Social Media

Membaca Ulang Kehadiran Muhammad: Sebuah Refleksi Maulid Nabi

Salah satu yang sudah diketahui oleh banyak orang dari Nabi Muhammad Rasulullah Saw ialah apa yang difirmankan Allah dalam surat al-Anbiya’ 107, bahwa beliau diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam: وما ارسلناك الا رحمۃ للعا لمين “wa maa arsalnaka illa rahmatan lil ‘Alamin” (Tidaklah Kami mengutus engkau Muhammad, melainkan sebagai rahmat untuk seluruh alam).

Al‘Alamin” di sinì sama pengertianya dengan kata yang sama dalam pernyataan persaksian seorang Rahib (Pendeta) Nasrani, Bakhiro, waktu pertama sang pendeta berjumpa dengan Muhammad di dalam perjamuan istirahat makan siang di gerejanya. Saat itu Muhammad menemani pamannya, Abu Tholib, dalam perjalanan berdagang ke Syam (Palestina). Berikut persaksiannya: هذا سيد ا لعا لمين (Muhammad ini adalah pemimpin jagat raya). Persaksian itu menunjukkan bahwa Bakhiro telah mengetahui hal tersebut beberapa ĺama sebelumnya melalui kitab suci yang dibacanya, tentang akan datangnya Nabi terakhir yang hendak memimpin dunia.

Maka kalau Muhammad disebut sebagai rahmat bagi seluruh alam, dengan sendirinya manfaat serta hikmah dari kehadiran beliau tidak hanya dinikmati oleh orang yang percaya kepada beliau, yang dalam al Qur’an diidentifikasi sebagai orang-orang yang beriman. Tetapi bahwa diakui atau tidak, beliau juga membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Sebenarnya banyak sekali yang bisa kita bicarakan berkait dengan makna kehadiran sosok Muhammad. Tetapi dalam kesempatan Maulid (hari lahir) beliau kali ini, kita pilih saja satu makna yang paling relevan bagi kita, yakni terkait dengan masalah sosial: bahwa puncak karier Nabi Muhammad saw dari segi penyampaian misi suci (risalah) ialah ketika beliau berhasil melaksanakan ibadah haji. Haji tersebut merupakan satu-satunya yang beliau lakukan setelah hijrah, pada tahun ke-10 hijriah, yang mana delapan puluh hari setelah itu beliau wafat, sehingga hajinya disebut Haji Wada’, hujjatul wada’ (haji perpìsahan). Peristiwa yang paling penting dalam Haji Wada’ itu yang dicatat oleh semua ahli hadis dalam riwayat yang mutawatir ialah ketika beliau mengucapkan pidato perpisahan yang juga disebut dengan Khutbatul Wada’.

Setidaknya dalam khutbatul Wada’ itu, sebagaimana yang dideteksi oleh para pakar, beliau melakukanya empat kali -tidak hanya sekali- seperti riwayat yang banyak dipahami umum selama ini. Yakni pada tanggal 7 Dzulhijjah pada waktu beliau masih di Mekah sehabis salat dhuhur; lalu ketika beliau melaksanakan haji, saat wukuf di Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan yang ketiga persis pada hari Nahr (hari Idul Adha) tanggal 10 Dzulhijjah yang disampaikan di Mina, dan yang keempat pada hari ketiga setelah Idul Adha yakni tanggal 12 Dzulhijjah.

Begitu pentingnya pesan dan makna pidato itu, sehingga Nabi Muhammad saw selalu mengakhiri pidatonya dengan ungkapan semacam pertanggungjawaban kepemimpinannya di muka publik (umat), yaitu ungkapan dalam bahasa Arab: Alaa hal Ballaghtu? (Wahai sekalian umat manusia. Saya ingin mendengar pendapat kalian. Apakah selama saya menjabat sebagai Rasul sudah menjalankan tugas saya sesuai dengan yang diperintahkan Allah dalam menyejahterakan hidup kalian semua?). Semua hadirin mengiyakan.

Bahkan dalam salah satu pidatonya itu, beliau menegaskan: “Kelak di akhirat, kalian semua akan ditanya oleh Allah dan menyampaikan kesaksian tentang tugas risalahku. Apa kira-kira yang akan kalian sampaikan pada-Nya?” Dijawab oleh hadirin: “Kami akan sampaikan bahwa Muhammad telah melaksanakan tugas risalahnya dengan baik.” Selanjutnya, dalam salah satu pidatonya itu, Muhammad juga mengungkapkan hal ikhwal yang sekarang populer dengan hak asasi. Salah satunya yang paling penting ialah rangkaian tiga hak asasi manusia yang dalam bahasa Rasulullah disebut sebagai Damn-an Amwaal dan A’ rodl (darah atau kehidupan, harta, dan kehormatan). Ketika beliau bertanya: “Wahai sekalian umat manusia. Tahukah kalian hari ini ada di mana? Di bulan apa dan di negeri mana?” Semua yang hadir menjawab bahwa mereka berada di hari suci, di bulan suci, dan di tanah suci. Kemudian Nabi mengatakan:

فان دماءكم و اموا لكم و اعراضكم بينكم حرام كحرمۃ يو مكم هذا ؤي شهركم هذا في بلدكم هذا الى يو م تلقون ربكم

“Sesungguhnya darah/hidupmu, hartamu serta kehormatanmu itu ‘suci’ seperti sucinya hari ini, bulan ini, sucinya di kota ini sampai kamu bertemu Tuhanmu di hari kiamat kelak.”

