Social Media

Pura ‘Tersembunyi’ di Padang: Bagaimana Kami Membangun Pura Satu-Satunya di Sumatera Barat

Ni Putu Eka Budi P.W.D, Project Multatuli
2 Juni 2022

Sembilan belas tahun lalu, saat aku berumur empat tahun, ayah dan ibu mengajakku ke suatu tempat di pinggiran Kota Padang. Kami naik sepeda motor. Ayah menyetir, aku duduk di tengah, ibu duduk di atas pegangan besi di ujung belakang jok motor. Kami menyusuri jalan berbatu diapit semak belukar di sisi kanan-kiri, di bawah langit biru cerah. Kira-kira setelah 15 menit kami tiba di sebuah pura. Ini adalah pura satu-satunya di Sumatera Barat. Dan letaknya tersembunyi.

Aku menyebut “tersembunyi” karena dalam benakku saat itu, aku tidak melihat kesulitan teman-teman lain untuk beribadah. Kenapa ada yang mudah beribadah, kenapa ada yang tidak? Kenapa ada yang harus pergi jauh ke rumah ibadah?

Rasa penasaran pelan-pelan membesar menjadi rasa keingintahuan. Sampai kemudian aku berjanji pada diriku sendiri bahwa kelak aku ingin mengisahkan bagaimana kami, orangtuaku dan keluarga-keluarga Hindu di Sumatera Barat, membangun pura.

Kami adalah minoritas di Sumatera Barat. Hanya 102 orang atau kurang dari 0,1 persen dari total 5,6 juta penduduk Sumatera Barat. Mayoritas, atau sebanyak 97,6 persen, warga Sumatera Barat beragama Islam. Tak heran norma-norma ajaran Islam kental mewarnai kehidupan sehari-hari di provinsi ini. Di Indonesia, di antara minoritas Konghucu, ‘Aliran Kepercayaan’, dan Buddha, kami adalah yang terbanyak, jumlahnya sekitar 4,67 juta atau 1,71% dari total penduduk, yang kebanyakan tinggal di Pulau Bali.

Dengan jumlah pemeluk yang sangat sedikit dan dengan tempat tinggal yang menyebar di Ranah Minang, mendirikan pura bukanlah perkara mudah.

Sebelum pura ini berdiri, peribadatan dilakukan di rumah penduduk secara bergiliran. Kurang nyaman memang, tapi itu lebih baik ketimbang kami sama sekali tak bisa melakukan peribadatan.

Aku sendiri lahir di tanah Minang. Orangtuaku asal Bali. Bapak adalah aparatur sipil negara yang ditempatkan di Padang sejak 1994. Setelah beberapa tahun, bapak menikahi ibu. Ibu sebelumnya menamatkan pendidikan di salah satu kampus negeri di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kemudian, bapak memboyong ibu ke Padang.

Orangtuaku harus menghadapi lingkungan yang anak-anaknya diminta mengenakan jilbab di sekolah negeri. Orangtuaku bersikukuh memperjuangkan hak anaknya agar bisa terbebas dari aturan ‘wajib jilbab’.

Saat dulu aku bersekolah, pertanyaan spesifik soal agama turut dilayangkan oleh teman-teman sekolah. Aku berusaha menjawab pertanyaan dari mereka walaupun pada akhirnya, ada yang memintaku melantunkan kalimat syahadat. Aku terdiam, dan mengelak.

Aku merasa sedih karena ada beberapa dari mereka yang tidak toleran atas perbedaan agama. Tidak semuanya, hanya segelintir.

Tidak cuma di sekolah, tapi juga lingkungan kompleks perumahan. Rumah kami berhadapan dengan masjid. Tak jarang kami mendengar ceramah provokatif mengatakan umat Islam tidak boleh berteman dengan yang berbeda agama.

Sampai sekarang kami bertahan karena posisinya, kami telah menempati rumah sebelum dibangun masjid. Tetapi, tidak apa-apa. Kami bersabar. Hanya kami keluarga minoritas yang tinggal di kompleks.

