Tahun 70-an atau 80-an, anak-anak sekolah Indonesia fasih menghafalkan pelajaran pendidikan moral Pancasila. Salah satunya adalah tentang hakikat pembangunan nasional, yakni pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Hasilnya lumayan bagus, anak-anak sekolah waktu itu yang memiliki prestasi mendapatkan beasiswa studi lanjut. Bagi siswa yang tidak mendapatkan beasiswa juga dapat berperan sesuai kemampuannya.
Sekarang juga banyak yang mendapat beasiswa studi lanjut, namun ukurannya masih bersifat tes potensi akademik dan penguasaan bahasa. Sementara aspek integritas kepribadian kurang mendapat perhatian yang seimbang. Akibatnya kepedulian terhadap sesama masih kurang.
Sekarang ini kualitas manusia Indonesia diukur dari indeks pembangunan manusia (IPM). Setidaknya ada tiga alasan mengapa IPM ini dipandang penting.
Pertama, banyak negara berkembang yang mencapai pertumbuhan ekonomi, namun gagal dalam mengurangi kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan. Kedua, banyak negara maju dengan pendapatan tinggi namun tidak berhasil dalam menangani persoalan sosial, seperti narkoba, HIV/AIDS, alkohol, tunawisma, dan tindakan kekerasan. Ketiga, beberapa negara berpenghasilan rendah namun dapat mencapai tingkat perkembangan manusia yang tinggi, karena kebijakan publik yang bijaksana.
Padahal pembangunan memiliki tiga nilai, yakni kesanggupan memenuhi kebutuhan dasar, mempunyai harga diri, bermartabat atau berkepribadian, dan memiliki kesanggupan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam hidup.
Namun persoalannya adalah apakah hakikat pembangunan nasional untuk membangun manusia Indonesia yang seutuhnya telah dicapai? Kalau memang sudah tercapai mengapa IPM Indonesia masih memprihatinkan?
Kita lihat data BPS, IPM menggambarkan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan dan lainnya. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup yang layak.
Karena itu IPM merupakan indikator yang dinilai penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia. Empat indikator yang dinilai, yaitu usia harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran per kapita. Dari keempat indikator ini pembangunan manusia di Indonesia memang terus mengalami kemajuan.
Pada tahun 2019, IPM Indonesia mencapai 71,92. Angka ini meningkat sebesar 0,53 poin atau tumbuh sebesar 0,74 persen dibandingkan tahun 2018.
Namun versi UNDP (United Nations Development Programme), tahun 2019, IPM Indonesia masih berada di peringkat 6 di ASEAN, dan 111 di dunia dari 189 negara. Jadi Indonesia masih di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura di ranking pertama.
Sebagai bangsa yang besar tentu Indonesia tidak perlu berkecil hati, karena indikator IPM tersebut hanya melihat dari segi lahiriyah semata, belum melihat indikator batiniahnya.
Faktor batiniah memang sulit diukur dengan indikator statistik, karena menyangkut tentang suasana hati dan kualitas moral. Hal ini bisa dimengerti dengan budi pekerti yang luhur, tata krama sosial, dan keteguhan dalam menjalankan ibadah.
Karena itu kita harus ingat pesan-pesan para pendiri republik, “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Jadi pembangunan sumberdaya manusia harus seimbangan antara jiwa dan raga. Tentu hal ini akan dapat dicapai dengan pendidikan akhlak mulia bersamaan dengan pendidikan sains dan pendidikan vokasi atau keterampilan.
Pada masa musibah pandemi global Covid-19 ini, para pengambil kebijakan dan para pendidik semoga dapat mengambil tindakan yang tepat untuk keberlanjutan pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya. Selain itu, dalam masa anak-anak sekolah sedang belajar di rumah, peran orang tua sangat penting guna menjalankan fungsi pendidik dan sekaligus sahabat bagi anak agar tetap semangat menuntut ilmu dan beribadah. Wallahu a’lam
Sumber: nu.or.id