Betapa dalamnya makna ungkapan ini yang merupakan sumber rahmat bagi umat manusia, yang sekarang populer diistilahkan dengan hak asasi manusia. Sebab, dimaa’ amwal, a’rodl kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Inggris tidak lain ialah life, property, dan dignity. Inilah yang kemudian mempengaruhi para pemikir renaisans di Eropa pada abad ke-14. Salah satunya pemikir renaisans Italìa bernama Giovanni Pico de la Mirandola yang dalam salah satu orasinya tentang human dignity (harkat dan martabat manusia) mengatakan bahwa dia mengetahui martabat manusia itu dari orang Arab bernama Abdullah, yang dalam sebuah buku diceritakan (ditanyakan) oleh muridnya: “Wahai Abdullah sang Guru, apa yang harus paling kita hormati di muka bumi ini sebagai mukjizat Tuhan? Abdullah menjawab: “Manusia.” Laqod kholaqnal insana fii ahsani taqwim (Sungguh telah kami ciptakan manusia dalam bentuk terbaik).

Kemudian Giovanni menambah poinnya dengan merujuk pada tradisi Yunani ketika seorang bernama Hermes Trismegestus, seorang bijak yang juga kadang dipercaya sebagai Dewa Kebijakan, ditanya hal serupa (tentang manusia) oleh Asclepius, dan jawabnya sama, yaitu “manusia”. Setelah itu, dia menguraikan perlunya kita menghormati manusia, yang merupakan bibit dari apa yang sekarang disebut humanisme. Tetapi tesisnya tersebut dianggap bertentangan dengan gereja saat itu, hingga Giovanni dikenakan sanksi eksekusi, meski di hari tuanya dia diampuni dan pahamnya dilepaskan dari gereja, sehingga sekarang kita ketemu dengan istilah humanisme sekuler (secular humanism). Dalam Islam, humanisme itu adalah religius, atau humanisme berdasar takwa kepada Allah.

Prinsip ini yang kemudian dikembangkan oleh pemikir Barat seperti John Locke dan lain-lain, ketika dia merumuskan bahwa hak asasi itu ada tiga yakni life, liberty, dan property dengan sedikit berbeda dari apa yang dikemukakan Nabi Muhammad dengan life, property, dan dignity.

John Locke inilah yang mempengaruhi para pendiri Amerika Serikat yang percaya pada Tuhan melalui proses alami, karena percaya mengenai harkat manusia yang suci -mirip dengan konsep fitrah dalam Islam- dan mengakui adanya kebenaran universal. Oleh karena itu, mereka mempelajari kitab suci seperti Bible dan mempercayai Isa sebagai The Theacer of life Cosmic and Moral (Guru kebenaran dan guru akhlak mulia). Maka kemudian prinsip ini oleh Thomas Jefferson dirumuskan dan dituangkan dalam konsepnya mengenai Deklarasi Kemerdekaan Amerika (Declaration of Independence) yang ditandatangani tanggal 4 juli 1776.

Dalam deklarasi itu diakhiri dengan poin yang persis dikatakan Nabi Muhammad: “Dan untuk mendukung deklarasi kemerdekaan ini dengan keimanan teguh berpegang pada taufik dan hidayah Allah, kami pertaruhkan sesama kami (para pendukung kemerdekaan itu), hidup kami, harta kami, dan kehormatan kami.”

Prinsip-prinsip hak itu sebagai jabaran dari rahmat nubuat Nuhammad saw yang kemudian menjadi inspirasi para ulama fiqh dalam merumuskan apa yang kemudian terkenal dalam terminologi ushul fiqh dengan “Maqoshid al-Syariah” atau tujuan- tujuan pengaturan kehidupan. Imam Ghazali menyebutnya, bahwa tujuan aturan agama itu dengan istilah “al-Kulliyyat al-Khams” (lima dasar perlindungan manusia), yakni perlindungan jaminan/hak keyakinan orang (hifdzuddin); keselamatan fisik (hifdzul hayat); keselamatan profesi (hifdzul maal); jaminan kebebasan perpikir/berpendapat (hifdzul aql); hak bebas berketurunan (hifdzunnasl). Lima prinsip ini merupakan pemberian Tuhan kepada setiap manusia yang tak ada seorang manusia pun berhak dan boleh mengurangi atau menghilangkannya.

