Bak menonton drama yang penuh dengan ketegangan, kita masih mengikuti proses pasca-Pemilihan Presiden 2019 ini. Elite politik kita rupanya memutuskan untuk terus mempertarungkan kekuasaan lima tahunan ini. Dan, kita masih belum dapat membayangkan ujung dari drama ini, apakah ditutup dengan sikap legawa seratus persen atau masih akan menyisakan setumpuk ketegangan yang dipelihara sampai pemilu berikutnya.
Drama politik Indonesia tahun ini diwarnai dengan efek post-truth akibat disrupsi teknologi informasi. Demam kabar burung dan kabar palsu membuat perpecahan terjadi sampai di tingkat keluarga, dengan tingkat emosi yang sangat tinggi. Argumen yang paling sering muncul adalah karena sebagian besar warga Indonesia belum sanggup berpikir kritis dan tingkat literasi yang rendah.
Ada pula faktor kultur masyarakat Indonesia yang socio-centric (Haidt, 2012), di mana konformitas kelompok dan struktur sosial menjadi salah satu hal yang sangat penting. Individu dituntut untuk menghormati para tetua atau pemimpin, juga untuk mengedepankan harmoni sosial dalam kelompok. Orang Indonesia suka berkelompok, suka berbicara, dan juga suka berinteraksi baik luring maupun daring. Gagasan pun mudah menyebar secara viral, dengan kabar menyesatkan lebih cepat menyebar daripada kebenaran, sebagaimana dilansir Daily Social Indonesia.
Banyak warga mengeluh tak sanggup berbeda pandangan dengan Bude, Datuk, atau Simbah; terutama terkait kabar hoaks. Berita-berita yang memicu emosi dan prasangka begitu mudah disebarkan oleh para senior kita. Ini sesuai dengan penelitian di Amerika Serikat pasca-pemilihan presiden 2016, di mana lansia menjadi penyebar hoaks terbesar, sedangkan milenial paling sedikit percaya.
Sebuah riset sederhana yang dilakukan putri penulis dan rekannya bertema Millennials, Hoax, dan Pemilu di Indonesia menunjukkan kecenderungan serupa: millennials tidak mudah percaya pada hoaks, terutama terkait politik. Riset dua remaja ini memenangi Lomba Riset Bidang Sosial Se-Provinsi DIY dari Center for Young Scientists Indonesia, yang membuktikan metodologi riset yang memadai untuk penyimpulan tersebut. Ini sedikit memberikan kelegaan bagi masa depan kita, tetapi agaknya dalam jangka waktu dekat, kita masih akan menghadapi tantangan yang sama.
Drama Republik tahun ini juga menyisakan kegetiran berupa gugurnya ratusan jiwa anggota KPPS dan Bawaslu serta aparat keamanan dalam tugas Pemilu 2019 akibat kelelahan ekstrem. Sebuah pelajaran yang sangat berat dan menuntut penyesuaian mekanisme penyelenggaraan pemilu secara menyeluruh. Sayangnya, tema ini justru tersisih oleh drama perebutan kekuasaan itu sendiri.
Publik pun sudah tak lagi memberikan perhatian yang memadai, sebagaimana pengamatan tim Jaringan Gusdurian saat menemui keluarga korban untuk menyerahkan tali asih publik Indonesia yang digalang Jenny Jusuf melalui platform crowdfunding kitabisa.com.
Perhatian publik tersedot oleh kerusuhan 22 Mei 2019 yang memakan korban jiwa delapan orang. Rumor akan terjadinya kerusuhan ini sudah menguat sejak beberapa waktu sebelumnya. Dalam pertemuan dengan Gerakan Suluh Kebangsaan, Panglima TNI telah menyampaikan kesiapan TNI dan Polri. Entah apa yang akan terjadi dan berapa korban jiwa yang terjadi jika saat itu aparat keamanan kita tidak melakukan antisipasi. Ujungnya, beberapa petinggi militer dan kepolisian ditangkap dengan pasal makar. Penggunaan pasal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri agar di masa depan tidak digunakan sewenang-wenang.
Dan, puncak krisis dalam drama Republik 2019 ini adalah upaya melemahkan instrumen dan mekanisme demokrasi yang telah kita bangun dengan susah-payah sejak Reformasi 1999. Lebih dari sekadar menentukan siapa pemenang Pemilihan Presiden 2019, isu strategis ini lebih fundamental bagi perjalanan sejarah kita.
Alih-alih memanfaatkan mekanisme demokrasi tersebut sejak awal untuk mengelola klaim kecurangan ataupun ketidaksepakatan terhadap hasil Pilpres 2019, justru diembuskan narasi bahwa KPU, Bawaslu, dan Mahkamah Konstitusi bertindak tidak adil dan curang.
Ini telah melemahkan kredibilitas instrumen demokrasi kita. Walaupun narasi delegitimasi ini pada akhirnya terbukti tidak benar, virusnya sudah melekat pada publik kita yang lebih mudah percaya kabar menyesatkan, menimbulkan sampah kebencian.
Mahatma Gandhi menyebut politik tanpa prinsip (politics without principles) sebagai salah satu dosa sosial dan delegitimasi sistem dan perangkat demokrasi Indonesia dalam drama politik tahun ini adalah contoh konkretnya.
Yang melegakan, survei Litbang Kompas pada 24-25 April 2019 menyimpulkan lebih dari 90 persen responden mengaku menerima dan memercayai hasil pilpres walaupun kandidat yang dipilihnya tidak menang.
Ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia sudah lebih matang, tidak begitu saja terpengaruh oleh sentimen elite politik. Ini juga tampak dalam keengganan terlibat dalam aksi massa setelah 22 Mei 2019. Semoga ini menjadi tipping point perjalanan politik bangsa, di mana warga negara lebih sadar dan berpartisipasi untuk menjaga kewarasan bangsa.
Sejarah bangsa kita telah membuktikan, dengan catatan beberapa persoalan yang tak kunjung usai semisal pelanggaran HAM berat di masa lalu, setiap babak drama sejarah kita justru memperkuat ketangguhan kita sebagai bangsa.
Barangkali, kita perlu bersyukur karena Drama Republik tahun 2019 yang panjang ini justru menjadi proses pematangan bangsa dalam proses bermusyawarah dalam hikmat kebijaksanaan. Kekuatan Pancasila, sekali lagi.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 16 Juni 2019)
Sumber: kompas.id