Gus Dur dikenal sebagai presiden yang gemar melakukan lawatan ke luar negeri semasa (tidak genap) dua tahun pemerintahannya. Tercatat Gus Dur melakukan lawatan sebanyak 80 kali selama 20 bulan. Berarti rata-rata Gus Dur mengunjungi 4 negara dalam satu bulan. Rekor yang fantastis untuk kinerja yang singkat. Tak heran aksi Gus Dur tersebut menuai kritik, terutama dari Amien Rais dan Akbar Tandjung di pihak parlemen.
Bukan Gus Dur namanya jika tidak kebal kritik. Sederhana saja, Gus Dur menimpali bahwa kedaulatan dan pengakuan internasional terhadap Indonesia jauh lebih mahal harganya dari sekedar “menghabiskan” anggaran negara. Cukup masuk akal, karena di masa transisi dari Orde baru menuju reformasi, Indonesia banyak mengalami ancaman separatis dan disintegrasi bagsa.
Sebut saja GAM di Aceh, Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan lepasnya Timor Timur mewarnai gejolak sejarah Indonesia di awal milenium baru. Oleh karenanya, kedaulatan negara menjadi pertaruhan. Pengakuan serta dukungan internasional terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi krusial.
Politik luar negeri (Polugri) Indonesia memegang prinsip bebas-aktif, yang dicetuskan oleh Bung Hatta pada tahun 1948. Adapun konteks saat itu adalah situasi pasca Perang Dunia II, dan dunia tengah berada dalam Perang Dingin antara dua ideologi besar: Kapitalis-Barat dan Komunis-Timur, yang masing-masing diwakili oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Indonesia tidak ingin terlibat dalam pusaran geopolitik dunia saat itu. Bebas artinya tidak memihak salah satu dua kekuatan tersebut. Prinsip ini diterjemahkan Indonesia dalam membentuk Konferensi Asia-Afrika, membentuk KTT Non-Blok, menyelenggaraka GANEFO dan CONEFO.
Sementara aktif merupakan prinsip untuk trut serta dalam mencapai perdamaian dunia dan melawan segala bentuk imperialisme – baik berupa penjajahan secara fisik, maupun penjajahan dalam bentuk lain. Bisa disimpulkan polugri Indonesia sangat bergantung kepada prinsip bebas aktif ini.
Pernyataan polugri perdana Gus Dur ialah wacana membuka hubungan dengan Israel. Ini adalah pernyataan yang kontroversial, mengingat sepanjang sejarah Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel sampai detik ini. Kontan, kritik bermunculan di kalangan umat muslim, sampai banyak yang menuduh bahwa Gus Dur adalah antek Zionis, Yahudi, dan sebagainya.
Ada beberapa alasan yang mendorong Gus Dur mengangkat wacana hubungan dengan Israel. Pertama, kondisi ekonomi Indonesia yang terpuruk sejak tahun 1998 membuat Gus Dur memiliki sikap politik yang terbuka terhadap setiap negara. Artinya, Indonesia sangat butuh untuk menjalin hubungan dagang dengan banyak negara demi memulihkan kondisi perekonomian domestik.
Menteri Luar Negeri periode pemerintahan Gus Dur, Alwi Shihab, mengungkapkan berhubungan dagang dengan Israel itu ibarat melempar jatuh dua burung dengan satu batu[1]. Sasaran dagang sesungguhnya adalah Amerika Serikat yang diyakini dikuasai oleh lobi Israel.
Perlu digarisbawahi, bahwa pada konteks hubungan dengan Israel, hubungan yang dimaksud Gus Dur adalah membuka hubungan pada tingkat perdagangan, bukan hubungan diplomatik. Fakta bahwa PDB Israel yang mencapai US$ 19,2 Milyar saat itu dan keterlibatan tinggi para keturunan Yahudi pada banyak lembaga keuangan internasional dilihat sebagai potensi untuk meningkatkan lobi ekonomi Indonesia di skala Global[2].
Selain itu, Indonesia berupaya untuk “menggertak” dan meningkatkan posisi tawarnya di negara Timur Tengah. Lazim diketahui, bahwa Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim tidak lantas membuat negara-negara petrodolar Timur Tengah memberi kontribusi kepada Indonesia dalam mengatasi krisis moneter.
Di sisi lain, Gus Dur adalah seorang pejuang perdamaian kelas dunia. Gus Dur mempunyai tujuan supaya Indonesia mampu menjadi juru damai bagi upaya perdamaian Palestina-Israel. Salah satu kesalahpahaman yang banyak beredar ke publik adalah bahwa Gus Dur berpihak kepada Israel dan tidak berpihak kepada Palestina.
Tuduhan tersebut tidak benar dan faktanya Gus Dur terlibat aktif dalam upaya perdamaian Palestina-Israel. Sebelum mencapai posisi juru damai, sangatlah perlu bagi Indonesia (atau bagi Gus Dur sendiri sebagai aktivis perdamaian) untuk menegaskan bahwa Indonesia adalah pihak netral, sehingga lebih mudah diterima oleh kedua belah pihak.