Muhammad pasca periode Mekah juga melanjutkan misi risalahnya ke Madinah, sebagaimana hal ini pernah kita dengar bahwa Madinah didirikan begitu beliau berhijrah ke sana. Dan kita mencoba memahami makna hijrahnya Muhammad sebagai suatu yang mengarah pada pengertian tentang masyarakat yang beradab, yang “bermadaniyah”, karena tunduk pada hukum dan aturan. Kata daana yadinu, artinya tunduk. Untuk itu, agama juga disebut din dalam bahasa Arab yang artinya suatu ajaran mengenai kepatuhan atau ketundukan. Dalam hal agama Islam adalah kepatuhan karena sikap pasrah kepada Allah swt. Sekarang, para ahli sejarah zaman modern satu persatu mulai mengakui bahwa eksperimen Madinah ini merupakan percobaan pertama dalam sejarah umat manusia untuk mendirikan suatu masyarakat yang cirinya tunduk pada hukum dan bukan kepada penguasa. Oleh karena itu, al-Qur’an banyak sekali bicara tentang Firaun sebagai contoh penguasa yang menuntut rakyatnya untuk tunduk kepadanya. Seorang tokoh penguasa yang memenuhi istilah Jawa, Pandito Ratu, sehingga semua ucapannya menjadi hukum. Lalu ada istilah “Sabdo Pandito Ratu”. Dalam Islam, hal itu tidak ada. Rasulullah Muhammad bertindak sebagai Pandito -meminjam istilah tersebut- hanya berkenaan dengan murni urusan keagamaan. Di luar itu, beliau bermusyawarah.

Semua ini, patut kita renungkan agar kita memahami bahwa Muhammad disebutkan “wa maa arsalnaaka illa kaffatan linnas” (sesungguhnya Kami tidak mengutus engkau Muhammad kecuali untuk seluruh umat manusia). Maka berdasarkan hal itu, Islam adalah agama universal yang ajaran-ajarannya sesuai dengan segala zaman dan tempat. Tetapi penyebaran nilai-nilai Islam tidak selalu melalui jalur formal, seperti melalui orang yang secara nyata dan secara formal beriman kepada Nabi. Namun, banyak sekali ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang kemudian diambil oleh bangsa-bangsa lain. Bahkan pesan, makna, dan nilai-nilai Islam akhir-akhir ini banyak yang ditinggalkan oleh umat Islam sendiri.

Inilah yang barangkali perlu kita renungkan kembali saat ini dalam rangka “memperingati” kelahiran Nabi Muhammad, sembari meninggalkan tradisi “hura-hura” yang mengakar di masyarakat secara berlebihan, yang tak lain cara seperti itu secara tak langsung menghina Nabi, sang pembawa rahmat. Dan hikmah apa yang bisa kita ambil dari visi kehadiran Nabi sebagai pembawa rahmat tersebut jika dianalogikan dengan kondisi kehidupan sosial negara kita? Dan dari kepemimpinan para elit pengelola pemerintahan, para ulama/pemuka agama, organisasi agama hari ini yang penuh ashobiyah, fanatisme kekompok dan saling fitnah?

Sebagai penutup dan pangeling urip, rupanya perlu pula mengendapkan ulang, berkontemplasi atas pesan salah satu syi’ir Arab khas bocah-bocah langgar jaman dulu:

ولدت امك يا ابن اد م با كياا وا لناس حو لك ضاحكا مسرور
واجهد لنفسك ان تكون اذا بكو ليوم موتك ضاحكا مسرورا

“Wahai manusia, ketika ibumu procot melahirkanmu ke dunia, dirimu menangis meronta-ronta sementara orang-orang di sekelilingmu tertawa gembira-ria. Bersungguh-sungguhlah beramal baik untuk dirimu, ketika kelak mereka menangisi kematianmu, sementara dirimu tersenyum bahagia berpisah dengan mereka.”

اللهم صل على سيدنا محمد ابن عبدالله المشفع عندالله و على اله وصحبه وسلم

“Ya Allah, bersalawatlah kepada utusan-Mu Muhammad bin Abdillah sang Nabi pembawa syafaat dari sisi-Mu untuk seluruh umat manusia. Dan taburkanlah keselamatan untuk seluruh keluarga beliau dan para sahabatnya.”

Wallahu a’ lam bisowab.. billahittaufiq wal hidayah. ‘Alaina wa ahlina wa asdiqoanaa fii maulidihil yaum amin.

GUSDURian, Koordinator Forum Lintas Iman SOBAT DIY, Ketua Nahdlatul Muhammadiyyin (Forum Kajian Islam Rahmatan lil-Alamin).