Ilmu itu ibarat ikan yang ada di laut, untuk mendapatkannya kita perlu memancingnya, bila sudah dapat, agar ia tidak ke mana-mana maka kita perlu mengikatnya. Cara paling baik untuk mengikat adalah dengan menuliskannya. Di pesantren istilah ini disebut dengan mendhobit (mencatat).
Mendhobit atau mencatat dalam tradisi pesantren dilakukan oleh santri ketika pembelajaran kitab kuning dilakukan. Kitab kuning di kalangan pesantren, karena tidak dilengkapi dengan sandangan; fathah, dhammah, kasrah, kerap disebut dengan “Kitab Gundul”.
Proses memberikan sandangan (syakl) dan memaknainya dengan cara mengartikan kata perkata yang diletakkan menggantung di bawahnya disebut dengan mendhobit. Istilah lainnya adalah ‘jenggotin’ (Jawa). Terkadang santri juga menambahkan keterangan atau penjelasan dari kiai/ustadz dengan mencatatnya pada bagian samping atau atas lembaran kitab kuning tersebut.
Suatu ketika, saat sedang berbelanja ke pasar, salah seorang kiai kami kehilangan sepeda motor yang ia parkirkan di pojok sebuah pasar. Pasar ini adalah semacam pasar dadakan yang menempati lahan kosong yang tidak digunakan oleh pemiliknya. Kami menyebutnya ‘pasar tungging’, karena tempatnya hanya terdiri dari lapak-lapak sederhana yang bisa dibongkar pasang saat diperlukan. Perilaku interaksi antara penjual dan pembeli yang unik seperti berjongkok atau duduk di atas dua kaki saat transaksi dilakukan, sehingga menjadikan pasar tersebut diberi nama dengan pasar tungging. Tempat parkirnya pun seadanya dan terkadang tidak ada penjagaan.
Kehilangan sepeda motor, menurut kiai, tidaklah membuatnya terlalu sedih, tetapi yang membikin dia sangat bersedih adalah kitab yang ia gantungkan di sepeda motor itu, juga ikut raib. Masalahnya kitab itu adalah kitab yang sangat bersejarah bagi beliau dan telah puluhan tahun digunakan untuk mengajar. Terpenting lagi, menurut beliau adalah dhabitannya, catatan-catatan yang ada di dalam lembaran-lembaran setiap halaman kitab itu. Sehingga kitab itu jauh lebih berharga bagi beliau daripada sepeda motornya.
Begitulah guru-guru kita, dan bagaimana gambaran penghargaan mereka terhadap ilmu yang telah diberikan oleh guru-guru mereka. Karena tidak jarang kitab-kitab yang mereka ajarkan saat ini adalah kitab-kitab yang telah mereka gunakan saat masih jadi santri dahulu. Sebuah kitab yang sudah lusuh namun punya nilai keberkahan yang luar biasa, jauh lebih berharga dari uang jutaan rupiah.
Mendhobit seharusnya tidak hanya sekedar mencatat untuk kemudian meninggalkannya begitu saja. Bagaimana catatan-catatan yang berserakan di sana sini itu dikumpulkan agar menjadi lebih bermakna. Salah satunya adalah dengan jalan menuliskannya kembali kemudian mengaitkan dengan konteks yang lebih realistis dan kekinian agar lebih bermanfaat bagi kehidupan praktis.
Dengan demikian mendhobit bukan hanya sekedar mengikat ilmu agar tidak lari ke mana-mana dan hilang begitu saja, tetapi lebih dari itu, yaitu menjadikannya lebih luas dan justru tersebar ke mana-mana. Bukankah di pesantren telah diajarkan juga bahwa ilmu itu akan bertambah bila dibagikan ke orang lain. Baik melalui tulisan ataupun melalui lisan.
Namun, yang sangat disayangkan, proses tulis menulis di pesantren hanya terhenti sampai sebatas mendhobit dalam pengertian memberikan sandangan dan jenggotin saja. Dunia tulis menulis dapat dikatakan ibarat mati suri atau tidak berkembang. Padahal seandainya para santri sedikit saja lebih kreatif, misalnya mengumpulkan catatan-catatan atau keterangan-keterangan dari para kiai atau ustaz serta menambahkannya agar lebih menarik, kemudian dijadikan buku. Sudah berapa buku bisa ditulis dalam kurun waktu lima sampai tujuh tahun mengaji di pesantren, dalam berbagai cabang ilmu keislaman tentunya. Itu belum lagi misalnya dengan catatan-catatan harian kehidupan bersahaja dan asketis di pesantren, yang sangat menarik untuk diekspos ke dunia luar.
Masih ada hubungannya dengan catat mencatat di dunia pesantren, kita mendengar cerita Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid), ketika beliau meminjam buku kepada salah seorang temannya, lama sekali tidak dikembalikan. Eh, ternyata setelah dikembalikan buku yang tadinya dipinjam telah penuh dengan catatan-catatan Gus Dur. Begitulah Gus Dur yang juga merupakan presiden keempat republik ini, selain membaca dia juga mendhobit, dengan memberikan catatan-catatan terhadap buku yang dibacanya. Dan kita tahu, Gus Dur banyak menghasilkan tulisan-tulisan berbobot yang sangat kritis, termasuk kepada dunia pesantren itu sendiri.
Dari Gus Dur pulalah orang luar banyak mengenal pesantren yang dulunya tertutup tidak banyak diketahui. Dulu orang-orang banyak merendahkan pesantren karena kejumudan dan ketertutupannya dari dunia luar, termasuk keilmuan yang diajarkannya. Tetapi dengan jasa orang-orang seperti Gus Dur lah kini orang sudah mulai bersimpati dan menoleh kepada pesantren.
Sepeninggal Gus Dur, kita mesti berharap akan ada banyak orang-orang yang lahir dari rahim pesantren, yang dapat memperjuangkan pesantren agar lebih maju dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya di negeri ini. Wallahu ‘alam.
Sumber: alif.id