Sebuah video singkat menunjukkan seorang tokoh berapi-api mengatakan umat Islam marah kepada Kapolri dalam menangani aksi unjuk rasa berujung kerusuhan beberapa waktu lalu. Saat menyaksikan video tersebut, tiba-tiba terbesit pikiran #NotInMyName di kepala saya.
Dengan segera saya menuliskan dua cuitan di akun Twitter saya @alissawahid. Satu cuitan menegaskan bahwa sebagai seorang muslim di Indonesia, saya menolak diwakili paksa oleh narasi bahwa umat Islam ditindas dan marah, sebab saya merasa Islam di Indonesia baik-baik saja.
Cuitan lainnya tentang penolakan saya untuk diatasnamakan paksa dalam narasi rakyat tolak hasil pilpres dan gerakan kedaulatan rakyat. Terinspirasi oleh tagar #NotInMyName, saya mengadaptasinya menjadi #TidakAtasNamaSaya yang saya sematkan dalam kedua cuitan.
Tagar #NotInMyName dipopulerkan oleh sekelompok muslim Inggris yang menolak ISIS mengatasnamakan umat Islam. Tagar ini pun digunakan kaum muslim dalam solidaritas online menolak serangan teroris di Paris tahun 2015. Publik saat itu ingin menunjukkan bahwa lebih banyak orang Islam yang menolak serangan teroris.
Tahun 2017, tagar tersebut digunakan oleh masyarakat Hindu di India untuk menolak tindakan main hakim sendiri terhadap pemeluk agama non-Hindu yang mengonsumsi daging sapi. Saat itu, seorang muslim berusia 15 tahun mati dikeroyok kelompok cow vigilante (pemburu penikmat daging sapi). Karena aksi #NotInMyName, Pemerintah India yang sebelumnya mengabaikan aksi keroyokan ini akhirnya menegaskan bahwa tidak ada kelompok yang boleh main hakim sendiri.
Tak dinyana, kedua cuitan dengan tagar #TidakAtasNamaSaya menerima amplifikasi yang hebat. Lebih dari 2 juta impresi, ratusan ribu interaksi, dan berkembang menjadi ribuan cuitan netizen sampai saat tulisan ini diturunkan. Akhirnya, tagar ini melambung dan menduduki puncak trending topik secara organik alias tanpa rekayasa bot dan strategi buzzing, yang berarti ide ini ”dimiliki” oleh netizen secara masif. Apa maknanya?
Seorang netizen dengan handler @AstiMaulidida menuliskan, ”Setelah berbulan-bulan, ini tagar yang saya tunggu-tunggu. Saya muslim, saya warga negara Indonesia. Saya sangat menolak diwakili untuk apa pun yang kalian lakukan dengan narasi seperti ’atas nama rakyat…’ Stop menyelubungi niat jahat kalian dengan nama agamaku. #TidakAtasNamaSaya”
Cuitan di atas menjadi gambaran kegelisahan sebagian besar silent majority selama ini. Tagar #TidakAtasNamaSaya merupakan tagar yang tepat untuk menjadi kanal aspirasi karena ia bisa menjadi garis demarkasi psikologis. Pengguna tagar ini ingin memisahkan diri dari perilaku sekelompok orang yang berusaha melakukan generalisasi untuk kepentingan agendanya sendiri.
Secara teoritis, kelompok-kelompok pengusung #BelaRakyat dan #BelaAgama memanfaatkan mekanisme filter mental publik yang secara garis besar ada tiga: distortion, deletion, dan generalization. Ketiga filter ini adalah mekanisme dasar manusia untuk menjaga agar dirinya tidak kewalahan mengelola banjir data informasi mentah yang membanjiri otaknya.
Namun, karena ia hanya berupa mekanisme diri, maka ia pun dapat digunakan secara salah. Dalam hal ini, filter kognitif ini digunakan untuk memengaruhi publik, terutama untuk kepentingan politik.
Distortion berarti pemberian makna yang disengaja dan berbeda dengan realitas yang ada. Disinformasi dan hoaks adalah contoh konkret filter ini, di mana sebuah peristiwa diberi makna yang berbeda dan lebih bombastis sehingga menyentuh sisi kemanusiaan kita. Contohnya, kalimat ”polisi menembaki umat Islam” sementara faktanya adalah polisi menembak beberapa orang terduga perusuh tanpa melihat mereka sebagai umat Islam atau umat lainnya.
Filter kedua, yaitu deletion, berarti pengabaian terhadap sebagian aspek peristiwa, dan otak-hati diarahkan untuk hanya memfokuskan diri pada sebagian aspek yang telah dipilih. Sebagai contoh dari situasi kerusuhan, narasi yang berkembang tentang polisi menembaki umat Islam mengabaikan informasi aspek tindakan anarkistis yang dilakukan oleh korban.
Filter terakhir adalah generalization, yaitu upaya mengatasnamakan kelompok yang lebih besar atas peristiwa di kelompok yang lebih kecil. Tagar #BelaUmat atau #BelaAgama digunakan untuk membangkitkan sentimen senasib sepenanggungan dan mengamplifikasi peristiwa.
Tagar #TidakAtasNamaSaya menentang ketiga model filter mental di atas. Tagar ini mengembalikan narasi gerakan kedaulatan rakyat dan bela agama tertentu pada faktanya: lepas dari generalisasi, distorsi, dan deletion (pengabaian makna). Bahwasanya kelompok pendukung agenda tertentu tidaklah mewakili agenda keseluruhan rakyat, dan bahwasanya mereka juga tidak mewakili umat agama di Indonesia.
Muncullah pesan Islam di Indonesia baik-baik saja yang sangat kuat beberapa hari ini di media sosial, melawan narasi umat Islam ditindas, dicurangi, dan dianiaya.
Dalam era disrupsi teknologi informasi yang egaliter, perang gagasan dan narasi tidak terelakkan. Masifnya tagar #TidakAtasNamaSaya ini menandakan bahwa publik mayoritas yang selama ini bungkam (silent majority) menemukan sebuah kanal baru untuk bahu-membahu menolak diwakili paksa dalam narasi sempit.
Begitu pun pesan di dalam tagar tersebut, tentang Islam di Indonesia yang baik-baik saja. Saya jadi teringat tulisan lama Gus Dur, ”Kalau sekarang ini ada yang menjelekkan nama Islam, kita didik agar membawa nama Islam yang damai. Gitu saja kok repot.”
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 26 Mei 2019