Mau bagaimanapun kami harus selalu bersikap baik kepada sesama. Jika respons mereka kurang baik, kami tetap sikapi selayaknya. Pada akhirnya, relasi antara keluarga dan masyarakat tidak menemui kendala apa pun. Orang tua mengajarkanku untuk selalu bersikap sabar, dan tetap menjunjung toleransi. Aku menanamkan prinsip baik tersebut, dan kuterapkan dalam keseharian.

Yang menjadi perhatian untukku selama tinggal di Padang, yaitu saat mereka berkata bahwa umat Hindu cenderung menutup diri. Pernyataan ini seakan-akan diterima begitu saja. Anehnya, aku mendengarnya saat aku ikut beberapa forum kegiatan yang melibatkan peserta dari berbagai agama. Sayangnya, hanya aku sendiri, umat Hindu yang berani untuk ikut.

Keberanian ini berkat dorongan keluargaku juga. Bapak pernah menjabat sebagai Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Sumatera Barat selama dua periode. Orangtuaku mendorong aku dan adikku ikut serta dalam festival yang melibatkan etnis Bali. Tujuannya, kata orangtuaku, agar umat Hindu tampak di permukaan.

Lurah dan Pemkot Menolak Pembangunan Pura

Aku jadi tahu setelah bertanya dengan para sesepuh Hindu di sini bahwa kami pernah nyaris bisa lebih cepat memiliki pura. Lokasinya di Kelurahan Bukit Gado-Gado. Letaknya dekat dengan Pantai Air Manis yang dikenal legenda Batu Malin Kundang itu.

Lahannya sudah tersedia. Sumbangan dari salah satu pemeluk Hindu di Padang. Tapi, rencana tinggal rencana. Kami digagalkan oleh pejabat desa.

Ini terjadi pada 1995. Awalnya kami tak menemui hambatan berarti. Kami sudah mengumpulkan 78 tanda tangan dan mendapatkan persetujuan dari Ketua RT setempat. Setelahnya, kami tinggal mengajukan semacam izin prinsip ke wali kota.

“Pada saat kami mencari tanda tangan,” kata salah seorang sesepuh, “orang-orang yang berdomisili di lingkungan tempat kita akan bangun pura itu setuju.”

Sesepuh ini—aku menyamarkan namanya sebagai “Pak Made”, dulu mengajar di salah satu kampus negeri di Padang—bercerita upaya umat Hindu telah memenuhi prosedur ini disetop oleh lurah.

Si lurah menyodorkan dokumen surat pernyataan ketidaksetujuan dari masyarakat setempat. “Ternyata yang disodorkan lurah itu ialah tanda tangan orang yang dibawa ke sekitar kantornya,” cerita Pak Made.

Jadi seolah-olah masyarakat sekitar Bukit Gado-Gado menolak pembangunan pura. Informasi inilah yang disampaikan ke Pemkot Padang. “Walikotanya saat itu dijabat oleh Zuiyen Rais,” tambah Pak Made.

Zuiyen Rais adalah Wali Kota Padang sejak 1993 hingga 2003. Ia mantan wartawan, sempat menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Padang pada akhir 1970-an. Usianya kini 81 tahun.

Sebelum mengetahui penolakan diam-diam itu, umat Hindu di sini sudah merencanakan peletakan batu pertama. Bahkan, sudah mengambil ancang-ancang mengundang Ida Bagus Sudjana, pensiunan jenderal kelahiran Bali, saat itu Menteri Pertambangan dan Energi (1993-1998), yang akan meresmikan pura.

Setelah mengetahui penolakan terkait “surat izin prinsip”, ujar Pak Made, beberapa umat Hindu diundang oleh pemerintah daerah ke salah satu hotel di dekat pantai Padang. Pihak Pemda berjanji akan mengatur dan menyesuaikan apa keinginan umat Hindu “dengan sikap yang berkembang di masyarakat.”

Pertemuan itu berlanjut dengan pemuka masyarakat di Padang, dimoderasi oleh Ketua PWI Singgalang. Tujuan pertemuan ini, kata Pak Made, merumuskan langkah-langkah yang perlu ditempuh umat Hindu agar “tidak terjadi bentrokan dengan masyarakat Kelurahan Bukit Gado-Gado.”