Salah satu upaya menegaskan sikap netral tersebut tercatat pada kunjungan Simon Peres dan Yaser Arafat ke Jakarta pada tahun 2000. Mungkin tidak banyak yang tahu saat itu Gus Dur mengundang Simon Peres dan Yasser Arafat datang ke Jakarta. Kedatangan Simon Peres ke Jakarta bukan dalam kerangka formal karena Israel tidak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia.
“Saya kemarin sarapan bersama Simon Peres. Tapi saya tidak bisa membeberkan isi pertemuan itu karena bisa merusak semuanya…dan malam ini saya akan menerima tamu satu lagi, dia adalah Yasser Arafat yang saat ini masih ada di China.” Ungkap Gus Dur dalam konferensi pers di Istana Merdeka pada tahun 2000[3].
Itulah lihainya “jurus mabuk” Gus Dur, yang bisa sarapan dengan pihak Israel dan makan malam dengan pihak Palestina. Pertemuan itu ditegaskan lagi oleh Menlu Alwi Shihab, bahwa Indonesia tetap berpihak kepada Palestina. Meski demkian, Indonesia tetap menyerahkan kepada kedua belah pihak bagaimana hasil pembicaraan itu akan dilaksanakan.
Sebagai tambahan, visi dan semangat Gus Dur dalam menguayakan perdamaian bagi Palestina dan Israel terlihat dalam petikan wawancara stasiun berita ABC Australia[4]:
Byrne: Pertanyaan spesifik saja, apa anda berpikir bahwa Sharon dan Arafat harus turun jabatan?
Wahid: Ya. Mereka harus diganti, oleh orang yang memperlihatkan kepemimpinan dan keberanian.. keberanian secara moral juga.. anda tahu, untuk menghormati satu sama lain. Yang saya lihat adalah tidak adanya kepercayaan di antara mereka berdua.
Byrne: Apakah mereka orang yang pengecut, seperti yang anda sebut, karena kurangnya hormat antara mereka?
Wahid: Oh, tidak, tidak. Sharon adalah orang yang berani. Kalau tidak, dia tidak akan jadi jenderal. Tapi masalahnya adalah dia tidak bisa menerapkan keberanian semacam itu tanpa pemahaman, tanpa rasa hormat kepada Arafat.
Byrne: Bagaimana pendapat anda tentang Arafat?
Wahid: Arafat itu orang penakut. Dia sangat lembek. Dia tidak bisa mengontrol fundamentalis.
Byrne: Sebagai seseorang yang pernah mencoba membangun hubungan dengan Israel, dan menerima resiko politik karenanya, bagaimana yang anda harapkan?
Wahid: Israel itu percaya kepada Tuhan, mereka beragama. Sementara kita punya hubungan dipomatik dengan negara atheis macam China dan Soviet, maka aneh bagi Indonesia kalau tidak mengakui Israel. Kan Indonesia juga mengakui ketuhanan. Ini adalah satu ha yang perlu diperbaiki dari Islam.
Byrne: Apa anda meyakini bahwa dunia Islam harusnya mengakui keberadaan Israel?
Wahid: Oh iya.. iya.
Byrne: Tapi akankah itu terjadi?
Wahid: (tertawa) Saya tidak tahu juga.. bagaimanapun.. ya anda tahu, seberapapun lambatnya, saya kira orang muslim itu rasional, dan rasionalitas kita sekarang mengarahkan untuk mengakui Israel.
Jurus mabuk ini antara lain dicatat oleh Greg Barton, bahwa Gus Dur adalah “a non-political politician”. Oleh karenannya banyak manuver Gus Dur sebagai presiden yang jauh dari pakem umum diplomasi negara yang serba formal.
Dilihat dari petikan wawancara tersebut, tampak Gus Dur tidak hanya memposisikan diri sebagai seorang presiden, tetapi juga sebagai seorang agamawan yang dengan jeli menggunakan nuansa agama sebagai bagian dari pendekatan diplomasinya.
Termasuk dalam penggunaan istilah ‘Ecumenical foreign policy’ yang kerap digunakan oleh Alwi Shihab, yang entah kebetulan atau tidak, seorang Profesor di bidang Ilmu Perbandingan Agama.
Pranala lebih lanjut
[1] Berdagang dengan Israel, Kenapa Tidak? Majalah Tempo edisi 21 November 1999.
[2] Irmawan Effendi, Problematika Hubungan Indonesia Israel
[3] Shimon Peres Visits Jakarta, Yaser Arafat Follows
[4] Foreign Correspondent: Interview with Abdurrahman Wahid, 17 April 2002. Wawancara lengkap Gus Dur dengan Jennifer Byrne, ABC Australia. bBsa diakses di sini. Catatan: penulis mencoba mengecek ulang tautan ini pada tanggal 5 Januari 2020 dan ternyata sudah tidak bisa diakses. Potongan wawancara tersebut masih bisa ditemukan pada halaman dedikasi dalam buku berjudul Cracking the Qur’an Code: God’s Land, Torah and The People Covenants of Israel in The Qur’an and Islamic tradition, karya penulis Israel, Lowell Gallin, terbit tahun 2010.
Tulisan ini dimuat juga di: https://islami.co/jurus-mabuk-politik-luar-negeri-gus-dur-bag-1-juru-damai-