Social Media

Gus Dur dan Kisah Deklarasi NU Soal Hubungan Pancasila dengan Islam

Saat membicarakan Khitthah Nahdlatul Ulama dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983, ada tiga Sub Komisi Khitthah yang masing-masing dipimpin oleh KH. Tholchah Mansoer; Drs. Zamroni, dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – rahimahumullah.

Gus Dur waktu itu memimpin Sub Komisi Deklarasi yang membahas tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Dan Deklarasi di bawah inilah hasilnya:

***

Bismillahirrahmanirrahim

Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

  1. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  2. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia.
  3. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
  4. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

    Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama

    Situbondo, 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983 M

***

Rapat untuk merumuskan deklarasi di atas, hanya berlangsung singkat sekali. Pimpinan (KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) membuka rapat dengan mengajak membaca Al-Fatihah. Lalu mengusulkan bagaimana kalau masing-masing yang hadir menyampaikan pikirannya satu-per satu dan usul ini disetujui. Kemudian secara bergiliran masing-masing anggota Sub Komisi—dr. Muhammad dari Surabaya; KH. Mukaffi Maki dari Madura; KH. Prof. Hasan dari Sumatera; KH. Zarkawi dari Situbondo; dan A. Mustofa Bisri dari Rembang—berbicara menyampaikan pikirannya berkaitan dengan Pancasila dan apa yang perlu dirumus-tuangkan dalam deklarasi.

Setelah semuanya berbicara, pimpinan pun menkonfirmasi apa yang disampaikan kelima anggota dengan membaca catatannya, lalu katanya: “Bagaimana kalau kelima hal ini saja yang kita jadikan rumusan?” Semua setuju. Pimpinan memukulkan palu. Dan rapat pun usai.

Kiai Kun Solahuddin yang diutus Kiai As’ad Samsul Arifin untuk ‘mengamati’ rapat, kemudian melapor ke Kiai As’ad. Ketika kembali menemui pimpinan dan para anggota Sub Komisi, Kiai Kun mengatakan bahwa Kiai As’ad kurang setuju dengan salah satu redaksi dalam deklarasi hasil rapat dan minta untuk diganti. Sub Komisi Khitthah pun mengutus A. Mustofa Bisri untuk menghadap dan berunding dengan Kiai As’ad. Hasilnya ialah deklarasi di atas.

Yang masih menyisakan tanda tanya di benak saya selaku ‘saksi sejarah’, bagaimana Gus Dur bisa begitu cepat menyimpulkan semua yang disampaikan anggota Sub Komisi, dan kelimanya–termasuk saya–merasa bahwa kesimpulan yang dirumuskannya telah mencakup pikiran kami masing-masing. Dugaan saya, Gus Dur sudah “membaca” masing-masing pribadi kami dan karenanya sudah tahu apa yang akan kami katakan berkenaan dengan Pancasila, lalu menuliskan kelima butir rumusan tersebut. Dugaan ini sama atau diperkuat dengan fenomena yang masyhur: ketika Gus Dur sanggup menanggapi dengan pas pembicaraan orang yang –padahal– pada saat berbicara, Gus Dur tidur. Wallahu a’lam.

Tulisan ini dipublikasikan kembali dari catatan KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) di akun Facebook pribadinya yang diunggah pada 1 Juni 2011, dengan judul “Gus Dur dan Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”.

Kerap disapa Gus Mus. Sahabat Gus Dur dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang. Rais Syuriah PBNU.