Social Media

Cak Nur dan Pentingnya Islam Inklusif di Tengah Kemajemukan Umat Beragama

Cak Nur, begitulah sapaan akrab dari seorang guru bangsa Nurcholish Madjid. Ia lahir dari dua sosok pasangan kharismatik yakni, KH. Abdullah Madjid – yang dikenal sebagai pendukung Masyumi sekaligus Nahdhiyyin dan Bu Nyai Fatonah putri Kiai Abdullah Sadjad Kediri. Dari track record ayahandanya inilah dalam diri Nurcholish Madjid terpatri jiwa ‘modernis-Masyumi’ dan ‘tradisionalis-NU’. Dua nilai warisan ayahandanya tersebut memberikan pengaruh besar pada Nurcholish muda – yang kemudian dua nilai itu menyatu, seimbang, dan mewujud sebagai ‘neo-modernisme Islam’ dalam dirinya. 

Pandangan keislaman yang digaungkan Cak Nur jauh dari kata jumud. Baginya Islam adalah agama yang shālihun fī kulli zaman wa makan dalam pengertian; mampu menyikapi problematika di setiap zamannya, tidak kaku dalam menanggapi perbedaan – melihatnya sebagai keniscayaan, dan pastinya open minded serta kritis terhadap hal-hal yang baru. 

Permasalahan internal umat Islam adalah religious plurality paranoia banyak menjangkiti umat Islam dewasa ini. Penyintasnya terkesan waswas ketika hidup berdampingan dengan kelompok beda agama. Indikasinya adalah memaksa kelompok yang berbeda keyakinan untuk menerima kebenaran yang diyakini. Bahkan tak jarang mereka bernada sumbang dalam mengkritik umat agama lain tanpa etika. Dampaknya tiada lain merusak marwah Islam sendiri – yang kita yakini Islam sebagai agama rahmat bagi alam semesta. 

Cak Nur mengartikulasikan dan menginterpretasi jargon islam rahmatan lil `ālamin ke dalam tiga bingkai nilai inti Islam; iman, islam, dan ihsan – yang ia istilahkan dengan ‘trilogi ajaran Ilahi’. 

Seorang ‘mukmin’ seyogyanya mampu menciptakan ‘rasa aman’ bagi sekelilingnya. Bukan sebaliknya menjadi teror bagi kelompok yang berbeda pandangan dan keyakinan agama. Kata mukmin sendiri merupakan bentuk subjek dari akar kata ‘āmana’ yang berarti aman atau tentram, tandas Cak Nur dalam salah satu karyanya. 

Konsekuensi kedua dari seseorang yang mengaku dirinya beragama Islam adalah mampu memberikan jaminan keselamatan bagi sekitarnya. Bahasa lainnya tidak menjadi benalu bagi hidup orang lain – terutama yang berbeda paham dan keyakinan. Cak Nur dalam buku anggitannya yang berjudul Islam Doktrin dan Perdaban mengutip banyak potret sejarah yang mempresentasikan jati diri Islam sebagai agama yang tabiatnya mengayomi dan cinta damai.

Salah satu sejarah yang beliau kutip panjang lebar dalam bukunya tersebut adalah ketika Sayyidina Umar Ibn al-Khaththab membuat perjanjian dengan penduduk Yerussalem (Bayt al-Maqdis atau Aelia) setelah tentara Islam berhasil menduduki wilayah tersebut. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa umat Islam menjamin keselamatan, ketentraman, dan keamanan kaum Yahudi dan kaum-kaum lain yang berada di daerah Yerussalem. Jaminan penjagaan meliputi gereja, salib, harta, rumah dan jiwa mereka. Tidak cukup sampai di situ, orang-orang Romawi dan kaum al-Lashut yang ingin pindah juga dijaga keselamatannya selama di perjalanan.