Namun, tak ada kesepakatan. Keputusannya sama: Pembangunan pura di Kelurahan Bukit Gado-Gado tidak bisa dilanjutkan.

Meski ada keputusan itu, umat Hindu masih berusaha melakukan negosiasi dengan pemerintah Kota Padang. Mengutarakan beberapa alasan mengapa mereka membangun pura di Bukit Gado-Gado.

Pertama-tama, katanya, tempatnya tenang dan ada mata air. Dengan begitu pura ini akan menambah tujuan wisata di Sumatera Barat. Akan ada objek wisata baru. Meski pura memang bukan wisata, tetapi akhirnya akan memberikan keragaman budaya di Minangkabau. Daya tarik wisata bisa terlihat. Orang yang berkunjung ke daerah Pantai Air Manis, selain melihat batu Malin Kundang, juga bisa melihat pura.

Akan tetapi, kata seorang sesepuh yang aku temui, “Pemkot tidak mau menerima.”

Si sesepuh ini menunjukkan arsip berita bertajuk “Pemda Padang Tidak Izinkan Berdiri Pura di Kelurahan Bukit Gado-Gado.” Berita ini dimuat Harian Haluan pada hari Senin, 20 Maret 1995.

Dalam artikel itu, Wali Kota Padang Zuiyen Rais menyatakan pendirian rumah ibadah dinilai tidak layak dengan alasan tak ada penganut Hindu di lokasi tersebut. Zuiyen juga menambahkan, dalam Surat Keputusan Menteri Agama, pendirian rumah ibadah seyogyanya berkaitan dengan pemukim atau masyarakat yang akan menggunakan rumah ibadah tersebut.

https://projectmultatuli.org/trauma-dan-viktimisasi-berkelanjutan-keluarga-ahmadiyah-pasca-penyerangan-masjid-miftahul-huda-di-sintang/

Mendapatkan Tempat di Lahan TNI AU

Kegagalan membangun pura di Kelurahan Bukit Gado-Gado mengembalikan kami ke rutinitas semula. Kami menjalani persembahyangan di rumah-rumah warga secara bergiliran.

Awalnya, di rumah salah satu umat yang bekerja di Perusahan Listrik Negara. Rumahnya tergolong luas. Cukup menampung semua umat. Namun, kegiatan ini tak urung memicu keramaian. Kendaraan roda dua dan roda empat lalu lalang mencari tempat parkir hingga akhirnya menuai protes dari warga sekitar.

Meski tak disampaikan langsung, keberatan ini bikin resah umat Hindu. Kami paham persembahyangan rutin di rumah warga, lama-lama akan menimbulkan pro-kontra.

Setelah berpindah-pindah di rumah-rumah warga, satu hari kami melaksanakan persembahyangan di rumah salah satu umat Hindu yang bekerja sebagai prajurit Angkatan Udara, sebut saja namanya “Pak Dewa”.

Saat persembahyangan, komandannya meninjau lokasi. Pak Dewa menanyakan apakah ada kemungkinan komandannya berkenan membantu umat Hindu.

“Mengapa agama saya di sini seperti agama terlarang? Kok sulit sekali. Kan kita sebagai masyarakat Indonesia, rakyat Indonesia, sebetulnya sama haknya dengan yang lain untuk mendapatkan dan melaksanakan ibadah. Kenapa kita bangun tempat ibadah sulit sekali izinnya?”

“Anak-anak ini sudah seharusnya mendapatkan pendidikan agama [Hindu] di sekolah. Tapi tidak ada yang memfasilitasi,” kata Pak Dewa.

Si komandan tersebut rupanya bersimpati setelah mendengar keluh kesah anak buahnya. Ia memerintahkan Pak Dewa menuliskan radiogram ke kantor pusat di Jakarta atas namanya. Surat itu ditandatanganinya.

Dua minggu kemudian, balasan diterima, isinya secara prinsip “disetujui untuk membangun tempat ibadah dan diminta segera dibuatkan MoU.”

