Social Media

Ateis, Pagan, dan Saleh

Ateisme akan menyangkal nabi, kitab suci, dan ibadat. Tetapi mereka yang mengambil jalan ini akan menghadirkan Richard Dawkins dengan “God Delusion” untuk menandingi seterunya. Sam Harris mungkin dianggap sebagai ‘sahabat’, teman nabi. Moralitas itu tak lagi soal agama, tetapi Harris menyebutnya sebagai sains, yang disodorkan dalam risalahnya berjudul The Moral Lanscape: How Science Can Determine Human Values.

Hanya saja, mereka tak punya hari libur besar keagamaan. Jadi pas tanggal merah, mereka masuk kerja sebagai wujud kesetiaan pada gagasan. Pokoknya, mereka berbeda dengan kelompok yang percaya pada takhayul (superstition). Sebagai Muslim, saya tak akan pindah agama, tapi mazhab (mungkin), apalagi menjadi ateis. Tapi, saya suka Dawkins sebagai ahli biologi. Toh, andaikata ia memilih agama, lelaki ini ingin memeluk kepercayaan suku Zuni yang mendiami Grand Canyon.

Adakah kritik keras mereka yang tak percaya Tuhan menyebabkan penganutnya begitu berbeda menjalani hidup? Mungkin tidak. Saya berkawan cukup lama dengan seorang kolega asal negeri Gandhi. Hampir setiap hari kami pergi ke kampus bersama dalam satu kendaraan. Ia memang sering menyoal agama dalam sebuah percakapan dalam mengisi waktu perjalanan. Bagi ayah dua anak ini, agama itu adalah kesadaran palsu (false consciousness). Lelaki itu pernah meluapkan kemasygulannya. Sang ayah dipenjara karena bergiat dalam pembelaan masyarakat. Kekuasaan meringkus kritikus. Ia melanjutkan garis perjuangan bapak sebagai pendukung partai komunis di tanah kelahirannya India.

Tetapi, ibu dan adik perempuannya adalah penganut Hindu yang taat. Namun demikian, lulusan Universitas Nehru ini menyisihkan gaji agar bisa membayar mahar saudarinya. Ada titik simpang politik, agama, dan adat dalam satu keluarga. Sebagai anggota keluarga yang paling mapan, ia tentu bertanggung jawab dan tak lagi menyoal kepercayaan orang yang paling dekat, sebab hubungan darah jauh lebih utama.

Dulu, ketika kami berjamaah subuh di surau, pria itu bersepeda untuk berolahraga. Kami berada di kawasan perumahan yang sama. Apa yang menggerakkan perilaku? Hasrat dan pengetahuan. Dengan mengurai dua terakhir ini, kita bisa memahami pilihan-pilihan seseorang menjalani hidupnya. Sebagai pembaca materialisme tulen, ia tentu mengedepankan sains dalam memahami benda. Apa yang di luar materi, itu adalah ilusi.

Jika sehabis makan malam ia berkeliling kompleks, saya baru saja pulang dari surau. Izwan asal Iraq baru saja menjadi imam kami. Namun, kami yang besar dalam suasana Melayu agak ragu karena mahasiswa S3 tersebut hanya menggunakan kaus dan celana tiga perempat, pas di bawah lutut. Tetapi, karena bacaannya fasih dan hafal surat panjang, keraguan itu raib. Sementara, teman dari satu negara yang beraliran Syiah tak hadir ke langgar.

Dengan latar belakang yang kontras, penghuni perumahan ini bisa saling menjaga dan menghormati perbedaan. Malah, tetangga yang hanya berjarak dua rumah adalah seorang guru besar asal India yang menganggap bulan adalah suci. Sekali waktu, saya pernah melihatnya memotret bulan purnama dengan penuh khidmat. Sang isteri begitu baik dan pernah memberikan hadiah coklat pada Biyya, anak sulung.

Setiap penghuni merayakan kepercayaan masing-masing. Dari kognitif, mereka bertindak dan bereaksi terhadap liyan. Bila tak ada gejolak, jelas ada kuasa yang lebih besar, sehingga perbedaan yang sangat ketara itu bisa hadir di satu tempat tanpa gangguan. Jadi, ateis itu sejatinya tak jauh berbeda dengan teis karena dalam waktu tertentu bisa bersama dan kehidupannya tergantung pada orang yang beragama. Malah, saya pernah mengajaknya untuk acara buka bersama di kampus.

Sementara, dosen pagan itu memancarkan keteduhan. Sementara, dalam kisah nabi-nabi, mereka digambarkan sebagai sesat. Tetapi, pemahaman ini tentu tak sesederhana bahwa penyembah berhala itu adalah pemuja patung. Betapa naif, karena sejatinya mereka yang beragama telah memberhalakan kedudukan, kemewahan, dan keseronokan. Jadi, tantangan terbesar dari kaum ateis, pagan, dan saleh itu adalah bagaimana kebaikan universal itu mungkin dilakukan tanpa menyoal keabsahan pandangannya.

Apa alasannya? Sebab masing-masing memberikan makna yang tak sama pada kata yang dipertikaikan. Ketika Evans Pritjaf menyoal pandangan Eropa terhadap animisme suku pedalaman karena menyembah batu, antropolog ini justru bertanya adakah stone itu adalah batu yang ada dalam pikiran orang-orang yang memujanya? Ini bukan sekadar membenarkan pandangan diri sendiri, tetapi betapa individu akan menghidupi kata dengan cara yang berbeda. Kenyataannya, tiga orang ini bisa tinggal dengan rukun di satu perumahan.

Sumber: alif.id

Mengajar di Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Pernah menjadi Dosen Senior Filsafat Universitas Utara Malaysia. Alumnus lembaga pendidikan Islam yang cukup tua di Guluk-guluk, Sumenep Madura: Pesantren Annuqoyah.