Social Media

Peringati Hari Santri, GUSDURian Jogja dan Islami.co Gelar Diskusi tentang Ekologi

Belakangan ini, dampak perubahan iklim global semakin terasa. Munculnya dampak itu tidak bisa dilepaskan dari campur tangan manusia. Sehingga, tanggung jawab menjaga lingkungan menjadi tugas seluruh umat manusia, terlebih muslim. Untuk itu, dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2022, Komunitas Santri Gus Dur (GUSDURian Jogja) bekerja sama dengan Islami.co menggelar diskusi bertajuk “Demi Bumi: Menggali Khazanah Ekologi Santri”, pada Kamis (20/10/2020) lalu di Pendopo Griya GUSDURian.

Menurut Maria Fauzi, salah satu narasumber sekaligus pendiri website muslimah Neswa.id, ada tiga problem umum yang memberikan sumbangan pada kerusakan lingkungan, yaitu pengetahuan modern, kapitalisme, dan perilaku masyarakat. Hari ini, pengetahuan modern dan kapitalisme telah mendorong adanya pembangunan besar-besaran yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.

Maria menambahkan, dengan adanya pengetahuan modern, pembangunan-pembangunan justru sering melupakan aspek lingkungan. Padahal, ketika memperhatikan khazanah Islam klasik, pembangunan-pembangunan itu juga turut memperhatikan aspek ekologis. Praktisnya adalah dengan menggunakan material yang ramah lingkungan.

“Pengetahuan yang lahir dari ilmuwan-ilmuwan muslim dulu itu sangat berbeda sekali dengan pengetahuan modern yang menurut beberapa pakar itu menjauhkan metafisik dengan fisik,” terangnya.

Selain itu, kapitalisme juga telah mendorong eksploitasi yang menyebabkan lahan produktif seperti pesawahan menjadi berkurang. Sebagai contoh, di Jogja, banyak sawah yang menghilang akibat adanya pembangunan kafe atau madrasah.

“Kalau enggak kafe, madrasah, pokoknya justru lembaga pendidikan, kebanyakan. Karena mereka justru mengambil lahan yang cukup luas gitu,” paparnya.

Permasalahan ketiga, sambung Maria, adalah perilaku masyarakat yang turut memengaruhi kerusakan lingkungan. Menurutnya, di sini peran umat Islam sangat penting.

“Bagaimana tidak? Umat Islam memiliki kuantitas yang paling besar di Indonesia dengan 86,9% penduduknya memeluk Islam. Maka, perilaku muslim terhadap lingkungannya memiliki dampak yang besar,” ungkap Maria.

Artinya, ketika saat ini dunia tengah mengalami perubahan iklim, sambungnya, berarti perilaku umat muslim juga yang telah memberikan sumbangan yang merusak lingkungan. Padahal, ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al Quran, Hadits, dan khazanah klasik, mengajarkan hal yang sebaliknya.

Hal itu menunjukkan bahwa umat Muslim hari ini hidup tidak selaras dengan ajaran-ajaran spiritualitas. Maria kemudian menyebut fenomena tersebut dengan ‘beragama tanpa spiritualitas’.

“Jadi itu seperti beragama tanpa spiritualitas. Jadi, akhirnya concern-nya beragama itu hanya sekedar ritual saja,” pungkasnya.

Senada dengan Maria, narasumber lainnya yaitu M. Yaser Arafat, budayawan dan dosen UIN Sunan Kalijaga, menyebutkan bahwa masyarakat Nusantara zaman dulu hidup beragama bukan hanya sebatas ritual. Masyarakat kala itu juga menjalin interaksi sosial dengan selain manusia. Hal itu disebut Yaser dengan istilah bebrayan ageng.

Yaser menerangkan, masyarakat Jawa pada masa Wali Songo memiliki konsep kosmologi yang disebut triloka atau tiga dunia yang disimbolkan dalam atap masjid tajuk trimangkurat atau susun tiga. Dunia paling atas adalah dunia para malaikat, dunia tengah adalah dunia manusia, sedangkan dunia bawah adalah dunianya para jin, lelembut, tumbuhan, dan hewan.

Implementasi dari hal itu adalah dengan menyedekahkan makanan sisa selamatan. Makanan fisiknya untuk manusia, sedangkan bangsa selain manusia disedekahi makanan berupa kemenyan dan sisa-sisa makanan yang dipendam.

“Makanya, kalau nanti ada (makanan) yang tidak habis, dikumpukan jadi satu, dipendem aja. Niatnya shodaqoh untuk para binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk Allah yang di bawah tanah,” jelasnya.

Adanya relasi inilah yang membuat masyarakat zaman dulu, terutama di Jawa, memiliki kepedulian yang lebih terhadap lingkungannya, baik lingkungan yang fisik maupun metafisik. Berbeda dengan masyarakat hari ini yang jauh dari nilai-nilai tersebut.

Jauhnya masyarakat hari ini dengan lingkungannya, menurut Yaser, tampak dari dari lagu-lagu yang beredar sudah tidak memiliki kedekatan ekologi. Lagu terakhir yang menurut Yaser memiliki muatan ekologi ada pada era Meggy Z. Lagunya yang berjudul Takut Sengsara memiliki lirik ‘Percuma saja berlayar, kalau kau takut gelombang,’.

“Itu kan lagu-lagu khas ekologi masyarakat maritim. Pengungkapan cinta dengan metafora kemaritiman,” pungkasnya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jogja.