Social Media

Kya-Kya Kembang Jepun Surabaya: Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat melalui Nilai Kearifan Tradisi

Minggu malam (25/09/2022) saya berkunjung ke Kya-Kya Kembang Jepun di Surabaya Utara setelah 15 hari resmi reborn pada 10/09/2022 lalu. Sepanjang jalan kawasan Kya-Kya Kembang Jepun dipenuhi ornamen-ornamen Pecinan, seperti lampion, umbul-umbul, dan lukisan mural Cina peranakan yang tentunya sangat instagramable dan menjadi nice spot bagi para content creator untuk dibagikan di sosial media.

Berkunjung ke Kya-Kya Kembang Jepun kita diajak untuk belajar sejarah dan tradisi kawasan ini. Pasalnya sebelum acara hiburan nyanyian Tionghoa dimulai, di ujung jalan kawasan Kya-Kya Slompretan akan ada penjelasan sejarah singkat tentang asal muasal kawasan Kembang Jepun. Sebenarnya penjelasan ini saya dapatkan dari seorang teman yang juga berkunjung ke sana sehari sebelumnya, persis pada Sabtu malam, yang kemudian saya lengkapi dengan cerita dari warga sekitar saat saya berkunjung keesokannya dan juga dari situs-situs resmi Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim).

Kawasan ini rupanya sudah berganti nama tiga kali. Awalnya ia bernama Handelstraat. Handle berarti perdagangan, straart artinya jalan. Sebagaimana arti harfiahnya kawasan ini merupakan jalan perdagangan dan menjadi pusat bisnis kota Surabaya yang sudah ada sejak masa kerajaan Sriwijaya dan ketika Nusantara memasuki masa penjajahan Belanda. Posisi Kembang Jepun yang dilintasi sungai Kalimas, berada di kawasan Ampel, dan juga dekat dengan Pelabuhan Tanjung Perak sangat strategis dan ideal bagi aktivitas perniagaan, lebih-lebih kawasan ini ditempati oleh berbagai macam penduduk selain pribumi, yaitu Belanda, Cina, dan Arab-Melayu.

Pada masa Kolonial Belanda, Kembang Jepun tidak hanya menjadi pusat perdagangan, melainkan pembatas wilayah yang memisahkan bangsa Meneer dari penduduk setempat. Bagian barat sungai Kalimas ditempati oleh bangsa Belanda, sebelah selatan ditempati pemukiman Cina, sedangkan Kampung Arab-melayu ada di bagian utara sungai. Pada masa ini pula, jembatan merah (Roode Brug) dibangun dan kini menjadi titik temu antara jalan Kembang dan jalan Rajawali.

Pada zaman pendudukan Jepang saat perang Pasifik, Handlestaart kemudian dikenal dengan nama Kembang Jepun. Nama ini merujuk pada pelacur perempuan (kembang) yang banyak dibawa oleh serdadu Jepang (Jepun) dan menjadikan kawasan ini sebagai tempat prostitusi terbesar pada masanya. Karena nama Kembang Jepun memiliki arti yang kurang baik, pada Tahun 2003 pemerintah Kota Surabaya sepakat mengubahnya menjadi Kya-Kya yang memiliki arti jalan-jalan dari Bahasa Hokkien sebagai penghormatan dan pelestarian budaya Pecinan.

Saat ini Kya-Kya Kembang Jepun mendapatkan perhatian dari Pemprov Jatim dengan goals ingin mengembalikan kejayaan wisata kuliner Kembang Jepun masa lalu yang sempat hidup selama lima tahun sejak 2003 dan tutup pada tahun 2008. Setiap weekend, dimulai dari jam 18.00 WIB, wisata kuliner Kya-Kya Kembang Jepun kembali dibuka dengan menggandeng kurang lebih 60 Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang separuhnya terdiri dari warga asli sekitar.