Berdasarkan sejarah tersebut dan diperkuat kutipan ayat-ayat ukhuwah insaniyyah yang dilengkapi tafsirnya, Cak Nur meyakini bahwa Islam memang agama yang pada fitrahnya mampu mengakomodir kemajmukan keyakinan (religious plurality) dalam sebuah keharmonisan. Selain itu pula, meminjam bahasa Cak Nur, Islam sejak zaman klasik selalu ‘ngemong’ terhadap golongan atau kelompok lain. 

Setelah menjalani tanggung jawab sebagai mukmin dan muslim, orang Islam wajib hukumnya melandasi sikap dan tindakannya dengan poin ketiga dari trilogi Ilahi yakni, ihsan. Perilaku ihsan simpelnya adalah berbuat baik kepada semua makhluk Allah. Tanpa harus melihat agamanya, bentuknya, ataupun derajatnya. 

Tiga butir trilogi Ilahi ini tidak dapat dipisah antara satu dengan yang lainnya – harus dilaksankan dalam satu tarikan nafas setiap harinya. Dengan begitu Islam benar-benar menjadi solusi bagi umatnya secara pribadi dan umat-umat lainnya secara umum.

Berkaitan dengan penjelasan di atas, Cak Nur menyampaikan suatu penjelasan yang tak kalah pentingnya untuk direnungkan kembali oleh umat Islam zaman ini. Barangkali ini adalah impian Cak Nur yang aktif ia demonstrasikan dalam seminar, tulisan dan ceramahnya. Dalam karya yang sama (Islam Doktrin dan Peradaban) Cak Nur mengutip pernyataan Max I Dimont ahli sejarah Yahudi yang mengatakan bahwa ketika masa keterbukaan dan keemasan orang Islam, orang Yahudi  juga ikut serta menikmati ‘kebahagiaan’ tersebut.

Mereka mengintegrasikan diri dalam samudera perdaban orang Islam kala itu. Mereka ikut ‘memeriahkan’ masa keemasan itu dengan bergerak di bidang filsafat, matematika, astronomi, diplomasi, kedokteran dan sastra. Bahkan yang mengejutkannya lagi, Dimont tanpa ragu mengatakan bahwa kaum Yahudi tidak pernah merasakan masa sebaik ini sebelumnya. Mereka kaum Yahudi menikmati zaman keemasannya dalam ribaan peradaban Islam yang terus berkembang.

Dari sini dapat disimpulkan, arti lain dari Islam rahmatin lil `ālamin jika mengacu pada pembacaan utuh Cak Nur adalah ‘Islam inklusif’. Bersifat terbuka dan mengayomi semua golongan. Keterbukaan umat Islam juga merupakan purwarupa yang diwariskan Nabi Muhammad dan ditiru serta dikembangkan oleh penerus setelahnya dengan konsisten. Piagam Madinah adalah bentuk nyata dari betapa terbukanya umat Islam – betapa penyayangnya umat Islam terhadap umat yang berbeda keyakinan agama. Maka dengan begitu Islam tidak akan menjadi momok di mata umat agama lain. 

Cak Nur dengan semua konsepnya tentang Islam pada ujungnya mengajak umat Islam untuk mewujudkan Islam yang humanis, inklusif, dan melek terhadap pusparagam keyakinan. Mewujudkan atmosfer kedamaian tidak mengaharuskan tunggal keyakinan. Justru kedamaian menuntut sikap saling asih dan asuh antar sesama umat beragama. Begitulah kira-kira yang juga diajarkan Gus Dur semasa hidupnya.

Catatan: Redaksi GUSDURian.net mempersembahkan lima esai terbaik dengan tema “Damai Itu Indah” untuk memperingati Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada tanggal 21 September 2020. Lima esai terbaik edisi khusus Hari Perdamaian ini mengulas seputar pengalaman personal lintas iman dan pemikiran tokoh yang mendorong hubungan lintas agama secara positif.

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan Santri Ponpes Zainul Hasan Genggong Probolinggo.