Social Media

Dari Tetangga Tionghoa, Hingga Kunjungan ke Gereja: Sebuah Pengalaman Lintas Iman Seorang Muslimah

September tahun lalu menjadi titik balik kehidupan saya bersosialisasi dengan teman-teman diluar agama saya. Jadi begini ceritanya. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Pesantren dan sekolah formal yang masih berbau Islam, akhirnya membentuk saya seorang yang yang hanya mengenal masyarakat yang sama agamanya dengan saya.

Ada sih yang tidak dan seingat saya hanya keluarga Tionghoa beragama Katolik yang selalu memberi keluarga saya kue keranjang (dan ini yang selalu saya ingat) ketika hari Imlek. Keluarga Tionghoa ini mempunyai sebuah Apotik yang menjadi langganan keluarga saya dan mereka yang selalu membantu keluarga saya dalam memberikan resep kesehatan. Dan anehnya entah mengapa selalu cas pleng resep obatnya untuk keluarga saya.

Nah, biasanya saya memanggilnya dengan sebutan “Cacik atau Cik”. Dulu, saya pikir “Cacik itu nama orang, ternyata Cik itu istilah bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Tionghoa yang merupakan panggilan untuk orang-orang yang berjenis kelamin perempuan atau kepada kakak perempuan.

Suatu hari saya main kerumahnya, sebagai anak kecil saya menyusuri setiap sudut rumahnya. Saya cukup heran dengan berbagai patung yang ada di dalam rumahnya, termasuk patung salib dengan orang di tengahnya yang digantungkan di dinding dan berbagai patung di meja. Bukannya patung itu gak boleh disembah ya? Pikir saya waktu itu.

Rasa penasaran saya kemudian membawa saya untuk bertanya kepada abah. “Bah, Cacik itu agamanya apa sih ya? (maklum waktu itu saya hanya tau Cacik itu orang Tionghoa karena suka ngasih kue keranjang waktu Imlek).” Dengan cepat, abah hanya menjawab singkat, yaitu Kristen. Tanpa bertanya lagi saya akhirnya tahu bahwa tidak ada hubungan antara Tionghoa dan Kristen. Karena selama ini saya pikir, ornag Tionghoa mesti agamanya Konghucu.

Saya lupa ditahun lebaran kapan, saat itu beberapa suster didekat rumah saya datang ke rumah kakek saya untuk bersilaturahmi dan mengucapkan selamat Idul Fitri secara langsung kepada keluarga besar. Saat itu karena saya masih kecil, hanya bisa membayangkan betapa enaknya jika bisa main dengan orang-orang sipit dan putih itu (orang non-muslim). Maklum, karena doktrin di lingkungan saya melarang saya untuk bermain dengan mereka.

Ternyata mereka tidak seseram yang saya bayangkan. Hal itu bermula ketika tahun lalu, saya mengikuti salahsatu kegiatan di komunitas perempuan yang mengajak saya untuk mengikuti acara di Gereja. Tentu awalnya saya sempat shock, bermain saja tidak boleh apalagi sampai masuk ke Gereja. “Haram deh kayaknya itu” pikir saya waktu itu. Tapi karena rasa penasaran saya, masak iya ke Candi yang notabene juga tempat ibadah umat lain saja kita sering kesana, masak ke Gereja kita tidak boleh?

Akhirnya saya memberanikan diri dan sedikit canggung untuk memasuki area Gereja. Wow, ini pertama kali saya masuk ke Gereja setelah 24 tahun hidup di dunia. Yah, ternyata Gereja hampir sama kayak yang ada di drama Korea atau film-film lainnya.

Saya kemudian bertemu dan bercengkrama dengan berbagai teman lintas iman lainnya. Kami mencoba mengudar rasa atau mengudar prasangka antara kita yang berbeda iman. Kami saling klarifikasi apa yang menjadi stereotype yang melekat di masyarakat kita. Ternyata memang penting untuk tidak saling menghakimi tanpa terlebih dahulu klarifikasi. Buktinya kita akan mudah bersitegang untuk suatu hal yang sepele.

