Baru beberapa tahun saya menyadari, bahwa Bumi Gayatri atau yang dalam atlas disebut dengan Tulungagung, ternyata menyimpan begitu banyak unsur keberagaman di dalamnya. Mulai dari bahasa, seni dan budaya serta cara pandang tentang agama dan kepercayaan. Hal-hal yang menurut saya bukan sebuah ironi. Mengakui dan terbuka atas keberagaman yang ada di Tulungagung, adalah sebuah keniscayaan. Mengingat sekarang ini, perbedaan sedikit saja akan disoroti dengan sengit.
Pagi itu lantai marmer di bangunan yang mengitari taman budaya, dekat alun-alun Tulungagung sudah sedikit hangat. Ada siswa-siswi dari sebuah SMK tengah melakukan latihan Karawitan bersama di Pendopo taman budaya. Lima siswi menjadi penari, tiga siswi mengiringinya dengan tembang-tembang Jawa, dan sekitar sepuluh anak memainkan alat musik gamelan. Saya hampir-hampir melongo melihatnya.
Tapi bukan itu poinnya. Kedatangan saya bersama dua teman adalah untuk bertemu dengan seseorang. Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, yang kemudian kami panggil Bapak Sukriston, penganut aliran kepercayaan Sumarah. Dengan logat yang santai dan mengayomi, ia bercerita kepada kami tentang kaum penghayat kepercayaan yang ada di Jawa Timur, utamanya di Tulungagung.
Darinya saya sadar bahwa kasus-kasus diskriminasi masih sering terjadi terhadap warga penghayat, mulai dari masalah pendidikan, perkawinan yang dipersulit di catatan sipil, dan bahkan soal pemakaman. “Sebenarnya undang-undang itu ingin memperlancar, melayani, atau menjerat?”
Lalu saya dikenalkan dengan beberapa kawan penghayat lain yang tergabung dalam Majelis Luhur Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia, atau yang lebih sering disingkat dengan MLKI. Ia merupakan sebuah lembaga yang menaungi organisasi-organisasi kepercayaan, berskala nasional.
MLKI atau yang lebih populer disebut dengan istilah Majelis Luhur resmi dideklarasikan pada 13 Oktober 2014, di Yogyakarta. Sampai saat ini, terhitung ada beberapa titik penyebaran MLKI di Indonesia, yakni di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Barat, dan Lampung dan beberapa wilayah lain.
Tujuan dari dibentuknya majelis luhur ini dalam rangka membina kerjasama antar anggota penghayat kepercayaan, sehingga komunikasi bisa terjalin dengan baik. Tujuan lain yang ingin dicapai adalah lestarinya nilai-nilai luhur spiritual bangsa dan terbentuknya karakter manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila, dan mumpuni baik di bidang mental maupun spiritual.
Dalam Majelis Luhur, dikenal sebuah istilah bernama Sesanti Pengabdian, yang di dalamnya terdapat jargon khusus berbunyi, Memayu Hayuning Bawana. Makna yang tersirat dalam jargon ini, setiap individu berusaha menciptakan kehidupan yang aman, damai dan bahagia, baik di dalam diri individu maupun kelompok. Tujuan akhirnya tidak lain sebuah capaian keselamatan di dunia.
Kurun delapan tahun terakhir ada sekitar 16.000 penduduk Tulungagung yang telah melakukan pencatatan sebagai penghayat atau menganut kepercayaan tertentu lewat dinas kebudayaan, Kasi Bidang Kebudayaan. Kabar baik yang saya dengar saat itu, ada sekitar 16 aliran kepercayaan yang resmi tercatat di tataran dinas Tulungagung. Masing-masing beranggotakan antara 100 sampai 10.000 orang. Total tersebut diambil dari data yang sudah terkumpul, sementara di lapangan masih ada sekitar tujuh aliran kepercayaan yang belum mendaftarkan namanya di Dinas terkait. Jumlah yang fantastis, bukan? mengingat luas wilayah kabupaten Tulungagung tidak seberapa.
Seruput demi seruput kopi pun terteguk bersama. Di tengah ruangan yang berukuran 3×3 meter itu terdapat meja persegi, yang menjadi tempat nyaman ketika mengadakan sebuah perundingan. Sukristron meneruskan, MLKI yang ia dan rekan-rekannya upayakan berdiri di Tulungagung, sampai saat ini telah mampu mengurangi tingkat diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penghayat.
Ia pernah melakukan sosialisasi bersama terkait perlindungan terhadap warga penghayat kepercayaan. Jadi ketika ada warga yang merasa terancam, terdiskriminasi, atau tidak mendapatkan hak yang sewajarnya, maka Sukriston dan rekan-rekan MLKI siap membantu menangani permasalahan tersebut.
Pernah ada sebuah kasus, yakni seorang anak dari keluarga penghayat –di kota lain mendapat perlakuan tidak menyenangkan disekolahnya, hanya karena ia adalah anak penghayat. Menurut Sukriston, perlakuan-perlakuan semacam itu tidak akan pernah terjadi andai kata kolom agama dalam KTP ditiadakan.
Berita-berita yang sering kita dengar beberapa tahun terakhir ini, hampir sering berisi provokasi, penyesatan kelompok lain, dan penistaan atas nama agama. Kebenaran yang dipublikasikan oleh media massa menjadi subjektifvitas kalangan yang berkepentingan. Konsumsi berita yang demikian buruk, pada akhirnya hanya akan membawa pembaca –dalam wilayah yang lebih luas adalah masyarakat– mengalami kesadaran palsu. Masyarakat menjadi tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. (Nah lho… kalau sudah begini siapa yang salah? Saya?)
Dalam kasus pemenuhan hak pada warga penghayat pun hampir sama demikian. Tidak adanya pengetahuan yang mendasar tentang bagaimana itu penghayat, terkadang membuat masyarakat lain, dengan sekenanya menjustifikasi atau memberikan stereotip yang buruk terhadap warga penghayat dan kepercayaan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan asas dalam Pancasila, yang mengutamakan pemenuhan hak kepada setiap warga negara, tanpa memandang ras, agama, dan suku.
Bagi saya, harusnya tidak ada pembeda, baik dalam segi pendidikan, pengurusan kewarganegaraan, maupun urusan-urusan hajat lainnya. Negara lewat keseluruhan perangkatnya mesti bertindak aktif dalam penjaminan dan pemenuhan hak bagi setiap pemeluk agama, tanpa terkecuali. Bukankah kita suda sepakat bahwa semua manusia di muka bumi ini harus saling memanusiakan? Kalau mau perang, harusnya yang harus diperangi bersama adalah kebodohan dan kemiskinan, bukan cara beragama, bukan perbedaan suku apalagi warna kulit.
Catatan: Redaksi GUSDURian.net mempersembahkan lima esai terbaik dengan tema “Damai Itu Indah” untuk memperingati hari Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada tanggal 21 September 2020. Lima esai terbaik edisi khusus Hari Perdamaian ini mengulas seputar pengalaman personal lintas iman dan pemikiran tokoh yang mendorong hubungan lintas agama secara positif.