kesepakatan suami istri, tidak berarti anak tidak boleh melihat bapak dan ibunya memiliki hal-hal yang berbeda. Mungkin bukan untuk hal yang prinsipil yang sejatinya sudah dibicarakan dengan tuntas. Mengamati bahwa bapak dan ibu tetap saling mencintai dan menghormati meski memiliki perbedaan, telah memberi peran juga bagi anak untuk belajar toleransi.

***

Ketika dunia berubah dengan cepat, saat kita perlu lebih banyak membangun relasi dengan banyak orang tanpa batasan ruang, waktu, suku, agama, ras dan berbagai hal lainnya; membekali anak-anak dengan kemampuan inklusif dan bersikap toleran adalah sebuah kepastian yang tak bisa kita sangkal dan tunda lagi. Tentunya ini tindakan yang sangat bijak sebelum mereka mengalami kesulitan dalam bekerja sama dengan orang lain, sebagai global citizen.

Teringat Bu Slamet, aku maupun Oma, tak dimintanya untuk membayar makanan itu. Karena bagi Bu Slamet dan aku, hidup bersama, saling bantu, saling jaga bukan sekadar wacana, melainkan menjadi pelajaran hidup sebagai warga negara.

________________

Artikel ini adalah hasil kerja sama neswa.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Ibu dua anak kelahiran Jakarta. Saat ini membersamai anak-anak melanjutkan pendidikan di Yogyakarta; setelah sebelumnya membangun karier sebagai guru di Denpasar, Bali dari 1999-2009. Lulusan IKIP Jakarta program studi Bimbingan Konseling. Suka membaca, menulis, dan travelling. Cerita-ceritanya bisa dilihat di ivyberbagi.wordpress.com.