Social Media

Pendeta kok GUSDURian: Kisah Perjumpaan Saya dengan Pemikiran Gus Dur

“Pendeta kok GUSDURian?”

Itulah candaan yang dari dulu sampai hari ini sering dilontarkan kepada saya. Lalu apa respons saya? “Ya saya adalah Gus Dur Lover!” Bagi saya, Gus Dur adalah sosok yang sangat bersahaja dan tiada duanya. Sikap, perkataan, dan seluruh perjalanan Gus Dur-lah yang meyakinkan saya bahwa Islam adalah agama yang menghargai keberagaman, humanis, dan cinta damai.

Gus Dur adalah gambaran Islam yang sesungguhnya. Tak banyak teori, tak butuh rangkaian kata-kata indah, tetapi Gus Dur menghidupi apa yang diyakininya sebagai Islam. Lebih mengagumkan lagi karena bukan hanya Gus Dur seorang diri, melainkan seisi rumahnya mampu membuktikan kecintaannya pada kepelbagaian dalam kehidupan sehari-hari.

Keluargalah yang menjadi contoh bagaimana sesungguhnya beragama. Menyembah Tuhan sambil  mempraktikkan kasih sayang, penghargaan, dan kepedulian pada sesama, apa pun agama dan kondisinya. Bu Sinta bersama putri-putrinya selalu terdepan memperjuangakan toleransi. Bahkan mbak Alissa Wahid, lewat Jaringan GUSDURiannya sangat konsisten memperjuangan moderasi beragama.

Beragama dengan penuh kasih sayang

Mengapa sosok Gus Dur sangat mengagumkan? Karena baginya, menyembah Tuhan adalah kesepadanan antara kata dan perilaku. Bukan melulu urusan surga dan neraka, apalagi sekedar seremonial/ritual dan dogma-dogma yang dalam praktiknya justru menjadi tembok pemisah di antara sesama anak bangsa hanya karena beda agama.

“Gitu aja kok repot!”

Itulah ungkapan magic yang kaya makna dari seorang Gus Dur. Betapa seringnya umat saling mencurigai, menjaga jarak, dan lain-lain hanya karena ada kelompok yang merasa hanya agamanyalah yang benar. Karena itu ia merasa paling berhak mengatur, bahkan menghakimi mereka yang berbeda dengannya.

Ah… rasanya saya kehabisan kata-kata terindah untuk menggambarkan betapa kagumnya saya pada sosok Gus Dur. Sungguh, dia adalah sosok yang bisa diterima oleh semua umat. Sikap dan kata-katanya sesederhana dia beragama. Bukankah Tuhan kita Maha Kuasa dan Maha Tahu sehingga tak perlu kita dikte dengan segala macam larangan-larangan?

Gus Dur “tak terlalu pusing” dengan urusan akhirat, karena baginya yang terpenting adalah bagaimana hidup kini dan di sini. Bagaimana menunjukkan kasih sayang dan kepedulian pada sesama, alam semesta, bahkan seluruh ciptaan-Nya. Harmoni kehidupan adalah perjuangannya. 

Seluruh perjalanan hidup Gus Dur adalah praktik tentang beragama yang welas asih, yang tujuannya adalah kamarampasan (bahasa Toraja, yang berarti damai sejahtera). Ia mengajarkan sekaligus mempraktikkan tentang Tuhan yang cinta damai dan penuh kasih terhadap semua ciptaan-Nya. Tuhan yang cinta-Nya universal tanpa embel-embel SARA.

Sosok nasionalis yang sudah selesai dengan dirinya

Dalam keadaan apa pun, Gus Dur tak pernah berupaya membenarkan apalagi membela diri sendiri. “Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba amatiran”. Demikian responsnya terhadap orang-orang yang sibuk menuntut penghargaan dari orang lain.

Komitmennya terhadap kebangsaan tak pernah diragukan, “Saya tidak peduli mau popularitas hancur, difitnah, dicaci maki atau dituduh apa pun, tapi bangsa dan negara ini harus diselamatkan dari perpecahan,” katanya. Baginya, beragama dengan taat tak boleh mengurangi cinta dan pengabdian bagi NKRI.

Tentang kebhinnekaan, Gus Dur meyakininya sebagai rumah yang terdiri dari kamar-kamar. Di kamar-kamar itu penghuninya bebas berekspresi: mau berpakaian apa pun terserah, tetapi ketika berada di ruang tamu dan ruang makan semua penghuni harus tunduk pada aturan rumah tersebut.

Gus Dur adalah potret kebhinnekaan yang sesungguhnya. Beragama dengan santai dan enjoy. Tak pernah terusik dengan kehadiran rumah ibadah umat lain. Ia tak perlu bicara teori tentang pluralisme karena hidupnya adalah keberagaman itu sendiri.

Penutup

Pendeta kok GUSDURian?

Iya. Sekali lagi, sejak mengenal Gus Dur, saya benar-benar “jatuh cinta”, dan sampai kapan pun cinta saya padanya takkan berubah. Pada sosok Gus Dur saya temukan keteladanan hidup yang hampir tak saya jumpai pada tokoh agama mana pun. Konsisten pada prinsip hidup.

Sekalipun secara fisik saya hanya sekali saja berjumpa, itu pun hanya melihatnya dari jarak yang cukup jauh, namun keteladan hidupnya banyak menginspirasi saya dalam pelayanan Gereja dan juga dalam perjumpaan dengan kelompok-kelompok yang berbeda.

Ada tertulis dalam Alkitab, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam kerajaan sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga” (Matius 7:21). Gus Dur bukanlah sosok yang dikit-dikit ngomong Allah, tetapi dari perihidupnya nampak jelas bahwa ia taat dan setia pada Sang Khalik.

Pendeta kok GUSDURian?

Ya, karena Gus Dur bukan hanya teladan pada umat tertentu, melainkan siapa pun yang ingin beragama secara “waras” dan ber-Tuhan tanpa mengabaikan sesama. Gus Dur adalah sang bintang yang akan terus menyinari setiap lorong gelap di antara anak-anak bangsa. Ia akan selalu mengingatkan kita bahwa  Indonesia adalah rumah bersama.

Alumnus Workshop Religious Leader Jaringan GUSDURian, Makassar.