TNI-AU (saat itu masih bernama ABRI—angkatan bersenjata republik Indonesia) menyedikan lahannya. Lokasinya di areal kompleks pangkalan TNI-AU, wilayah Tabing, Kota Padang.

Dalam Surat Kesepakatan itu, pada pasal 2 menekankan, “Pihak Parisada Hindu Dharma Indonesia Sumatera Barat bersedia mengembalikan tanah tersebut kepada Pangkalan TNI-AU tanpa menuntut ganti rugi.”

Dilema pun muncul. Di satu sisi, umat Hindu menyadari posisinya lemah. Mereka hanya mengantongi hak pakai, bukan hak guna bangunan. Namun, di sisi lain, tawaran ini sangat membantu karena umat Hindu benar-benar membutuhkan tempat ibadah.

Akhirnya, para sesepuh Hindu menyepakati pasal tersebut karena mereka berpikir, tidak mungkin ada pengembangan kawasan ini dalam waktu dekat, soalnya bandara baru akan pindah. (Bandara baru tersebut, Bandara Internasional Minangkabau, dibangun pada 2001 dan secara resmi, pada Juni 2005, Bandara Tabing Padang sepenuhnya dikelola TNI AU).

Meski tidak menutup kemungkinan hal tak diinginkan terjadi, “Ya kita harus merelakan [pura yang akan dibangun] dihancurkan secara Hindu,” kata para sesepuh.

Tapi, ihwal yang dikhawatirkan itu tak terjadi. Pura satu-satunya di Sumatera Barat ini tetap utuh. Menjadi tempat ibadah kami. Juga jadi lokasi kantor Parisada Padang. Namanya Pura Jagatnatha. Penguasa Jagat.

Akhir dari Sebuah Awal: Membangun Pura Jagatnatha Padang

Pak Dewa memberitahu umat untuk mengambil lahan yang luas. Pasalnya, hingga sekian puluh tahun ke depan, tidak ada rencana pembangunan oleh pihak TNI-AU. Jadi, berapa pun luas lahan yang akan diambil, tidak akan dipersoalkan, katanya. Meskipun tidak ada pernyataan tertulis soal seberapa luas areal lahan yang akan kami pakai.

Umat sengaja mengambil lahan yang posisinya agak di pojokan. Alasannya, kami tidak tahu bagaimana nasib lahan ini, apakah akan dihibahkan atau ada keputusan lain? Pertimbangan lain, jika mengambil posisi lahan di pinggir, akan lebih mudah untuk dibuatkan sertifikat, sehingga mungkin “posisi hukumnya” jauh lebih kuat.

Setelah urusan lahan beres, tugas-tugas berikutnya yang menantang. Ini adalah akhir dari sebuah awal.

Ini terjadi pada 1996. Jumlah umat Hindu saat itu sekitar 26 orang. Kami pun bahu-membahu membersihkan jalan. Juga calon areal lahan untuk pura. Berbekal peralatan seadanya, kami membersihkan tumbuhan liar. Rutin setiap Minggu. Hari libur, kami bergotong-royong.

Untuk jalan setapak menuju pura, jalan itu menelusuri rel kereta api. Dikhawatirkan, jalan ini akan mengundang kehadiran masyarakat umum. Akhirnya, jalan di dekat rel ditutup.

Dan, setiap kali hendak berkunjung ke areal pura, kami harus melapor ke Pos Penjagaan.

Atas pertimbangan itu, Pak Dewa mengusulkan kepada komandannya agar umat Hindu diberikan semacam “jalan khusus” menuju pura.

Usulan ini disetujui. Komandan memerintahkan anak buahnya meratakan tanah untuk jalan khusus tersebut, sedangkan kami membersihkan kiri-kanan areal jalan.

Setelah urusan jalan itu selesai, umat Hindu mendirikan bangunan sementara, sehingga anak-anak bisa mengenyam pendidikan agama. Guru yang mengajar pun dari umat secara sukarela. Ibuku termasuk salah satunya. Ia mengajar pendidikan agama Hindu untuk anak-anak sekolah. Selain itu, ibu menjadi penyuluh non-PNS Hindu di Sumatera Barat.