Saya pun akhirnya mengerti dan paham perbedaan Kristen dan katolik, bagaimana para penghayat melihat alam sebagai perwujudan Tuhan, bagaimana melihat ritual dan formalitas dalam ibadah-ibadah agama di luar agama Islam dan masih banyak lagi ilmu yang akhirnya saya dapatkan setelah sekian lama “hanya mengira-ngira” tanpa tahu kebenarannya. Saya juga pada akhirnya paham, bahwa apa yang dikatakan abah saya mengenai agama “Cik” itu bukan Kristen namun Katolik. Betapa salahnya saya selama ini menyebut agama orang lain, padahal agama itu identitas personal seseorang.

Selain itu juga, setelah sebelumnya saya takut-takut sambil memberanikan diri ke Gereja karena takut dibilang kafir atau murtad, saya pun sekarang berani untuk keluar masuk Gereja. Bagi saya, Gereja itu seperti bangunan yang netral. Tergantung bagaimana aktivitas kita didalamnya. Seperti halnya kamar kosong yang apabila kita menggunakan aktivitas sholat di dalamnya kita bisa menyebutnya masjid atau tempat sujud, namun juga bisa dibilang perpustakan jika kita melakukan aktivitas membaca buku.

Nah Gereja atau Candi atau tempat ibadah lainnya juga sama. Kita boleh ke gereja untuk ikut seminar, dan berbagai aktivitas lainnya kecuali aktivitas ritual keagamaan mereka loh ya. Bahkan di Mesir, ada beberapa gereja yang digunakan juga untuk tempat sholat. Nah kan!

Mereka juga bertanya kepada saya yang membuat saya cukup tercengang, mengapa umat Islam sebegitu takutnya terhadap mereka? Tentu saya tidak bisa menjawab. Andai umat Islam tahu bahwa mereka mempertanyakan itu, bagaimana perasaannya ya? Atau sebenarnya hanya ketakutan turun-temurun mengenai Kristen dan katolik yang menjadi agama penjajah Belanda dulu yang begitu melekat, sehingga membuat stereotip itu begitu kuat di kalangan muslim Indonesia.

Anehnya mengapa dua agama ini ya? Dan umat muslim “biasa saja” dengan umat Hindu dan Budha tapi “luar biasa” dengan kedua agama ini. Umat Islam yang mayoritas aja takut terhadap minoritas, apalagi yang minoritas? Tentu mereka merasa semakin terpojokkan di Indonesia ini jika yang mayoritas tidak mengayomi yang minoritas.

Pengalaman saya waktu kecil seperti di atas tentu hampir pernah dirasakan oleh sebagain teman-teman muslim di Indonesia. Kurangnya informasi mengenai pendidikan lintas agama bahkan judgment terhadap agama diluar Islam yang kemudian dilakukan turun temurun tanpa ada yang berani mengklarifikasi dan berbagai persoalan yang semakin memperkeruh keberagamaan di Indonesia turut menjadi tugas besar bagi komunitas seperti GUSDURian untuk bergerak membuka cakrawala literasi antar agama.

Oleh karena itu, sudah saatnya, kita yang sudah cukup tahu walaupun sedikit ini membantu mengudar rasa berbagai stereotype yang ada di masyarakat agar tercipta masyarakat yang saling rukun sehingga tercipta perdamaian di Indonesia. Terakhir, selamat hari perdamaian internasional. Semoga kita bisa tetap istiqomah untuk mengudarakan spirit perdamaian dimanapun dan kapapun kita berada.

Catatan: Redaksi GUSDURian.net mempersembahkan lima esai terbaik dengan tema “Damai Itu Indah” untuk memperingati Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada tanggal 21 September 2020. Lima esai terbaik edisi khusus Hari Perdamaian ini mengulas seputar pengalaman personal lintas iman dan pemikiran tokoh yang mendorong hubungan lintas agama secara positif.

Dosen. Penggerak Komunitas GUSDURian Jogja.