Sepenggal Perjalanan Saya di Kota Roma: Yesus, Islam, dan Cinta

Mendengar kata Roma yang terbesit di benak saya adalah “koloseum” dan tentunya keindahan karya para arsitektur luar biasa berupa gereja di setiap sudutnya. Wajar apabila di Roma banyak sekali gereja dengan berbagai kekhasannya, karena di tengah Kota Roma pula sang Bapa Suci bertakhta, yaitu di negara Kota Vatikan. Pastor, suster hingga bruder banyak sekali akan kita jumpai di Roma khususnya di Vatikan mulai dari yang berjubah hingga yang berpakaian biasa.

Minggu 10 Februari 2019 pukul 12.00 waktu Italia, saya menginjakkan kaki (lagi) di Kota Roma. Namun kali ini adalah untuk misi belajar mendalami beragam agama dan keyakinan yang ada di dunia ini. Tentu kekhawatiran sempat muncul dalam benak saya, khususnya perkara perbedaan di mana saya adalah seorang perempuan beragama Islam yang memakai jilbab. Apalagi saya akan tinggal di negara yang mayoritas Katolik dengan banyak rohaniawan/wati di sana. Selain itu, di antara 24 orang yang tinggal bersama, hanya saya sendiri yang beragama Islam dan lainnya adalah penganut Kristen Protestan dan Katolik. Hal tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri dalam hidup saya ke depan di sini.

Begitu masuk kamar tidur, hal pertama yang membuat saya terkejut adalah disediakannya karpet dan sajadah. Hal ini dilakukan karena karpet pun tidak disediakan di kamar teman-teman saya lainnya. Di samping itu, di antara para mahasiswa lainnya hanya kamar saya yang tersedia kamar mandi dalam. Kedua hal tersebut terjadi karena mereka memahami bahwa saya perlu tempat yang bersih untuk salat, sehingga ada karpet sebagai alas sajadah. Soal kamar mandi dalam, mereka berharap saya bisa menggunakannya sebagai tempat mandi sekaligus tempat berwudhu yang tidak tercampur dengan orang lain, sehingga lebih bersih. Selain perkara salat adalah perkara makanan. Di sini, hanya saya yang memiliki keyakinan bahwa babi adalah makanan haram. Maka, ketika menu pada hari tersebut adalah babi pihak dapur akan memasak daging atau ayam khusus untuk saya yang tentunya tidak bercampur dengan olahan babi.

Selanjutnya, ketika terjadi kegiatan tertentu mereka akan memberi waktu kepada saya untuk menunaikan salat ketika waktunya tiba. Selain itu, mereka juga kerap kali menawarkan diri untuk mengantar saya ke masjid apabila saya ingin salat di sana, mengingat lokasi masjid cukup jauh dari rumah kami. Hal tersebut memang hal sederhana yang barangkali mudah dilakukan, namun hal tersebut tak akan terjadi tanpa adanya keterbukaan pikiran dan rasa toleransi terhadap sesama manusia tanpa membeda-bedakan.

Selain toleransi yang terjadi di rumah kami, saya juga selalu mendapat perlakuan hangat dan penuh kasih sayang ketika di luar. Misalnya ketika mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh agama Katolik mereka selalu menyambut dengan baik, bahkan tak jarang saya ditemani untuk berjalan-jalan di kota Roma. Sebagai rohaniawan: para pastor, suster maupun bruder nyatanya benar-benar mengimplementasikan apa yang tertuang dalam dokumen Nostra Aetate, yakni senantiasa menjalin hubungan baik dengan agama non-Kristen.

Satu hal lain yang menarik adalah pengalaman ketika berada di sebuah kelas perbandingan teologi agama monoteisme. Dari 12 mahasiswa, saya adalah satu-satunya yang beragama Islam. Kala itu kami tengah membahas tentang bagaimana Rasulullah menerima wahyu Al-Qur’an. DI situ jelas sekali teman-teman Kristiani memiliki pandangan berbeda dari saya. Namun demikian, ketika saya mengeluarkan argumen yang sangat bertentangan dengan mereka, tidak ada kemarahan yang muncul. Justru mereka menyambut baik pendapat saya dan mengatakan bahwa itu baik sebagai tambahan pengalaman keilmuan mereka.

Sejalan dengan itu, bagi teman-teman Kristiani, Yesus adalah sosok yang sangat penting. Namun pernah suatu ketika saya mengatakan perbedaan pendapat saya tentang bagaimana sosok Yesus. Mereka juga sama sekali tak marah tidak marah. Teman-teman saya menghormati setiap pendapat, karena mereka menyadari bahwa setiap orang tentu memiliki perspektif yang berbeda-beda dan selama perspektif itu tidak berujung kebencian maka tidak menjadi masalah.

Penggerak Komunitas GUSDURian Semarang, Jawa Tengah.