Selagi kami bisa beribadah di bangunan sementara, kami mencari sumber dana membangun pura. Sekretaris membuat draft proposal, kurang lebih ada 100-an proposal. Seluruh umat diwajibkan membuat daftar kenalan yang berpotensi bisa menyumbangkan dana. Dana pun tercukupi. Berikutnya, kami menyewa pekerja yang berpengalaman membangun pura.

Setelah dua tahun, Pura Jagatnatha pun terwujud.

Pada saat peletakan batu pertama, cerita Pak Made, umat Hindu mengirim surat undangan ke Pemerintah Kota Padang, tapi tidak ada balasan.

“Tidak masalah,” kata Pak Made. “Yang penting, pengiriman surat sudah dilakukan, sudah diterima Pemda.”

Setelah Pura Berdiri

Pura Jagatnatha Padang diresmikan pada 12 Februari 1998. Ini adalah bulan dan tahun yang sangat ramai dalam politik Indonesia. Dalam beberapa bulan ke depan, terjadi pergantian kekuasaan. Soeharto mengundurkan diri. Terjadi kekerasan politik, etnis dan komunal di berbagai daerah. Terjadi desentralisasi yang meluas di seluruh Indonesia. Indonesia menerapkan demokrasi sesungguhnya. Di sisi lain, konservatisme menguat.

Menurut penelitian Ibu Musdah Mulia, sarjana muslim perempuan dan aktivis kesetaraan perempuan, Indonesia memiliki sedikitnya 156 peraturan, keputusan menteri, dan aturan turunan yang membatasi kebebasan beragama. Salah satunya adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.

Dikenal SKB pendirian rumah ibadah, peraturan ini adalah “revisi” dari aturan tahun 1969. Aturan lama mengharuskan “setiap rumah ibadah hanya boleh dibangun dengan persetujuan pejabat daerah,” dan jika diperlukan, kepala daerah dapat meminta pendapat organisasi keagamaan dan ulama sebelum rumah ibadah dibangun.

Sementara peraturan baru merinci di antaranya syarat pendirian rumah ibadah harus memenuhi:

–   Daftar dan KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan pejabat setempat

–   Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan lurah/kepala desa

–   Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota

–   Rekomendasi tertulis FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) kabupaten/kota

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia atau PGI menilai SKB dua menteri soal pendirian rumah ibadah tersebut justru lebih represif. Organisasi hak asasi manusia seperti Setara Institute menilai aturan tersebut “kerap menjegal kelompok minoritas memperoleh hak beribadah.” Pada awal tahun 2021, sempat muncul wacana kementerian agama akan merevisi regulasi tersebut, tapi tak ada kabar terbaru setelahnya.

Aku jadi berandai-andai mengenai upaya orang-orang tua kami membangun pura di Padang. Seandainya tak ada jaminan dan perlindungan dari seorang pejabat militer AU, apakah kami bisa membangun pura? Seandainya lokasinya pun bukan di lingkungan TNI-AU, apakah akan mengulang peristiwa penolakan di Kelurahan Bukit Gado-Gado?

Seandainya kami mengurus izin mendirikan pura pasca-1998, sepertinya kami bakal jauh dipersulit lagi, lebih-lebih kami tinggal di Sumatera Barat. Sentimen dan identitas etnis dan agama kini menjadi kendaraan politik.

Dalam laporan Human Rights Watch berjudul ‘Atas Nama Agama’ (Februari 2013), terdapat pernyataan I Made Gde Erata, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia. Ia berkata: ada situasi ketat bagi umat Hindu sehingga memaksa Parisada berhati-hati bila hendak membangun pura. Parisada memutuskan pendirian pura baru di luar Pulau Bali sebaiknya dibangun dalam kompleks polisi atau militer, bekerjasama dengan perwira Hindu Bali yang bekerja di insitusi kepolisian dan militer tersebut.

