Tujuh puluh lima tahun Indonesia merdeka dari penjajahan pasca era kolonialisme, selama itu pula Indonesia terus mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam membangun kedaulatannya, yang tentu tak lepas dari banyaknya mengalami pasang surut dan berbagai macam dinamika dalam menata negara ini seiring pergantian pemimpinannya. Baik itu persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan lain-lain.
Dari tahun ke tahun, kondisi politik Indonesia saat ini tentu sudah jauh mengalami perkembangan dibandingkan pada masa dahulu. Akan tetapi, sejumlah krisis moral dalam dinamika politik Indonesia faktanya juga tidak dapat dihindarkan. Cita-cita mulia para founding fathers kita untuk menciptakan bangsa yang bermartabat sepertinya juga masih jauh dari harapan.
Bagaimana tidak, sejumlah kasus-kasus demoralisasi di negeri ini kerap terjadi, seperti maraknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang seringkali kita saksikan setiap hari melalui pemberitaan di berbagai media. Perebutan kursi kekuasaan menjadi tradisi yang mengakar kuat yang selalu terjadi dalam lima tahunan, dan berbagai masalah politik lainnya yang kian semakin berkembang ke arah yang lebih kompleks.
Setelah Soekarno turun takhta karena kondisi instabilitas sosial, ekonomi dan politik yang kemudian diganti dengan Soeharto, memang di awal pemerintahan Soeharto Orde Barunya tampak memberikan napas baru bagi kondisi pembangunan insfrastruktur, sosial, politik, dan perekonomian negara. Akan tetapi, kemajuan positif tersebut mulai menunjukkan degradasi yang sangat kentara pada akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) IV.
Penurunan ini berdampak sangat signifikan yang berimplikasi pada perilaku elit politik berbangsa dan bernegara, baik dalam aspek supranatural maupun infrastruktur (Natsir, 2010: 1-3). Kondisi ekonomi nasional mulai menampakkan keterpurukan dan ketidakadilan serta cenderungan kepada otoriter.
Kebijakan ekonomi nasional cenderung menguntungkan kelompok elit politik tertentu, yang mengakibatkan golongan miskin semakin tertindas. Gelombang amuk massa bahkan menjadi tren politik di akhir tumbangnya rezim Orde Baru. Belum lagi beberapa kasus rasisme yang terjadi di berbagai daerah yang mengakibatkan munculnya banyak gelombang protes terhadap pemerintah pada tahun 1997, yaitu terkait masalah etnis, suku, ras, dan agama (Setyawan, 2005: 29).
Runtuhnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998, memberikan harapan baru yang besar bagi rakyat Indonesia untuk menuju kehidupan politik berbangsa dan bernegara yang bermartabat. Berangkat dari cita-cita inilah yang kemudian Indonesia masuk dalam babak baru, yakni era reformasi.
Bergulirnya agenda reformasi merupakan upaya rekonstruksi sistem, aktor, ideologi, struktur, dan mekanisme politik kekuasaan (Jurdi, 2008: 20). Tujuannya adalah untuk recover stabilitas ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik ke jalur yang benar, kemudian menempatkan demokrasi pemerintahan yang sesungguhnya.
Hal ini terjadi karena pada masa Orde Baru, demokrasi hanyalah topeng untuk melanggengkan kekuasaan (moral hasrat) sebagian kelompok elit politik tertentu. Pasca runtuhnya Orde Baru kemudian muncul reformasi, pada kenyataannya ternyata tidak jauh lebih baik dibandingkan dengan era sebelumnya.
Kebebasan yang dikekang pada masa Orde Baru ternyata berubah menjadi kebebasan tanpa batas sehingga mengarah kepada anarkisme, saling curiga antar-elite politik. Masalah-masalah politik tersebut kemudian memicu stigma negatif bahwa politik itu penuh dengan drama atau penuh rekayasa, intrik-intrik kotor demi memperoleh dan membangun kekuasaan (Political Decay). Sering orang menilai bahwa rambu-rambu moral dalam berpolitik hanyalah bagian dari retorika politik.
Stigma semacam inilah yang seterusnya menjadikan sebagian orang menilai sinis dan apatis terhadap urgensi etika politik. Kondisi ini tentu sangat memperihatinkan karena memperlihatkan suatu sikap keputusasaan.
Terkait etika politik, ia terdiri dari beragam dan varian, salah satunya adalah etika politik Islam. Etika politik Islam sejatinya berusaha memberikan aspek dan kategori-kategori normatif dalam global perpolitikan. Tujuannya adalah menawarkan konsep-konsep politik santun dan berbudi luhur.
Sehingga berbagai macam tindakan demoralisasi politik dari kaidah-kaidah politik santun dapat diminimalisir. Konsekuensinya rakyat menjadi sejahtera, kehidupan politik berbangsa dan bernegara menjadi stabil, dan lain sebagainya. Kajian etika politik secara umum, tentunya tidak hanya membahas persoalan perilaku politikus semata, akan tetapi etika politik juga membicarakan persoalan pemerintahan, kebijakan, dan perpolitikan (Haryatmoko, 2003: 25-26).
Di antara tokoh-tokoh politik khususnya di Indonesia, Hamka muncul sebagai tokoh politik yang mengedepankan etika politik santun dan berbudi luhur. Jejak politiknya tampak pada saat dia aktif berkecimpung sebagai anggota Partai Masyumi dan kemudian sebagai ketua MUI Pada tahun 1975 hingga 1981, di samping beliau adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia (Damami, 2000: 78).
Sebagaimana permasalahan politik dan ketimpangan-ketimpangan tersebut yang telah disinggung sebelumnya, Hamka lalu mengemukakan pandangannya. Meskipun suatu pekerjaan mendatangkan keuntungan namun Tuhan melarang, maka mau tidak mau harus ditinggalkan (Hakim dan Thalhah, 2005: 70). Demikian halnya seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang secara nyata merupakan pencurian atas uang rakyat.
Harga seseorang adalah pribadinya. Seseorang dinilai baik dan buruk dilihat dari konsistensi pribadinya (Hamka, 1966: 12). Seseorang Muslim yang konsisten dengan keimanannya akan selalu teguh dalam melawan segala bentuk kemungkaran, termasuk berbagai bentuk perbuatan KKN. Persoalan ini tentunya tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab seorang atau suatu kelompok saja, namun seluruh komponen Bangsa Indonesia secara kolektif.
Persoalan politik lain yang perlu diperhatikan menurut Hamka, bahwa kemerosotan bangsa ini terlihat jelas ketika banyak orang bukan ahlinya memegang suatu jabatan dalam kekuasaan. Dalam pandangan Hamka, ada dua syarat dasar yang harus ada pada diri seorang pemimpin, pertama ilmu dan kedua adalah tubuh yang sehat. Hamka tidak mempersoalkan gender bagi kepala negara, karena yang menjadi value atau urgensinya adalah ilmu dan fisik yang memadai (Hakim dan Thalhah, 2005: 79).
Lantas pertanyaannya, bagaimana etika politik para politisi di negeri kita ini? Saya kira masing-masing dari kita tentu tahu jawabannya. Wallau a’lam.
Sumber: arrahim.id