Selain jajanan kuliner dan pertunjukan kesenian, pengunjung juga bisa menikmati wisata sejarah menggunakan becak yang memiliki rute khusus dimulai dari Slompretan -Jalan Coklat-Jalan Karet-Jalan Kalimati Kulon-Jalan Kalimati Tengah-Jalan Sungoyudan- dan kembali ke jalan Slompretan. Sepanjang jalan pengunjung akan melewati Klenteng Hok An atau Klenteng Coklat dan melihat deretan bangunan bernuansa Chinatown.

Saat berkunjung ke Kya-Kya Kembang Jepun saya mencoba wisata sejarah menggunakan becak ini. Pak Slamet —pengayuh becak— bercerita bahwa beliau awal mulanya didatangi oleh orang dengan tampang preman yang ternyata perwakilan dari Pemerintah Kota Madya. Ia meminta becak Pak Slamet dihias sebagai mode trasnportasi wisata sejarah Kya-Kya.

Sebelum peresmian diadakan rapat tiga kali untuk mengoordinasikan wisata Kya-Kya. Terhitung ada tujuh becak yang beroperasi dengan tarif yang ditentukan dan disepakati, yaitu Rp. 20.000. Awalnya tarif becak sempat akan dipatok Rp.15.000, tapi karena dirasa kurang pas dan susah untuk mencari uang kembalian akhirnya disepakati Rp. 20.000.

Kini, dengan becak yang sudah dihiasi kerlap-kerlip lampu, Pak Slamet “berdinas” dengan memakai kostum khas Tionghoa berwarna kuning dan kain merah yang menutupi kepala dan mengikat pinggangnya. Setiap malam Pak Slamet bisa menarik becak sekitar dua belas kali putaran, yang hasilnya akan masuk ke kantong sendiri (tidak ada setoran ke Pemprov Jatim atau lainnya). Jadi dalam semalam Pak Slamet bisa mendapatkan pemasukan uang sekitar Rp. 240.000. Menyusuri sejarah kawasan Kembang Jepun di malam hari menggunakan becak ini memberikan sensasi tersendiri.   

Melihat Kya-Kya Kembang Jepun yang hidup kembali dan ramai ini mengingatkan saya pada salah satu nilai pemikiran Gus Dur yaitu Kearifan Tradisi. Gus Dur menanamkan nilai kearifan tradisi yang bersumber dari nilai-nilai sosial-budaya yang berpijak pada tradisi dan praktik terbaik kehidupan masyarakat setempat. Kearifan tradisi dijadikan sumber gagasan dan pijakan sosial-budaya-politik dalam membumikan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan.

Menjaga dan melestarikan kearifan tradisi ini akan berperan signifikan bagi pengelolaan sumber daya alam dan manusia, seperti yang dilakukan Pemprov Jatim terhadap Kya-Kya Kembang Jepun. Sebagai kawasan yang menyimpan banyak sekali kearifan tradisi dengan karakter etnis, tingginya nilai historis, dan sumber daya sosial-budaya yang saat ini tetap dilestarikan dan dijadikan kawasan wisata kuliner, masyarakat sekitar dapat memberdayakan UMKM dan mendapatkan mata haluan baru untuk menambah pemasukan.

Para wisatawan yang datang juga merasa enjoy karena dimanjakan oleh vibes kawasan Pecinan yang diiringi nyanyian lagu-lagu Tionghoa. Meskipun berasal dari etnis dan agama yang berbeda, para pengunjung dan penjual sama-sama saling menghargai dan hidup berdampingan penuh suka cita. Potret ini sungguh menjadi cerminan Bhineka Tunggal Ika Indonesia yang terpampang nyata.

Satu hal yang sangat saya garis bawahi dari nilai pemikiran Gus Dur ini adalah bahwa menjaga kearifan tradisi selain membumikan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan, juga mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Penggerak Gerdu Suroboyo/Komunitas GUSDURian Surabaya, Jawa Timur.