Bagaimanapun, hidup sebagai pendatang apalagi sebagai minoritas Hindu di Sumatera Barat telah mengajarkan kami selalu menahan diri.

Misal, bagaimana cara bergaul dengan tetangga di lingkungan sekitar, melakukan persembahyangan di rumah, serta menyiapkan sarana sembahyang dengan jumlah umat sedikit dan ketersediaan alat yang minim.

Pengalaman itu dirasakan Bu Yati, bukan nama sebenarnya, yang ikut suaminya ke Sumatera Barat sejak empat tahun silam.

Saat Bu Yati memulai aktivitas sebagai perempuan Hindu satu-satunya di lingkungan tempat tinggalnya sekarang, ia sering menerima pertanyaan-pertanyaan terkait ritual keagamaan yang dijalankannya. Salah satunya saat ia menghaturkan canang di depan rumah, tetangganya bertanya karena penasaran.

“Ibu orang apa? Agamanya apa?”

Bu Yati juga menghadapi masalah sekolah untuk anak-anaknya. Anak perempuannya diwajibkan mengenakan jilbab, sementara anak laki-lakinya diharuskan memakai kopiah saat hari Jumat.

Bu Yati keberatan, lantas mendatangi kepala sekolah dan menemui gurunya. Ia mencari solusi agar anak-anaknya tidak disisihkan meski tidak memakai jilbab, tidak bisa mengikuti pembelajaran. Tetapi, ditolak.

Pimpinan perusahaan dari tempat kerja suaminya bahkan menjelaskan bahwa mengenakan jilbab di Sumatera Barat adalah hal lumrah.

Namun, Bu Yati bersikukuh, “Kalau memang harus diwajibkan, kami minta dimutasi kembali ke Jambi.”

Akhirnya, setelah pihak perusahaan mendatangi sekolah tersebut, terjadilah kesepakatan. Anak perempuannya tidak lagi wajib mengenakan jilbab, dan anak laki-lakinya bisa mengenakan udeng di hari Jumat tanpa memakai peci.

Pengalaman lain dituturkan Bu Wati, bukan nama sebenarnya, yang sudah puluhan tahun menetap di Kota Padang, mengikuti suaminya yang bekerja sebagai PNS. Ia berkata masih terus belajar beradaptasi dengan lingkungan yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Bu Wati cenderung lebih tertutup dan jarang ikut berkegiatan di lingkungan tempat tinggalnya, lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Namun, Bu Wati tetap menjalin komunikasi yang baik dengan tetangganya.

Beruntungnya, di kompleks permukimannya ada dua keluarga Hindu lain. Sehingga mereka bisa menjalankan peribadatan bersama-sama. Saat perayaan hari raya atau sembahyang ke pura menurut kalender Hindu, mereka terbiasa mengenakan kebaya, selendang, dan kamen dari rumah.

Para perempuan Hindu ini aktif dalam kegiatan pura. Mereka bernaung dalam organisasi Wanita Hindu Dharma Indonesia Sumatera Barat. Organisasi ini bergerak khusus untuk perempuan Hindu sehingga mereka bisa berdaya dan memiliki kegiatan. Mereka datang jauh-jauh dengan jarak tempuh berjam-jam, untuk mengikuti pertemuan rutin pada minggu pertama dan kedua setiap bulan.

Kegiatan yang biasa dilakukan adalah membuat sarana persembahyangan untuk menyambut hari raya agama. Tanpa peran perempuan, mustahil persembahyangan di hari raya bisa berjalan lancar.

Ibuku menekankan walaupun kami minoritas, tetapi kami punya kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang. “Walaupun umat sedikit, kekompakan harus tetap dijaga,” kata ibuku. Dan untuk pura, ibu berharap, keberadaannya tetap terlindungi dan semoga bisa diakui jadi hak milik umat Hindu di Sumatera Barat.


Editor: Fahri Salam

Artikel ini adalah hasil kerjasama Konde.co, The Asian Muslim Network (AMAN) Indonesia, dan didukung UN Women dalam program Peace Innovation Academy 2022.



Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons.